"Gue suka sama Lo."
Kalimat yang baru saja Rendy lontarkan itu sempat membuat Helen terdiam, kemudian menghela napas pelan. Ia tahu, dan sudah tahu cukup lama walau pada awalnya hanya menganggap kegeeran.
Kaget, tentu saja. Siapa yang tak kaget saat seseorang mengungkapkan sesuatu yang menyangkut hati pada diri kita. Mayoritas orang normal kaget. Sama halnya dengan Helen. Ia juga cuma gadis biasa yang merasakan jantungnya berdebar sedikit cepat dari biasanya. Tapi, bukan artinya ia suka sama Rendy-saat ini.
"Ren," panggil Helen.
"Lo marah, ya?" tanya Rendy sedikit ragu.
Helen menggeleng pelan. "Nggak, buat apaan?"
"Karena gue udah―"
"Suka sama gue? Hmm?" tanya Helen.
Rendy mengangguk, sesekali merutuki dirinya yang menjadi lemah seperti ini.
"Gue bahkan nggak berhak marah sedikit pun."
"Terus, lo bakal ngejauh pas udah tau semua ini?" tanya Rendy.
Lagi-lagi gadis itu menggeleng. "Buat apaan? Gue ngalahin lo aja belom pernah. Jangan harap ini jadi alasan lo buat kabur, gue pasti bisa ngalahin lo nanti."
Sebenarnya, Helen berusaha menenangkan diri.
Dan, cerocosan Helen barusan membuat Rendy mengulas senyumnya. Kemudian memandang cewek yang menggebu-gebu mengalahkannya di dunia game. Inilah salah satu alasan ia menyukai gadis tersebut. Tekadnya.
"Makasih banyak, ya." Rendy berkata ragu. Sedetik kemudian ia terkekeh.
Helen terdiam melihat raut wajah itu. Lalu ikut mengulas senyumannya. "Hmm." Jujur saja, ada yang ingin gadis itu sampaikan di sini. "Sejujurnya, mungkin gue pernah suka sama lo juga."
Ya, meski perasaannya pada Nathan ada sampai sekarang. Tak pernah menutup kemungkinan kalau Helen pernah menyukai Rendy.
"Hah?"
"Ya, gitu," kata Helen sambil memalingkan wajahnya. "Tapi, ada kenyataan yang nggak bisa bikin kita bareng. Takdir kita udah ditentuin, Ren. Dan, kita beda."
"Gue nggak ngerti," balas Rendy. Ia tak mengerti dan tak tahu cara mencerna semua ini. Helen mungkin pernah menyukainya, tapi takdirnya sudah ditentukan? God, ia benar-benar pusing.
"Emang agak rumit, tapi gue bakal cerita sekarang." Gadis itu membuka diri, sisi Helen yang satu lagi kini hadir di hadapannya. "Erza, dia itu sebenarnya ...."
Jantung Rendy tak dapat tenang, pikirannya sudah terbang kemana-mana. Sekarang, kenapa gadis itu harus bawa-bawa teman dekatnya segala. Ya, teman dekat. Memang begitu, kan?
"Dia itu ... malaikat takdir-"
"Maksudnya malaikat takdir? Cowok lo gitu? Atau orang yang udah ditentuin sama keluarga lo buat jadi .... Ya, in the future." Oke, Rendy salah paham.
Helen mengembuskan napasnya kasar. "Dengerin gue dulu makanya. Nyebelin Lo, ah!" Itu ... sikapnya yang biasa.
"Oh, oke." Rendy mengalah.
Lagi pula jarang gadis ini mau bicara tentang dirnya sendiri.
Sekarang, Helen menarik napasnya panjang, seolah memberi bekal pada tubuhnya karena harus mengoceh panjang sesaat lagi. Kemudian berkata, "Dia bukan manusia, Ren."
Di sini, Rendy benar-benar tak bisa menyimpulkan apapun. Ia bungkam. Ia semakin tidak paham.
"Malaikat penjaga benang takdir, dia bukan manusia." Helen memperjelas.
Tetapi masih tak ada kesimpulan yang bisa Rendy ambil. Ini juga bukan saatnya untuk bercanda, bukan saatnya menebar khayalan yang ada di pikiran gadis itu. Tapi kenapa cara bicara dan sorot mata gadis itu tak menyiratkan kebohongan. Semua, seolah hal yang nyata?
"Gue tau lo bingung, gak percaya, mikir ini khayalan gue karena biasa ngibul waktu nulis. Tapi ... lo harus percaya kalau ini nyata." Helen menunduk, entah apa yang membuatnya sepeti itu. "Awalnya juga gue gak percaya dan nyangkal abis-abisan, tapi kenyataan itu gak pernah bisa dipungkiri."
Rendy masih diam. Tapi perlahan ia bisa menarik kesimpulan. Gadis di hadapannya bukanlah orang yang suka berbohong untuk hal-hal yang cukup penting. Memang rasa percaya itu masih kabur, tapi hatinya tahu kalau apa yang dikatakan gadis itu adalah benar.
"Gue percaya, kok," kata Rendy.
Helen kini mendongak. "Yokatta."
"Lalu ... who's your future?" tanya Rendy membuat air muka gadis itu berubah jadi ... err, sepertinya ia salah bertanya hal itu.
"Yang kata Adit," jawab Helen sambil memalingkan wajahnya-yang merah sesaat.
Itu di luar dugaan, Rendy kira ia akan mencak-mencak marah padanya. Akhirnya, Rendy tak membalas, hanya mengulas senyum. Namun tak lama....
"Len," panggil Rendy kala gadis itu memasukkan laptopnya ke dalam tas.
Helen menoleh kemudian ... diam kala merasa tubuhnya didekap erat oleh seseorang.
Deg
Rendy ... mendekapnya.
"Maaf, ya, karena gak bisa lanjutin perasaan itu." Helen bisa mendengar detak jantung cowok itu dengan sangat jelas. "Setsunai ka na?"
"Wibu," balas Rendy sambil terkekeh. Masih dalam pelukannya. "Biarin gue kayak gini dulu, ya?"
Helen tak mengiyakan, tidak juga menolaknya. Ia hanya bisa terdiam. "Lo juga Raja Wibu," tukas Helen. Senyumnya terukir, tanpa sadar air matanya pun mengalir.
"Tapi sayangnya...," Rendy menggantung kalimatnya, "Raja Wibu nggak pernah bisa bareng-bareng sama ratunya."
***
Glare Heart. Tempat yang rutin Flash datangi akhir-akhir ini. Bahkan ia sengaja tak pergi ke sekolah hanya untuk memastikan benang-benang itu terlepas.
"Udah lepas lagi," ucap Flash yang memandang kotak kaca itu.
Salah satu benangnya sudah lepas lagi. Siapa orang itu, Flash tidak tahu. Ia hanya bisa menebak-nebak siapa itu. Yang pasti bukan dirinya. Karena ia belum sanggup. Seandainya gue nggak egois waktu itu, batinnya. Kembali memandangi kotak itu. Tersisa 3 benang. Dua yang sudah pasti terikat. Dan satu lagi ....
Erza hanya bisa mencengkram dadanya kuat-kuat.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/54167327-288-k796805.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Life an Enemy Couple [END]
FantasyTeen Fantasy Fiction. Highest Rank #77 on Fantasy. #250517 Nomine WAWA2017 Romance Remaja Terbaik ❁❁❁ Helen, seorang gamers sekaligus penggila Jepang yang dunianya mendadak berubah sejak kedatangan Flash a.k.a Erza. Sesosok malaikat―yang meng...