"Lo sakit?" tanya Ari pada Nathan yang kini meringkuk di atas sofa dengan selimut.
"Nggak," jawab Nathan singkat.
Sebenarnya ia kepikiran tentang gadis itu. Tangisannya tadi malam―benar-benar membuat dirinya menjadi seperti orang yang paling bodoh di dunia ini.
"Lo kenapa, sih?" Pertanyaan Ari kali ini seakan menuntut.
Nathan mengembuskan napasnya, kemudian bangun dari posisinya saat ini. Masih belum menjawab. Ia sendiri bingung mau menjawab apa.
"Balik dari AGJL begini. Helen lagi pasti. Kenapa sih nggak lo lepasin aja?"
Rahang Nathan kini mengeras. Ucapan yang dilontarkan Ari itu benar-benar membuat suhu tubuhnya naik.
"Nggak ada niat cari yang lain," balas Nathan malas.
Benar, sudah satu tahun belakangan ini ia tak berhubungan dengan seorang perempuan. Terakhir Grace, lalu berakhir seiring waktu. Karena kenyataannya, selain Helen, ia sudah malas mencari lagi.
"Kenapa? Alita dianggurin sayang, loh."
"Emang Alita kenapa? Perasaan gue biasa aja sama dia.
Ari kini hanya memandang sinis pada Nathan, kemudia ikut duduk di sofa. "Emang lo kuat kalo disuruh nunggu dia?" tanyanya. "Masalahnya bukan nunggu pasti kayak orang balik dari luar negeri. Ini masalah sikapnya dia ke Lo, tau?"
"Tau."
Ari menyerah, Nathan memang keras kepala kalau sudah berurusan dengan cewek itu. "Terserah," kata Ari tak acuh.
Pada akhirnya, Nathan hanya bisa menghela napas. Rasa cemas menguar dalam dirinya.
***
Tok! Tok! Tok!
Terdengar ketukan dari pintu kamar Helen. Gadis pemilik kamar yang sedang mengetik sesuatu di laptopnya langsung menoleh.
"Masuk," katanya.
Cklek
Pintu kamar itu terbuka. Lalu terlihatlah seorang gadis berambut panjang yang kini menatap Helen dengan cengiran khasnya.
"Len!" teriaknya sambil memeluk gadis yang masih duduk di ranjang dengan selimutnya.
"Engap, Le!" pekik Helen diiringi kekehan Michelle.
Kembali ke posisi aman. Michelle pun duduk di tepi ranjang. Kemudian mangamit tangan sahabatnya. "Lo boleh cerita kalau mau, Len," kata Michelle lembut. "Gue tau kalo seorang Helen nggak akan gak masuk sekolah cuma karena sakit begini."
Helen menutup laptopnya. Lalu disimpannya di atas meja belajar.
"Lo pasti punya alasan lain, kan?" tambah Michelle.
Perlahan namun pasti. Dalam dada Helen seolah ada vakum. Menarik semua yang ada di dalamnya. Menyesakkan, sampai linangan kristal bening berkumpul di pelupuk mata Helen. Lalu membuat gadis itu terisak.
"Len...," panggil Michelle yang sedikit terkejut. Bukan apa-apa. Tapi Helen sudah jarang menangis akhir-akhir ini. Lalu, apa lagi ini? Tak kunjung mendapat jawaban. Tanpa ragu Michelle mendekap gadis itu.
"Keluarin semuanya," kata Michelle yang kini mengelus rambut Helen perlahan. "Jangan ditahan untuk kali ini."
Isak tangis itu semakin kencang. Hanya kepiluan yang tersirat di baliknya. Gadis itu benar-benar dalam kondisi nol. "Gue benci sama di, Le!" kata Helen parau. "Gue benci!"
"Jangan kayak gitu," ujar Michelle. "Takdirnya udah kayak gini. lo nggak bisa ngubahnya gitu aja."
Air mata itu masih mengalir. Merembes ke seragam sekolah Michelle. Ia tahu sebenarnya bahwa benci yang dikatakan Helen adalah hal lain. "Gue benci sama dia!" ulangnya. Setelah itu hanya ada napas yang terengah. Di dalam dekapan Michelle. Gadis itu terlelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Life an Enemy Couple [END]
FantasiaTeen Fantasy Fiction. Highest Rank #77 on Fantasy. #250517 Nomine WAWA2017 Romance Remaja Terbaik ❁❁❁ Helen, seorang gamers sekaligus penggila Jepang yang dunianya mendadak berubah sejak kedatangan Flash a.k.a Erza. Sesosok malaikat―yang meng...