19. Maaf

7.3K 544 41
                                    

Seandainya Tuhan memberikan kesempatan kepada Deeva untuk memutar waktu, memilih kembali tentang jalan hidupnya dan semua jawaban tentang kebimbangannya, Pilihannya tetap sama. Menerima Rio dan menunggu laki-laki itu menjadikan Deeva pacarnya.

Gadis itu tahu, perjalanannya tak semudah itu. Perjuangannya tak sesingkat itu. Tapi, Deeva selalu berharap kebahagiaannya akan sebanding dengan proses yang dijalaninya.

"Jangankan es, tokonya juga gue beliin buat lo." Tio menyeruput minuman dingin yang baru dibeli Ayu dari kantin. Gadis itu memberengut kesal.

"Heh, combro! Gue gak peduli ya lo mau beliin gue tokonya kek, abangnya sekalian. Tapi ini minuman gue, gue tuh belinya ngendap-ngendap udah kayak maling. Lo malah minum gitu aja, beliin lagi gak? Sekarang!" Gadis itu menarik rambut Tio hingga laki-laki itu meringis sambil memegang tangan Ayu yang berada di atas kepalanya.

"Heh, Oncom! gak usah tarik-tarik rambut gue. Sakit!" Tio berusaha melepaskan cengkraman tangan Ayu pada rambutnya. Tapi semakin berusaha melepas, cengkramannya semakin kuat.

"Tanggung jawab!"

"Wow! si Tio sama Ayu ngeri. Maennya 'tanggung jawab'. Anak orang lo apain Yo?" Joko cekikikan, sementara Ayu menatapnya tajam. "Dasar lo! Otak mesum."

Deeva tertawa. Suasana kelasnya selalu seperti ini setiap jam kosong. Selalu membuat kerusuhan. Dan Deeva sama sekali tak keberatan. Meski selalu dijuluki kelas troublemaker di kelas X, tapi Deeva tak pernah melihat anak-anak lain seperti ini di kelas lain. Semuanya sibuk membentuk kelompok. Bukan kebersamaan dan saling menjelekkan seperti ini.

Ada yang sedang galau-galauan di meja baris ketiga nomor dua. Nida menyanyikan lagu 'Takkan Terganti' milik Marcell, dengan Diana yang diam-diam merekamnya. Kalau Deeva boleh jujur, suara Nida tak enak didengar sama sekali. Dan perlu kalian ketahui, Nida menyanyi dengan suara keras.

"Woy! Suara lo kek kaleng rombeng bege."

"Sirik aja lo."

Dan di sudut kelas, hampir semua laki-laki di kelas ini sedang menari ala-ala di club dengan musik yang menghentak-hentak telinga. Deeva biasa menyebutnya 'anak-anak broken home', dan pasukan itu tak pernah berubah.

Dan di sudut kelas yang berlawanan, segerombol teman perempuan juga teman laki-lakinya sedang berkumpul membentuk lingkaran padat. Tak usah ditanya, diantara mereka pasti ada Yoga yang selalu menjadi bahan bully-an di kelas ini.

"Gak usah sok ganteng lo jadi cowok! Jijik gue."

"Tau lo! jelek mah jelek aja."

"Berisik lo!" Terdengar suara Yoga yang membela dirinya.

"Sett songong ini orang. Belagu lo! Udah jelek gak tau diri."

Kalau boleh jujur, saat teman-temannya menghina Yoga itu serius, tak ada main-main. Dan bentuk bully-annya macam-macam. Tapi terlalu sering mengolok-olok seperti ini. Dan Yoga selalu melawan meski akhirnya dia yang kalah. Pasukan anti Yoga semakin bertambah dan sudah menyebar hampir ke seluruh kelas. Dan Deeva salah satunya. Gadis itu juga pernah ikut mengerjai Yoga saat mata pelajaran Fisika.

'Sambala, sambala, bala, sambalado, terasa pedas terasa panas.'

"Digoyaaaaaang!" Serentak, semua siswa tertawa terbahak-bahak. Musik yang berasal dari sudut kelas kini sudah berganti menjadi lagu paling fenomenal saat ini.

"Hahaha, najis kek orang tolol."

Kasak-kusuk di dalam kelas mendadak berhenti saat pak Ridwan, guru biologi mereka sedang berjalan ke arah kelas. Kepalanya menyembul di balik jendela, menatap murid-muridnya yang mendadak sedang membaca buku.

ALTERIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang