Erza mengejar langkah Helen yang kian melebar. Ia tahu bahwa gadis itu marah padanya. Tak menyukai akan keputusannya soal ia yang bertukar tubuh dengan Nathan beberapa waktu lalu. Gadis itu benar-benar mengabaikannya saat ini. Bahkan cara jalan gadis itu perlahan tak beraturan. Membuat Erza ... jujur saja, sangat khawatir padanya.
"Len, bisa pelan dikit?" tawar Erza namun tetap diabaikan.
Semua telah kembali ke semula. Ini Erza dengan tubuh Erza, dan yang di sana adalah Nathan yang sesungguhnya. Kini, hanya helaan napas yang dapat dikeluarkan Erza. Mau apa lagi? Bahkan di kereta pun, gadis itu menyumbat telinganya kuat-kuat pakai headset.
Tahan, Len, batin Helen sejak tadi. Ia ingin menangis sekencang-kencangnya~
Lampu sepanjang jalan menuju rumah yang ia kenal mulai terlihat. Tandanya tak lama lagi ia akan sampai. Dan ia akan bebas dengan rasa sakit karena berulang kali menggigit bibirnya. Kalau tidak, air mata dan isakannya sudah keluar sejak tadi. Ah, belokan itu. Ayo! Tinggal beberapa langkah ia akan segera―
Bruk!
Ia tak menyadari bahwa sejak memasuki jalanan komplek, cara berjalannya mulai terseok-seok. Kini, pandangannya meremang secara perlahan. Ia benar-benar dalam titik paling bawah saat ini. Belum makan hampir seharian, kegiatan KiraStar yang sudah pasti sangat melelahkan, serta hatinya yang juga ... lebih dari sekedar sakit.
"Len!" Gadis itu masih bisa melihat Erza di hadapannya. Tampak khawatir padanya. Namun ia sendiri tak mampu berbuat apapun. Mungkin baginya, ini kesalahan yang ia buat sendiri. Menyakiti diri sendiri. Hingga kini, semua gelap tak bersisa. Ia ... terlelap dengan cara yang tak wajar.
***
"Erza!" panggil Michelle pada cowok yang kini berada di ambang pintu kelas. Ia baru datang.
"Ya?" katanya setelah menoleh.
"Helen mana?" Lagi, Michelle bertanya.
Erza berjalan menghampirinya. Ah, lebih tepatnya sekalian menuju bangku tempatnya duduk yang ada di depan Michelle. "Sakit," jawab Erza singkat.
"Lah? Kok bisa? Bukannya kemarin libur? Dia juga nggak bilang apa-apa."
Demi apapun! Kepala Erza serasa ingin pecah setelah mendapat ocehan dari Michelle. Apalagi setelah kejadian tadi malam. "Tanyain Rendy sana," titah Erza membuat Michelle seketika terdiam.
"Dia tau?"
"Nggak, sih," kata Erza, "cuma kemaren anak JC datang ke AGJL. Dia tau Helen ngapain aja sampai sakit."
"Oh." Hanya itu yang bisa diucapkan Michelle, kemudian hanya diam memikirkan sosok gadis yang biasanya sudah marah-marah di pagi hari. Ia rindu ocehan sahabatnya itu.
***
Sepi, satu kata yang menggambarkan kamar Helen siang ini. Sementara mentari dengan teriknya menembus ke sela-sela jendela yang hanya ditutupi gorden siang.
Gadis itu mencoba untuk bangun dari posisinya. Sesekali mengingat apa penyebab ia bisa dengan santainya ada di kasur padahal ini sudah siang. Setelah meraih gelas berisi air yang sebelumnya ada di atas meja, Helen langsung meneguk isinya dengan cepat. Membiarkan tenggorokannya melega setelah sebelumnya terasa serat.
Cklek.
Ada yang membuka pintu dan ia masuk ke kamar Helen. Itu mama.
"Kamu udah bangun ternyata," kata mama yang membawakan semangkuk bubur ayam.
Helen sedikit muak. Kenapa setiap orang sakit harus disangkutpautkan dengan bubur. Kan masih banyak makanan bergizi di luar sana. Sejujurnya, ia benci mengingat kejadian tahun lalu. Saat ia dirawat inap untuk pertama kalinya. Sejak saat itu, ia jadi sedikit anti dengan makanan lembek bernama bubur itu.
"Makan dulu," kata mama. Helen hanya menatap tanpa minat bubur itu. "Len," panggil mama.
"Hmm." Helen hanya menggumam.
"Capek manggung?" tanya mama.
Helen terdiam sesaat. Bagaimana mama bisa tau? Bukannya―Ah, pasti Erza yang bilang. "Tapi seneng, Ma." Helen mengulas senyum tanpa sadar.
"Tapi itu butuh banyak tenaga," jelas mama. "Kamu sekarang ngerti kenapa mama sama papa ngelarang kamu ikut audisi?"
Gadis itu hanya terdiam. Sesekali menyomoti kacang kedelai dan daun seledri yang menjadi taburan bubur―yang sekarang ada di pangkuannya. Lebih dari sekedar ngerti, batin Helen. "Apa mama juga ngerti sama impian Len?" Helen bertanya balik, dan mulai menyendokkan makanan itu ke mulutnya.
"Lebih dari sekedar ngerti. Tapi kamu harus sadar mana impian yang benar-benar jadi tujuan kamu." Mama mengulas senyumnya. "Karena terkadang, saat kamu udah mencapai impian kamu. Kamu malah lupa sama tujuan awal kamu."
Mama benar, mama tidaklah salah. Tentang impian. Mungkin mama lebih tahu dari apa yang kita tahu. Bahkan bukan sekadar tahu. Tapi mama benar-benar mengerti. Juga, bukan sekadar impian. Mungkin semuanya.
"Kamu lagi suka sama cowok, ya?" tanya mama tiba-tiba.
Gadis itu langsung membulatkan matanya. Ini untuk pertama kalinya mama bertanya hal itu. Sebelumnya tak pernah sama sekali mengusik privasi cinta milik Helen.
"Udah nggak," jawab Helen malas. "Males ngurusin hal kayak gitu."
Mama langsung terkekeh. "Kalau benci sama orang, jangan kelamaan. Nanti nyesel sendiri."
"Dulu dia benci sama Len. Sekarang dia ngejar-ngejar, maunya apa?"
Lagi-lagi mama terkekeh. "Kamu mau kayak dia? Sekarang benci entar cinta?"
Helen dengan cepat menggeleng. "Aku nggak benci sama dia, cuma kecewa."
"Mantan kamu?"
"Mama ngaco."
"Lah, terus?"
"Anak Mama mana pernah pacaran."
"Terus ... cowok-cowok yang suka foto dan jalan sama kamu?"
"Itu teman semuanya. Anak JC," Helen berkata seolah tak terima.
"Temen cewek kamu?"
"Lele, sisanya anak JC, kebanyakan adik kelas."
"Kenapa?"
Helen terdiam sesaat. Ia tak yakin mengatakan hal ini pada mamanya. Tapi inilah kenyataannya. "Cuma mereka yang ngerti dunia Helen, Ma," kata Helen seperti merengek. "Mama tau kan kalo Helen sukanya sama jepang. Beda sama temen-temen kelas atau anak angkatan aku yang mayoritas lirik barat sama korea."
"Cuma gara-gara itu?" Mama bertanya untuk ke sekian kalinya.
Ah, tanpa disadari percakapan ini berlalu seperti ajang curhat antara anak dan ibunya.
"Nggak juga," jawab Helen.
"Terus?"
"Mayoritas temen laki-laki Helen cukup terkenal. Umm, tapi bukan anak-anak bandel sejenisnya, ya! Mereka anak baik-baik." Helen mencoba meyakinkan sang mama, "Dan mama pasti tau masalah anak cewek di sekolah kalo menyangkut hal begituan."
"Emang, sih," kata mama seolah berpikir. "Lagian kamu kok bisa deket sama anak-anak kayak gitu?"
Helen terkejut. Ia sendiri bahkan tak pernah tahu kenapa ia―secara tidak langsung punya hubungan dengan mereka. Tahu kan siapa saja? Sejenis Rendy, Fian, Adit, Bagas, Garda, dan ... Erza juga masuk.
"Mereka main FM juga, hehe. Terus, kebetulan satu klub dan kita punya pemikiran sama."
Tanpa sadar gadis itu sudah tertawa seperti biasanya. Mama yang ada di sampingnya hanya tersenyum melihat princess game kesayangannya.
"Dasar Ratu Wibu," tukas Mama.
Helen langsung menghentikan gelak tawanya. Mukanya pun langsung memerah dan padam. Lagi pula mama tahu dari mana dengan istilah itu. "Jangan ikut-ikutan manggil nama itu!"
***
Bogor, 6 Februari 2019
![](https://img.wattpad.com/cover/54167327-288-k796805.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Life an Enemy Couple [END]
FantasyTeen Fantasy Fiction. Highest Rank #77 on Fantasy. #250517 Nomine WAWA2017 Romance Remaja Terbaik ❁❁❁ Helen, seorang gamers sekaligus penggila Jepang yang dunianya mendadak berubah sejak kedatangan Flash a.k.a Erza. Sesosok malaikat―yang meng...