Mentari pagi menembus tiga ruang yang kini dijadikan tempat ulangan. Salah satunya merupakan ruang ulangan Helen. Teriknya sinar yang masuk membuat kelas ini seringkali disebut sebagai kelas oven alias pemanggang.
"Banyak-banyak istighfar di kelas ini. Panas banget." Bu Redin berkali-kali mengibaskan kipasnya. Tampaknya ia menjadi salah satu korban sang mentari. Terlebih arah cahaya yang langsung tertuju padanya.
"Ini emang kelas oven, Bu," celetuk Agus yang duduk di depan Helen.
Sementara gadis itu hanya fokus pada LJK miliknya. Berulang kali menghitamkannya karena takut kalau tak terbaca scanner bisa merugikannya. nggak masalah panas, tapi anginnya bisa bikin tenang, batin Helen.
Angin, merupakan salah satu hal yang ia sukai. Memang aneh, tapi ... kalian tak akan mengerti pikiran dan perasaan gadis itu. Angin yang bertiup diiringi sinar mentari itu adalah angin yang bahagia. Helen tersenyum mengingat untaian kata yang ia buat waktu menginjak kelas 2 SMP. Alay, batinnya kemudian mengganti senyuman dengan garis datar di bibirnya.
"Len, nomer 24 apa?" tanya Agus memecahkan lamunannya.
Ck, ganggu aja. Helen mendecak dalam hati. "B," jawab Helen singkat.
Agus langsung mengisi jawabannya tanpa memeriksa terlebih dulu. Dasar cowok.
Omong-omong soal jawaban yang disebutkan Helen tadi. Itu sebenarnya jawaban yang salah. Iya, salah.
Sorry aja, batin Helen.
Dulu, Kak Frida―mantan kakak kelas Helen―pernah berbicara padanya. Kalau tidak salah pada saat itu Helen ditarik pulang bersama untuk menghindari Kak Rahma.
De, gue mah kalo orang nyontek kasih jawaban salah. Kalo bener ya rugi di guelah. Enak amat gue yang kerja mereka yang untung.
Sejak saat itu Helen mengikuti senpai yang kalau kata orang sunda, sih, wajahnya picabokeun. Serius, wajah aslinya seperti tengah menantangi seseorang. Helen menyadarinya sebelum kenal dengannya lewat Kak Kristal. Saat mereka seringkali ada di pangkalan angkot yang sama. Tapi sekarang, dia panutan Helen.
Karena, meskipun terlihat kasar, tapi sebenarnya ia orang yang sangat baik. Entahlah, yang Helen tahu. Banyak pelajaran yang bisa diambil darinya. Terlebih, untuk tetap menjadi diri sendiri meski tak semua orang mau menerima diri kita.
***
"Langsung ke Lab?" tanya Helen pada Michelle.
"Iya, Len."
Setelah ulangan jam pertama, kelas Helen langsung menuju ke Lab. Biologi yang dijadikan tempat simulasi UNBK. Tak butuh waktu lama mengingat ruangannya hanya terselang dua kelas dari tempat mereka ujian tulis sebelumnya.
Sesampainya di sana, Helen langsung mengedarkan pandangannya ke dalam lab. Di barisan kedua kosong. Helen memutuskan duduk di sebelah Michelle, yang di sisinya ada Serina dan Muti. Lagi pula tempat duduknya tak ditentukkan.
Setelah Pak Roni membagikan selembar―maksudnya kertas yang ukurannya sekitar 1:12 dari kertas F4 alias folio yang isinya u-name, serta password. Mereka diberi petunjuk mengisi u-name dan password terlebih dulu.
"Coba login game." Helen terkikik sejenak. Entah kenapa melihat simulasi UNBK yang seperti ini malah mirip game yang biasa ia mainkan.
"Otak lo itu, ya...," kata Michelle yang menyadari temannya cengengesan.
"Pak, tokennya apa?" tanya salah satu siswa laki-laki.
![](https://img.wattpad.com/cover/54167327-288-k796805.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Life an Enemy Couple [END]
FantasyTeen Fantasy Fiction. Highest Rank #77 on Fantasy. #250517 Nomine WAWA2017 Romance Remaja Terbaik ❁❁❁ Helen, seorang gamers sekaligus penggila Jepang yang dunianya mendadak berubah sejak kedatangan Flash a.k.a Erza. Sesosok malaikat―yang meng...