28. Kangen

5.1K 461 8
                                    

Rio masih memaku memandang kepergian Deeva hingga gadis itu menghilang di tikungan. Ditariknya napas, lalu dihembuskannya kasar. Mungkin ini yang terbaik, pikirnya.

“Gue udah bersihin bilik satu, dua sama tiga. Lo sisanya,” Alan mengatur napasnya setelah keluar dari toilet. Laki-laki itu memperhatikan Rio yang masih bergeming seolah tidak mendengar perkataannya tadi. “Woi, lo ngelamun?” Alan menyenggol bahu Rio hingga laki-laki itu mengerjap, lalu mengalihkan pandangannya pada Alan.

“Lo ngomong apaan?”

“Lo ngeliatin apa, sih?” bukannya mengulang ucapannya tadi, Alan justru mengajukan pertanyaan pada Rio.

“Bukan apa-apa. Udah lo bersihin?”

Alan mengangguk. “Tinggal tiga bilik terakhir.”

“Oke,” Rio menepuk bahu Alan, tapi laki-laki itu segera menepisnya.

“Nggak usah sentuh-sentuh gue.”

“Lan?”

“Hm?”

“Makasih.”

Alan mengernyit begitu Rio mengucapkan kata terima kasih padanya. Laki-laki itu berpikir, ada yang salah pada otak Rio. “Makasih karena udah mukulin lo?”

“Makasih karena lo nggak bunuh gue,” Rio terkekeh.

Alan mendesis, tatapannya berubah tajam. “Makasih juga.”

Sekarang, Rio mengernyit bingung. “Makasih karena udah belain lo di ruang BK? Nggak masalah.”

Sementara Alan menggeleng. “Makasih karena udah ingetin gue,” cowok itu langsung melayangkan tinjunya tepat di depan wajah Rio. Tapi sebelum berhasil, Rio menahannya.

“Lo mau bunuh gue beneran?” Rio masih berusaha keras menahan kepalan tangan Alan agar tak menyentuh wajahnya.

“Kenapa nggak?”

Secepat mungkin, tanpa diduga-duga, Rio meninju perut Alan dengan lututnya. Alan yang terkena serangan mendadak itu hanya mampu meringis kala perutnya merasakan nyeri tiba-tiba.

“Sori, gue cuma nggak mau lo masuk penjara,” Rio berbisik tepat di telinga Alan, lalu terkekeh. Sebelum akhirnya memasuki toilet laki-laki dan mulai membersihkannya. Meninggalkan Alan yang terus mengumpat karena kesakitan.

---

Deeva kembali menarik napas untuk yang kesekian kalinya, lalu menghembuskannya perlahan. Dia perlu keberanian untuk keluar kelas, lalu keluar gerbang. Pasti akan banyak tatapan yang menghinanya, mengucilkannya, meremehkannya, atau apalah itu saat dia berjalan menyusuri koridor. Meski selalu meyakini dirinya bisa, tapi rasa takut itu tetap tak kunjung hilang.

Rasanya, Deeva ingin cepat lulus dan segera meninggalkan segala kenangan buruk yang terjadi sejak kemarin. Tapi itu mustahil mengingat dia baru kelas sepuluh.

Kelas sudah sepi sejak lima belas menit yang lalu, tapi Deeva enggan keluar. Dia terlalu takut.

Tapi perlahan, dengan keberanian sebesar biji jagung, Deeva mengangkat kaki kirinya hingga melewati pintu kelas, lalu menarik napas lagi. Setelah itu, mengangkat kaki kanannya hingga berada tepat di samping kaki kirinya. Berhasil. Sekarang, dia hanya perlu berjalan biasa menyusuri koridor. Meski bel sekolah sudah berbunyi dua puluh menit yang lalu, tapi suasana sekolah masih ramai mengingat banyaknya kegiatan yang diadakan setelah bel pulang.

Perlahan tapi pasti, Deeva mulai berjalan menyusuri koridor kelas sepuluh, lalu menuruni tangga hingga sampai ke lantai dasar. Tangannya terkepal kuat pada penyandang tas punggungnya, lalu menarik napas lagi. Kini, semua mata yang berada di koridor menatapnya secara terang-terangan. Deeva mulai mengerti, ini tidak semudah kedengarannya. Dia mendengar bisikkan yang senagaja dikeraskan saat dirinya melewati koridor. Gadis itu berusaha tidak mendengar, tapi berakhir sia-sia.

“Cantik sih, tapi kalo cuma jadi PHO buat apa?”

“Songong banget, baru kelas sepuluh aja udah mau jadi jagoan.”

“Cantik-cantik kelakuannya busuk.”

Tangannya terkepal semakin kuat, hatinya bergetar ingin menangis. Tapi, Deeva tidak akan memperlihatkan betapa lemahnya dia di depan orang-orang seperti mereka.

Sementara di sisi lain, Rio sedang memerhatikan Deeva yang terus menunduk dari lapangan parkir. Dalam hatinya, dia merasa sangat bersalah. Lebih dari itu, dia kecewa pada dirinya sendiri.

“Gue perlu ke sana?” Rion memasukkan kedua telapak tangannya ke dalam saku celana abu-abunya.

Rio menggeleng. “Memperburuk suasana.”

Rion mengangguk setuju. Dia lalu menghela napas. “Gue nggak ngerti. Kalo lo emang sayang sama Deeva, kenapa nggak putusin Dessy?”

“Nggak tega.”

Jawaban singkat dan spontan dari Rio membuat tangan Rion tanpa sadar mengepal, lalu kembali terlepas. “Tau ah, capek gue ngomong sama lo. Jawabannya dari kemaren bikin gue pusing.”

Mendengar nada bicara Rion yang putus asa, sontak laki-laki itu terkekeh. “Ya udah, nggak usah nanya-nanya lagi.”

“Lo terlalu tenang. Gue heran, dalam masalah apapun, lo keliatan biasa aja. Lo selalu setenang ini? Pas Mama sakit, Papa marah, gue berantem, Reta nangis, Deeva dijudge. Gue nggak pernah liat lo ngamuk kayak orang gila, marah-marah kayak emak-emak nagih kontrakan, nangis kayak cewek galau. Coba deh muka marah,” Rion memutar tubuhnya hingga mengahadap Rio. “Kayak gue,” laki-laki itu lalu menujukkan ekspresi marahnya: mata melotot, rahang mengeras, gigi bergemeletuk. “Coba,” ujarnya.

Tapi, bukannya menuruti perkataan Rion, Rio justru terkekeh. “Itu lebih mirip muka nahan boker.”

Rion yang tak terima langsung membentak saudaranya. “Itu muka marah. Coba, coba!”

Rio sontak menggeleng. “Nggak, itu aneh. Muka lo jadi jelek.”

Rion langsung melengos malas, lalu melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. “Reta ke mana, sih? Nggak nongol-nongol. Katanya piketnya cuma bentar.”

Sementara Rio tidak menanggapi perkataan Rion. Dia justru terus melihat Deeva yang sekarang sudah masuk mobil. Tanpa sadar, tangannya yang berada di dalam saku celana abu-abunya terkepal kuat.

ALTERIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang