VS 7 | Your Tongue is Fire

1.6K 208 10
                                    

Jam 06:45 pagi, seorang gadis memandang ke arah jarum jam yang berputar, kemudian melirik bangku yang ada hadapannya. Sebuah Jaket merah tersimpan di atasnya, pertanda sang empu sudah tiba.

"Tumben," gumam gadis itu sembari mengulas senyum.

"Pagi," sapa seseorang dan langsung duduk di kursi sebelah yang masih kosong. Itu Michelle.

"Oh, pagi," balas Helen singkat sembari mengacuhkan pandangan Michelle yang sedikit mengganggu. "Apa?" tambahnya karena pernasaran.

"Apa cuma gue yang salah liat kalo seorang Helen liatin meja Rendy?" tanyanya dan lebih tepatnya bertanya pada diri sendiri. "Oh, wow! Dia udah dateng, keajaiban!"

Reaksinya berlebihan, batin Helen.

"Gue gak liatin," tukas Helen cepat.

"But your eye―"

"Si pinter, mejanya kan di depan meja kita!" kata Helen membuat Michelle terkekeh.

"Lagian―"

"Apa?!" potong Helen lagi. "Lo cemburu gitu?"

"Nggak, sih," balas Michelle santai lantas cengengesan.

Asem, batin Helen kemudian duduk di bangkunya.

***

"Len, tolong hubungin anak-anak, ya!" kata Rendy yang tiba-tiba menghampiri meja cewek itu.

Anak siapa pula, batin Helen sembari mengangguk. "Ya!"

Usai Helen membalas, Rendy menghilang dari pandangan gadis itu. Ah, jangan bayangkan kalau dia punya teleportasi. Cowok itu memang cepat kalau berjalan.

"Dari mana?" tanya Helen pada Michelle yang mendadak datang dengan satu kotak susu stroberi dan roti cokelat. Rasanya ia tidak perlu bertanya lagi setelah melihat apa yang dibawa oleh orang yang katanya model majalah sekolah itu. "Gak jadi," tambah Helen sambil kembali berkutat dengan laptop-nya.

Menulis cerita picisan yang tokoh utamanya dirinya sendiri. Walau yang membacanya hanya sekitar ratusan dan hanya beberapa reader yang bercicit di kolom komentar. Ia tak pernah peduli. Toh, ia menulis demi menghilangkan tekanan dalam hidupnya. Entah tekanan apa.

"Mau?" tawar Michelle sambil menyodorkan kotak susu dan roti yang sobek ujungnya karena sudah ia gigit.

"Nggak, makasih," tolak Helen cepat, masih dengan jari-jemarinya yang berlarian kesana kemari. Menyusun satu kata demi kata.

"Project yang mana lagi?" tanya Michelle yang mulutnya cukup penuh dengan roti namun suaranya masih merdu.

"Masih yang kemaren." Helen melirik sekilas pada Michelle kemudian kembali ke monitor.

"Hear?" Michelle menyebutkan judul cerita milik Helen.

Ia mengangguk pelan. "Masih yang kemaren, masih sedikit yang baca," katanya sambil tersenyum miris. "Sebenernya bukan masalah sih. Tapi, gimana gue mau berbagi kebahagiaan ke orang-orang yang rupanya bahkan gak bisa aku lihat." Oke, bahasa Helen mulai berubah. Biasanya ini terjadi saat ia sedang menulis, berbicara dengan Shereen-sahabat lamanya-atau mood-nya berada dalam endapan paling bawah.

"Bahasa lo mulai, deh." Michelle menautkan kedua alisnya.

Bahkan Michelle pun terkadang tak percaya kalau seorang Helen punya dua sisi yang berbeda 180° dalam dirinya. Manusia seperti gadis itu, tak akan bisa dengan mudahnya dijumpai di dunia ini.

***

Helen duduk sambil mengotak-atik keyboard virtual yang membuatnya tidak mengalihkan pandangan sedikit pun. Tentu saja, semenjak komputer yang ada di hadapannya mati karena listrik yang tak kuat. Helen memilih melanjutkan ceritanya di ponsel dibandingkan mendengar ocehan teman-teman sekelasnya-yang rasanya sangat tidak penting. Ah, mereka teman bukan, ya?

Love Life an Enemy Couple [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang