29. Deeva dan Tantangan

5K 437 12
                                        

Deeva baru tersadar saat Rio sudah menghilang di tikungan. Gadis itu mengerjapkan mata, lalu menggeleng berkali-kali. “Nggak, ini salah. Aduh jantung, biasa aja dong! Alay lo tau, nggak? Kayak pertama kali kenal cogan,” omelnya entah pada siapa.

Deeva kembali melanjutkan langkahnya yang tertunda tadi. Tapi, entah kenapa bibirnya membentuk senyuman meski otaknya berusaha menolak. Bahkan, hatinya tak memihak pada logikanya sendiri. Deeva kalah.

Dia tersenyum sopan, membalas ucapan terima kasih dari Bu Titin, guru Bahasa Inggrisnya. Deeva kemudian kembali duduk di tempatnya, tanpa sosok Kafka di sampingnya. Dia menolehkan kepalanya ke belakang, dan tersenyum menatap Kafka yang menatapnya juga. Ini tidak butuh waktu lama. Semuanya akan kembali seperti semula, setelah berita di mading itu sudah tidak layak diperbincangkan lagi. Sebentar lagi, kehidupan Deeva pasti kembali seperti semula. Dia hanya butuh waktu.

---

Deeva masih menunggu Syifa yang berada di dalam ruang guru sambil memainkan kakinya. Sepertinya itu lebih menarik dibandingkan mengangkat kepalanya, lalu menemukan tatapan-tatapan seperti kemarin. Tatapan yang sebenarnya membuat Deeva merasa tidak dihargai. Tapi mau bagaimana lagi, semuanya memang terjadi karenanya sendiri.

“Udah. Mau ke kantin, nggak?” Syifa menyapa begitu keluar dari ruang guru.

“Nggak deh, gue udah makan tadi. Bawa bekel. Lo nggak mau ke kantin?” Deeva dan Syifa berjalan menyusuri koridor.

“Nggak laper. Lo kenapa keluar kelas?”

“Males aja, mau jalan-jalan.”

Jawaban spontan dari Deeva membuat Syifa terkekeh. “Mending di kelas deh, di sini lebih panas,” Syifa menekankan kata panas, agar Deeva mengerti maksudnya.

“Lebih sakit lagi kalo ngeliat sikap sahabat gue sendiri ke gue. Ya, mungkin mereka lebih enak nyebutnya mantan sahabat.”

Syifa mengangguk mengerti. “Gue sebenernya juga bete di kelas. Rion ngatain gue mulu.”

Deeva menanggapinya dengan kekehan. Omong-omong soal Rion, Deeva belum pernah lagi mengobrol dengan laki-laki itu setelah mereka berbaikan. Apa kabar Rion sekarang?

“Eh, Kak, ke lapangan indoor yuk! Ngadem.”

Syifa mengangguk setuju.

---

Dessy berjalan secepat yang dia bisa sambil mengusap bulir airmatanya yang jatuh. Tidak ada yang lebih jahat dari pengkhianatan. Dan, Dessy telah mendapatkannya hari ini. Dia, dengan mata kepalanya sendiri sudah menyaksikan bagaimana jahatnya Rio, dan bagaimana busuknya Deeva. Mungkin memang Rio sudah merubah perasaannya sendiri, tapi bukan dengan cara ini. Biar bagaimana pun, cara seperti ini tidak bisa dimaafkan. Lebih baik Rio mengatakannya secara langsung kalau dia sudah tidak mencintai Dessy lagi. Jika dibandingkan dengan bermain di belakangnya, jelas itu lebih terhormat.

“Dess,” Rio menahan tangan Dessy, tepat sebelum gadis itu memasuki toilet.

Dessy berbalik. “Apa?” nada suaranya berubah getir.

“Gue bisa jelasin. Tapi, bukan di sini. Lo harus ikut gue. Mau, kan?”

Lama, Dessy menimang apa yang harus dia lakukan. Tapi, setidaknya mendengarkan penjelasan Rio itu lebih baik dibanding salah prasangka. Jadi, Dessy mengangguk.

Setelah itu, keduanya sama-sama berjalan keluar gedung sekolah. Rio mengambil motornya, lalu membawa Dessy pergi bersamanya ke tempat yang jauh lebih nyaman untuk mengatakan semuanya.

Rio membawa Dessy ke jalanan komplek perumahan dekat sekolah, lalu berakhir di sebuah taman kecil yang biasanya di saat seperti ini sepi pengunjung. Rio menarik tangan Dessy, lalu membimbingnya duduk di kursi yang telah disediakan, di tepi danau. Dia membawa Dessy begitu hati-hati, seolah tubuh gadis itu begitu rapuh.

“Dess, lo pasti udah denger semuanya, kan? Gue minta maaf. Gue tau ini klasik banget, tapi gue bener-bener minta maaf.”

Dessy diam, memilih menunggu Rio melanjutkan kata-katanya.

“Maaf, gue sayang Deeva.”

Entah bagaimana perasaan Rio saat mengatakan itu, tapi Dessy melihat dengan jelas, bahwa Rio mengatakannya dengan tatapan terluka.

“Gue nggak mau nyakitin siapa pun. Gue mau jujur, tapi gue takut. Gue tau gue emang banci, pengecut, atau apapun itu. Tapi yang jelas, gue milih lo.”

Dessy mengerjapkan mata kaget. “Tapi, lo bilang kalo..............”

Kata-kata Dessy berhenti saat Rio menggenggam tangannya. “Gue ga bakal pergi, selama lo nyuruh gue tetep tinggal. Gue bakal tetep di sini, selama yang lo mau.”

Dessy tersenyum, lalu mengangguk. “Tapi, kita backstreet.”

Rio melengos malas. “Serius, Meo.”

Romeo mendengus. “Gue serius. Gue liat di mading. Gue males lah ikut acara kemping-kemping gitu. Tahun kemaren aja gue nggak mandi seharian. Mana kalo mau berak ribet.”

Budi yang sedang mencatat lantas menoleh. “Tiga angkatan?”

Romeo menggeleng. “Dua angkatan doang. Kelas XII mana boleh ikut. Mereka itu mau difokuskan ke UN.”

“Gue nggak ganteng lagi kalo ikut acara begituan. Males lah,” Budi memberi tanggapan yang sama seperti Romeo.

Sementara Rio memilih diam. Sebenarnya, responnya biasa saja terhadap acara ini. Tapi masalahnya, Rio pasti akan bertemu Deeva dari pagi sampai malam selama tiga hari berturut-turut.

“Yo?”

“Hm?”

“Lo beneran putus dari Dessy? Terus, kenapa jaga jarak juga sama Deeva?” Romeo mengubah topik, membuat Budi berhenti dari kegiatan mencatatanya.

Ada sedikit ragu, sebelum akhirnya Rio menjawab. “Iya. Karena, gue nggak mau Deeva ngerasa bersalah lagi. Gue juga nggak mau nambah masalah dia.”

“Ketua kelas XI-C, dipanggil Bu Titin, disuruh ke ruang guru,” Alan berteriak saat sudah masuk ke kelas XI-C. Suaranya itu membuat Rio memusatkan pandangannya ke depan, membuatnya beradu pandang dengan Alan.

Alan menatapnya sinis, berbanding terbalik dengan Rio yang menatapnya biasa saja. Setelah mengucapkan itu, Alan keluar kelas.

“Kenapa dia?” Budi menyenggol bahu Rio yang belum melepaskan pandangannya dari Alan hingga laki-laki itu menghilang di balik pintu kelasnya.

“Nggak tau. Lagi PMS kali,” Rio meringis. Luka dari Alan masih meninggalkan nyeri di sudut bibirnya.

ALTERIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang