CHAPTER 9

5.3K 202 1
                                    

Seminggu sudah berlalu semenjak di malam Eza mengajakku untuk pergi bersamanya. Aku hanya mencoba berfikir positif bahwa 'semuanya akan baik-baik saja' dan aku tidak boleh menyesali keputusanku.

Sejujurnya aku masih memikirkan mengapa Eza bisa melakukan hal senekat itu. Aku fikir dia sudah menjalani hidupnya di Jepang. Aku hanya berharap kita sama-sama bisa menjalani hidup masing-masing.

"Sayang, mau sampai kapan kamu memikirkan pria itu?" Dalam sekejap tubuhku sudah berada diperlukan Juna. Ya, sekarang dia sudah resmi menjadi tunanganku.

"Lepaskan aku Jun, aku tidak bisa bernapas" lirihku sambil berusaha melepaskan pelukannya.

"Aku tidak akan melepaskanmu sayang. Tidak akan pernah" tegasnya.

"Apa kamu bermaksud untuk membunuhku??" aku semakin merasakan tubuhku terhimpit dengan dada bidangnya.

Ada apa dengannya? Mengapa Juna tiba-tiba seposesif ini? Aku hanya meminta melepaskan pelukannya, bukannya meminta melepasku untuk pria lain.

Pelukannya melonggar ketika aku terbatuk karena ulahnya. "Maafkan aku sayang, aku tidak sadar aku sudah menyakitiku. Apa kamu tidak apa-apa?"

Kedua tangannya membingkai wajahku, terlihat raut cemas diwajahnya ketika aku belum menjawab pertanyaannya.

"Ya, aku tidak apa-apa" aku meremas ujung kemejanya saat ia menatapku intens.

"Aku lapar, bolehkah kita makan sekarang" aku menggigit pelan bibirku. Juna sama sekali tidak merespon ucapanku, aku menjadi takut dengan keadaan ini. Mengapa setelah kami bertunangan ia menjadi bersikap aneh seperti ini?

"Baiklah kita makan sekarang, setelah kamu berjanji sama aku kalau kamu tidak akan memikirkan pria lain lagi."

Aku hanya mengangguk sambil menatapnya. Ya, sekarang turuti saja apa yang dia mau. Aku semakin canggung berada situasi seperti ini. Berbeda ketika dulu kami berteman.

Saat ini kami berada di rumah ku, tentunya setelah kami bertunangan Juna dengan bebasnya memasuki semua ruangan yang ada di rumah ku termasuk kamar pribadiku. Mungkin karena aku sudah lama mengenalnya dan sejak dulu ia sudah dianggap seperti keluarga. Dan cepat atau lambat ia akan menjadi bagian dari keluarga ini.

"Bagaimana dengan hari pertama kamu bekerja Jun?" Papa mengawali percakapan makan malam ini dengan membahas perusahaan Papa Juna yang sekarang sudah berpindah tangan ke Juna.

"Lancar Pa. Ayah tidak pernah lelah mengajari Juna untuk melakukan yang terbaik buat perusahaan." Jawaban Juna membuat papa dan mama semakin senang. "Juna akan melakukan apapun untuk keluarga kecil Juna nanti."

Aku menegang mendengar ucapannya. Perlahan tangannya mengelus pinggangku secara posesif. Aku menatapnya, dia menghindari tatapanku dan melanjutkan makannya.
****

Setitik cahaya mengganggu tidurku. Aku terbangun dan jam baru menunjukan pukul 07.15, aku tersadar ada jadwal kuliah pagi hari ini. Buru-buru aku menuju kamar mandi agar tidak terlambat.

"Tita sarapan dulu sayang."

"Tita telat ma. Nanti aja sarapannya di kampus. Tita langsung berangkat ya."

Sepertinya naik ojek lebih baik ketika diburu waktu seperti ini. Aku mengabaikan mobil cantikku digarasi.

"Hey baby" sapaan seseorang terdengar ketika pintu pagar ku terbuka.

"Juna?" Tanyaku bingung. Bukankah seharusnya ia berada dikantor.

"Aku sengaja kesini untuk mengantar calon istriku ke kampus."

"Kamu bukannya dikantor?"

"Kebetulan pekerjaan kantor tidak terlalu banyak jadi aku bisa mengambil waktuku untuk bisa mengantar kamu."

"Sebaiknya tidak perlu kamu melakukan ini. Aku bisa naik ojek"

Rahangnya mengeras dan tatapan tajamnya terlihat ketika aku menolak tawarannya.

"Baiklah, aku berubah pikiran. Kamu bisa mengantarku." Mengalah lagi.

Juna yang sekarang terlihat berbeda dengan Juna yang dulu ku kenal. Apa ini karakter dia yang sebenarnya?

Kami tidak berbicara sepatah katapun dalam perjalanan menuju kampusku. Keheningan di dalam mobil seperti ini membuat pikiranku bercabang memikirkan sifat Juna, keputusanku menolak Eza dan pernikahan ku yang sebentar lagi akan dilaksanakan. Tiga hal itu menari-nari di pikiranku setiap saat.

"Ehemm...Baby" sapa Juna membuyarkan lamunanku.

"Hmmm?"

"Aku harap kamu setuju dengan yang aku fikirkan." Senyumannya tak henti terukir dari bibirnya.

Ku harap bukan rencana yang aneh-aneh. Memangnya apa yang dari tadi dia pikirkan?

"Aku berencana untuk menjadikanmu sekretarisku dikantor. Jika kamu menjadi sekretarisku, aku bisa lebih dekat mengawasimu sayang." Satu kecupan di punggung tanganku membuatku tersadar bahwa beberapa saat aku mencermati ucapannya.

"Mengawasi?" Alisku tertaut tak mengerti maksud dari ucapannya.

"Ya mengawasi, aku tak ingin lelaki manapun berjarak tiga langkah darimu. Kamu tahu? Selama kamu di kampus aku mengawasimu lewat orang-orang ku."

"APA??" kunaikan satu oktaf suaraku.

"Sayang dengar. Aku melakukan ini semua demi kamu. Percayalah aku hanya ingin kita terus bersama apapun yang terjadi."

"Yang sudah kamu lakukan ini justru membuatku ingin membatalkan pernikahan kita. Aku tidak ingin menikah dengan pria psikopat sepertimu. Kamu berubah Juna, sangat berubah. Aku bahkan tidak mengenal dirimu yang sekarang. Dan kamu tidak bisa seenaknya menguntitku dengan menyuruh anak buahmu seolah aku ini tahanan yang hendak kabur. Aku menyes....hhhmmpp"

Juna membungkam bibir ku dengan bibirnya secara kasar. Ia tak mengizinkanku untuk mengambil nafas sedikitpun. Ternyata ia sangat marah dengan ucapanku. Aku hanya bisa menangis dengan perlakuannya ini terhadapku.

Aku semakin terisak. Air mataku semakin mengalir.

"Baby, kamu menangis??" Akhirnya ia melepaskan ciumannya karena tersadar dengan isakanku. "Sayang, maafkan aku. Aku hanya meluapkan emosi ku dengan menciummu." Terdengar nada bicaranya menyesal.

Aku memukuli dada bidangnya tak henti. Aku benci padanya, aku sangat membencinya. Aku tak ingin menikah dengan pria ini.

"Pukuli aku terus, aku pantas mendapatkannya. Bahkan aku rela jika kamu ingin membunuhku."

Pukulanku terhenti mendengar ucapannya.

Tangannya menjelajah wajahku menghapus air mataku yang masih tersisa, dengan lembut dan perlahan jemarinya menyentuh bibir ku yang terlihat membengkak karena ulahnya.

"Please, jangan menangis lagi karenaku. Aku sangat tersiksa melihat air matamu yang tak henti-hentinya keluar dari mata cantikmu ini."

Aku memejamkan mataku ketika bibirnya mengecup kedua mataku. Juna bersikap sangat kasar dan lembut pada saat bersamaan. Aku lelah mengerti sikapnya.

Aku menjauhkan tangannya yang masih membingkai wajahku. Tatapannya tajam ketika ia tahu aku hendak berbicara.

"Sepertinya aku harus membolos kuliah hari ini." ucapan polosku membuat raut wajahnya berubah.

hembusan nafas lega disertai gelak tawa darinya membuatku bingung. Apa yang ia tertawakan? Apakah ada yang
lucu dengan ucapanku?

"Ya baby, sepertinya aku harus menculikmu ke kantorku."

Sungguh aneh. Mau tak mau aku menuruti apa yang ia inginkan. Jujur, perlakuannya yang lembut membuatku sedikit melupakan pertengkaran kami tadi.

***

PRINCE IS YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang