"Len, kok kita diliatin?" tanya Erza yang sejak tadi mengikuti Helen.
"Gimana nggak diliatin kalo lo terus ngintilin gue kayak anak ayam," balas Helen sembari mempercepat jalannya.
Sedari tadi orang-orang memandang mereka heran. Tepatnya memandang Erza si anak baru yang selalu saja mengikuti Helen. Hal ini membuat Helen yakin kalau tak lama lagi Erza akan cukup dikenal oleh orang-orang. Jujur saja, ia sudah lelah menghadapi orang-orang sejenis Erza.
"Berhenti!" ucap Helen tepat di samping pohon sirsak dekat kantin. Cowok itu pun berhenti seolah ucapan Helen adalah rem. "Sebenernya mau lo apa, sih?"
"Sesuai pesan yang gue kirim," jawabnya polos.
Ekspresi Erza tak dapat Helen pahami. Kenapa ia terlihat seperti anak kecil kalau seperti ini? Apa dunia asalnya terlalu suci sehingga cowok yang Helen rasa sudah lebih dari cukup untuk disebut dewasa masih menampilkan ekspresi seperti gadis kecil yang minta permen. Abaikan kalau Rendy. Cowok itu memang cantik. Tapi Erza ....
"Gue nggak ngerti sama apa yang lo maksud," kata gadis itu dengan nada suara yang meningkat secara perlahan. "Gue nggak tau di mana tempat indah yang lo maksud, janji yang lo maksud. Gue juga nggak ngerti sama kemunculan lo yang tiba-tiba. Gue pusing, tau?"
"Gue bakal jelasin," balas Erza singkat. "Ikut sebentar."
Erza menarik tangan Helen cukup kencang. Lagi, sepanjang koridor pun mereka kembali jadi pusat perhatian. Ini benar-benar situasi yang sangat menyebalkan bagi Helen. Hingga mereka sampai di parkiran belakang.
Ah, tempat ini, batin Helen. Tempat yang selalu bisa membuat gadis itu merasa―kembali ke saat-saat itu.
"Jadi, apa yang mau lo tau dulu?"
"Nama, yang jelas gue nggak tau siapa nama lo yang sebenarnya."
Erza mengangguk pelan. "Flash kenyataan, sementara Erza cuma nama sementara gue di dunia ini."
Helen tahu apa yang dikatakan cowok itu memang benar. Tapi tetap saja ini semua terasa sangat aneh. Ia tekankan kembali, ini aneh. Karena kalian tahu, ini abad penuh teknologi. Bagaimana bisa ia menerima semua ini dengan mudahnya? Ia masih waras, bukan? Sekali lagi Helen hanya ingin memastikan kewarasanya saja.
"Jadi, lo bener-bener malaikat atau apalah itu?" tanyanya ragu.
"Tepatnya malaikat pelindung sekaligus yang ngurus benang merah lo sama cowok itu," jawabnya sempat membuat Helen terkesima. Sementara yang berbicara tersenyum lembut. Benar-benar senyum malaikat.
"Hah?" Helen memiringkan kepalanya ke kanan. "Tunggu ..., cowok itu? Siapa?"
Erza mengusap wajahnya gusar. Ia seketika malas mengingat kembali apa yang ada dalam otaknya saat ini. "Sejujurnya gue benci nyebutinnya. Karena gue takut lo semakin ya, lo yang ngalamin dan pasti tau, kan?"
Tanpa disadari, gaya bicara Erza sudah lugas, dengan penuturan bahasa yang sama dengan Helen. Berbeda dengan tadi pagi yang ... kaku. Oke, Erza tak sepolos yang Helen pikirkan beberapa waktu lalu.
"Ya, mana gue tau. Gue hidup cuma jalanin aja. Lagian juga gue gak pernah ngerasa―"
"Namanya Nathan, lo punya rasa dan pernah ngerasain semua itu," potong Erza cepat.
Seketika Helen menundukkan wajahnya. Suasana hatinya mendadak tidak enak. Jujur saja, ia malas kalau sudah membahas sesuatu yang berkaitan tentang perasaannya dan orang itu. Helen benci kala dirinya ada di titik terlemah. Dan lasannya lebih menggelikan lagi. Karena perasaan.
"Len, lo gak apa?" tanya Erza khawatir.
Sebenarnya, ini reaksi yang di luar dugaannya mengingat di tempatnya belajar dulu. Rata-rata manusia-yang punya masalah dan harus dibantu malaikat sepertinya-akan merasa bahagia saat tahu pasti siapa yang menjadi pasangan takdirnya. Tapi Helen berbeda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Life an Enemy Couple [END]
FantasiTeen Fantasy Fiction. Highest Rank #77 on Fantasy. #250517 Nomine WAWA2017 Romance Remaja Terbaik ❁❁❁ Helen, seorang gamers sekaligus penggila Jepang yang dunianya mendadak berubah sejak kedatangan Flash a.k.a Erza. Sesosok malaikat―yang meng...