"Jok!" Seruan itu terdengar lantang dan jelas di lapangan yang hening sejak tadi.
"Ssstttt! Panggil gue Jek." Protes Joko. Dia melihat sekeliling lalu menunduk malu. Menyumpahi temannya yang memanggil namanya sembarangan. Bukannya apa, tapi dia malu menjadi pusat perhatian seperti ini.
"Yaelah, nama Joko aja sok-sokan mau dipanggil Jek." Eko mendengus.
"Eh, nama gue itu sebenernya Jack, tapi dipelesetin aja sama papa gue jadi Joko. Gini-gini, gue masih keturunan Belanda tau." Sekarang Joko serius. Memang, papanya masih keturunan Belanda dan Joko masuk kategori laki-laki tampan di sekolahnya dulu. Tapi banyak yang meremehkan 'ganteng-ganteng namanya Joko.'
Joko kesal jika ingat pertanyaan teman-temannya tentang namanya. Menurutnya, apa masalahnya dengan sebuah nama. Biarlah namanya Joko, tapi wajahnya Zayn Malik.
"Udah dapet belom kertasnya?" Seolah tak mendengar protes dari Joko, Eko menanyakan maksud tujuannya tadi.
"Belom. Si Dee mana?" Eko mengangkat bahu sekilas.
"Mungkin dia ketemu kertasnya."
"Gue udah kasih tau kok, kalo dia dapet kertasnya, dia kasih kabar ke gue." Joko mengangguk paham setelahnya melanjutkan aksinya, mencari kertas.
Beberapa menit yang lalu para peserta didik baru diajak bermain game. Mereka harus mencari kertas tersembunyi yang terdapat nama kelompok mereka masing-masing. Dimasing-masing kertas, terdapat clue-clue yang harus mereka cari. Dari clue-clue itu, mereka akan mendapat jawabannya.
---
"Aduh, dimana sih?" Deeva masih sibuk mencari walau tak menemukan kertas itu dimanapun. Padahal dia sudah mencarinya disudut yang tersembunyi sekalipun. Tapi tetap saja, kertas itu seolah tak kasat mata.
Tapi ada satu tempat yang belum dicarinya. Di sudut dekat toilet laki-laki. Sebenarnya Deeva ragu. Takut-takut kalau ada laki-laki yang melihatnya dan menuduhnya sembarangan. Tempat itu memang tidak pernah dikunjungi perempuan. Karena tempat itu terdapat di sudut dekat toilet laki-laki. Perempuan mana yang ingin pergi kesana?
Deeva berulangkali meyakinkan dirinya. Mengambil nafas lalu menghembuskannya perlahan. Meyakinkan dirinya sendiri kalau yang dilakukannya sebuah pengorbanan.
Dengan langkah ragu, Deeva mendekat ke sudut sambil sesekali pandangannya berkeliling. Barangkali ada orang yang akan memergokinya dan membuatnya malu.
Semakin dekat, jantungnya semakin berpacu dengan cepat. Hanya sedikit lagi. Sedikit lagi dia sampai dan semuanya selesai. Tapi langkahnya terhenti beberapa centi dari pintu toilet. Kakinya seolah menempel pada lantai. Sulit digerakkan. Matanya tidak berkeliling seperti tadi. Penglihatannya hanya berpusat pada satu titik.
Dia. Satu kata itu mampu membuat adrenalinya berpacu. Jantungnya berdegup lebih cepat dari sebelumnya. Pasukan oksigen seolah menipis.
Laki-laki itu baru saja keluar dari toilet dan sedang merapikan seragamnya. Deeva terus memperhatikannya. Setiap gerakannya tidak pernah lepas dari penglihatannya. Dia tahu dia sedang menatap laki-laki itu terang-terangan meski dia tidak menyadarinya.
Laki-laki itu merapikan rambutnya sambil sesekali menepuk seragamnya, lalu mengikat tali sepatunya. Deeva melihat semuanya. Hingga laki-laki itu berjalan melewatinya. Hampir sedikit lagi bahu mereka bertabrakan tapi Deeva menghindar. Fokusnya ke depan, tapi laki-laki itu tetap tidak menyadari kehadirannya. Laki-laki itu terlalu fokus dengan seragamnya.
Deeva berbalik. Memandang punggung itu yang semakin menjauh dari penglihatannya. Laki-laki itu menaiki tangga. Itupun tak lepas dari pandangan Deeva. Dia memperhatikannya sedetail mungkin.

KAMU SEDANG MEMBACA
ALTERIO
Teen Fiction"So, can you choose?" || Cover by @jacalloui Copyright© 2016, by Oolitewriter