VS 18 | Don't want to End

1K 154 12
                                    

Pandangan semuanya kini tertuju pada tangan Nathan yang mencekal Helen. Cowok itu mengembuskan napasnya kasar.

Sementara Helen yang sebelumnya kaget langsung berbalik.

Kepala cowok yang tengah mencekalnya itu kini tertunduk. Mungkin tidak tahu apa yang harus ia katakan. Tetapi, ia juga berpikir kalau tak bisa terdiam begitu saja. Dalam hatinya ... sesuatu sudah mendesak. Meluap-luap tak tertahankan.

"Udah bel," kata Nathan pada akhirnya. "Ayo ke kelas!"

Nathan kembali menarik pergelangan tangan milik Helen.

Sementara yang lain masih sibuk berpikir apa yang sebenarnya terjadi. Michelle yang sebelumnya ada di sebelah Helen pun langsung mengikuti dari belakang.

Sampai, di lorong depan ruang guru. Nathan baru saja melepaskan cekalannya.

Gadis yang ada di sisinya hanya terdiam, mencerna apa maksud dari perlakuan cowok itu barusan. Membelanya? Helen ragu.

"Gue kira ... nggak sebanyak itu cowok yang deket sama Lo." Nathan mulai membuka suara. "Ternyata, di luar dugaan."

Helen menoleh bingung. Tidak mengerti apa yang dibahas oleh pemuda yang tadi menariknya tiba-tiba.

"Maksud?"

"Saingannya Nathan banyak, ya?" Nathan terkekeh.

Helen hanya tersenyum miring. "Gue nggak yakin sama orang itu lagian," kata Helen membuat Nathan bungkam. Entah kenapa ucapannya terasa menyakitkan. "Lo nggak usah segitunya juga buat bela Nathan, Za," tambah Helen.

"Terus?" Ia mencoba mempertahankan dirinya dari rasa yang amat sangat menyebalkan ini.

"Lagian, gue deket sama mereka bukan berarti ada hubungan yang lo pikirin." Gadis itu tersenyum, kemudian memandang langit cerah siang menuju sore ini. "Mereka itu cuma orang-orang baik yang kebetulan mampir di hidup seorang Helen. Di saat yang sama, mereka juga ngehargain keberadaan seorang Helen meski ya, kadang rese kayak Garda," ungkap Helen cukup panjang.

Nathan merasa sedikit bersalah sampai gadis itu mau mengungkapkan hal itu. Di sisi lain, apa yang dikatakan oleh Helen memang benar. Orang-orang itu adalah orang baik. Walau kenyataan yang cukup pahit mengingat artian mereka itu tidak termasuk dirinya.

"Kalau boleh jujur, aku sayang sama mereka." Gadis itu menyambungnya dengan panggilan diri yang berbeda.

Terlarut pada sisi yang lainnya~

"Gue ngerti," kata Nathan.

"Karena ... kalau mereka nggak ada," kata Helen yang raut wajahnya sudah berubah. "Mungkin saat ini gue sendiri. Maksimalnya cuma sama Lele."

Pengungkapan perasaan itu ... selalu membuat siapa pun lega. Seandainya gadis itu tahu siapa yang ia ajak bicara saat ini. Seandainya.

***

"Len, balik sekolah jalan-jalan dulu, yuk!" ajak Nathan pada gadis itu. Tapi yang menoleh malah Michelle.

"Kalian ada apa, sih?" tanya Michelle bingung.

"Ada apa?" Helen menimpali, nadanya terkesan sinis. "Emang apaan?"

Nathan menggeleng tak mengerti. Ah, ia lupa kalau tadi memarahi gadis itu. Setelahnya malah membuat gadis itu terkejut di dekat lapangan. Juga, membuat Erza yang nyata tertimpa banyak hal.

Asal nggak ngacau aja, haha, batin Nathan.

"Lo masih marah?" tanya Helen pelan.

Ya Tuhan! Ia hanya tak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada gadisnya. Oke, lupakan yang terakhir itu. "Gue nggak marah, Len."

Love Life an Enemy Couple [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang