Bet, Broken, Neighbour

520 57 6
                                    

Ini hanya semacam oneshot aja, ya. Gak ada hubungannya sama naskah yang udah rampung. Sekalipun ada, aku nggak tau dia bisa nyempil di mana. Kubuat ini karena dapet random prompt dari Cindy. Akhirnya kubuat ini. Semoga suka <3

HAPPY READING!

***

“ ... mereka yang nawarin, lagian mama gak bisa biarin kamu sama Erza berdua di rumah.”

Helen masih berusaha mencerna perkataan mama di balik telepon itu. Maksudnya apa-apaan, mereka sekeluarga tiba-tiba pergi ke rumah nenek sementara dirinya dan Erza—yang ada di depan teras—ditinggalkan di rumah dengan alasan mereka tidak ada libur, dan kasihan juga kalau Erza ditinggal sendiri di rumah.

“Ma, maksudku gini,” kata Helen berusaha membujuk keputusan gia sebelumnya, “ya, mama bisa kan usir Erza sementara ke rumah Kak Nat sendiri. Gak usah ajak-ajak aku segala. Lagian—”

“Mama gak bisa jamin kamu berani ditinggal di rumah sendiri. Terakhir ditinggal kamu kepeleset di kamar mandi gara-gara ada anu yang—”

Helen sontak membelalakan matanya saat mengingat kejadian waktu itu. Tapi kan itu salahnya sendiri gara-gara masuk kamar mandi malah bernyanyi bukannya berdoa, ia juga sudah kapok dan gak akan mengulangi hal itu lagi.

“Ma, tapi kan ...”

“Mamaaaa!”

Tuuuut ....

Telepon itu terputus begitu saja, Helen masih tak percaya dengan apa yang akan ia hadapi seminggu ke depan ini. Ya ampun, bisa tidak sehari saja ia lepas dari anak yang ada di rumah sebelah itu.

Sejak kapan pula jarak mereka yang sudah cukup jauh ....

Pikiran gadis itu terhenti, matanya beralih pada cowok yang kini sedang anteng dengan ponselnya di dekat jejeran pot stroberi punya mama.

“Ah, ini pasti kerjaan Lo lagi, kan?” tukas Helen sambil berkacak pinggang.

Erza menoleh cepat, membalas delikan yang diberikan oleh gadis itu sebelumnya. “Dih, sori, ya. Kali ini bukan kerjaan gue atau apaan. Maaf aja, gue lagi anteng sama buntelan bola daging,”—ia menunjukan sekumpulan foto anak kucing di ponselnya--“pelihara satu ‘napa?”

Helen menepuk dahinya, manusia—oke, dia bukan manusia—ini tidak bisa diajak kerjasama, yang ada hanya membuatnya naik darah dan membuat masalah ini semakin runyam.

“Ya, seenggaknya bantuin napa biar gue nggak nginep di rumah orang itu,” desak Helen pada akhirnya.

Tanpa melirik ke arahnya lagi, Erza bertanya, “Terus imbalannya?”

Demi apapun ia menyebalkan. “Lo maunya apa, hah?”

“Kan tadi udah bilang,” kata cowok itu, “pelihara sa—”

“Enggak bisa,” balas gadis itu mutlak. Tidak, ia tidak mungkin pelihara hewan itu meski suka lihat foto-fotonya juga.

Erza tampak menganggukan kepalanya sekali, kemudian menoleh sambil tersenyum. “Oke, sama-sama. Enggak bisa.”

Jawaban itu jelas membuat Helen ingin menjahit mulut orang itu—dan mulutnya juga kalau bisa. Padahal sejak awal ia sudah tahu kalau Erza pasti menolak mentah-mentah sesuatu yang ia minta kalau ada hubungannya dengan menghindari ... Nathan.

“Zaaa, sekali aja, suruh Risa aja nginep di rumah. Lo nginep di rumah mereka sama orang itu.”

Erza tak membalas, bukannya apa. Meski ia ingin membantu, tapi kalau ia melakukan itu, rasanya akan sia-sia. Karena pada akhirnya, ia sendirilah yang akan terjatuh lebih dalam lagi tanpa mendapat uluran tangan. Ah, ia enggan membayangkan hal menyebalkan itu.

Lagi pula, ia berani bertaruh kalau sikap gadis ini masih ada hubungannya dengan perasaannya pada orang itu. Mau mengelak sekuat apapun juga, ia tak akan bisa berbohong.

Pada akhirnya, Erza hanya bisa menghela napas panjang. Pekerjaan macam apa ini? Batinnya diam-diam bertanya. Sampai ...

Bip!

Suara notifikasi memecah keheningan sesaat di antara mereka. Itu sebuah pesan yang masuk ke ponsel Erza.

“Siapa?” tanya Helen yang wajahnya masih saja ditekuk.

“Mama.”

Secepat mungkin Erza membacanya, kemudian meunjukannya pada gadis yang berdiri tak jauh di belakangnya.

Za, mama titipin kamu sama Helen ke rumah sebelah, ya? Mamanya Nat yang nawarin, Nat sama Risa juga udah tau kok kalian ditinggal berdua. Lagian gak enak juga kalau gak diterima dan ... ya, kamu tahu sendiri, kan? Maaf ya.

“Lo tau apaan?” tanya Helen sinis setelah membaca pesan tersebut.

Tanpa membalas, Erza berdiri dari tempat semula ia  berjongkok. Berjalan ke arah gadis itu kemudian ...

Tak! Tangannya menjitak kepala gadis itu.

“Dodol!”

“Dih, apa-apaan, gak jelas sum—”
Erza buru-buru memotong ocehan gadis itu. “Ganti seragam Lo sana, gue duluan ke rumahnya Nat. Nanti Lo tinggal nyu—”

“Jangan ngaco! Tunggu di sini, gila aja gue ke sana sendirian. Sarang setan kayak gitu.”
Kini, giliran gadis itu yang memotong ucapannya.

Meski Erza ingin memotong balik, tapi rasanya ... ia tak punya kata-kata untuk dikatakan.

Ah, kenapa jadi begini? Kenapa pula setelah baca pesan yang mama kirimkan perasaannya jadi suram? Itu ... menyebalkan.

Belum lagi kata-kata terakhir yang diucapkan gadis itu ... kembali membuatnya jatuh. Mau bagaimana lagi? Pada akhirnya, ia yang harus menanggung rasa sakitnya.

“Cepetan!”

***

Bogor, 26 April 2019

Love Life an Enemy Couple [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang