Deeva menoleh pada Syifa yang duduk di sampingnya. "Lo sayang sama Alan kan?
Sementara Syifa langsung menyipitkan matanya. "Lo udah tau kan?" Gadis itu justru balik bertanya yang membuat Deeva menghela napas.
"Lo sayang sama dia. Kenapa nggak nyoba buat perjuangin aja?"
"Lo nggak tau usaha gue udah lebih dari itu. Tapi kalo nyatanya dia sayang sama orang lain, gue bisa apa?"
Deeva menatap lurus ke depan. "Perjuangan lo belom maksimal. Batu aja bisa hancur gara-gara setiap hari ditetesin sama air hujan. Kalo batu yang keras gitu aja bisa luluh, kenapa hati Alan yang lembut nggak bisa?"
Syifa memandang Deeva tak suka. "Topik kita bukan ini ya. Lo mau atau nggak?"
"Kak, ini salah."
Perkataan Deeva langsung disambut senyum sinis Syifa. "Terus yang lo lakuin ke Dessy itu bener? Gitu maksud lo?"
Deeva menegang. Gadis itu menghela napas. "Salah."
"Bagus. Denger, Dee. Lo itu bisa bahagia tanpa merusak kebahagiaan orang lain. Gue tau lo itu orang baik. Jadi berhenti nyakitin hati Dessy yang nggak salah apa-apa."
Deeva, gadis itu langsung menyela. "Terus apa yang gue lakuin ke lo itu nggak jahat? Kalo gue sama Alan-"
Syifa menggelengkan kepalanya. "Keadaannya beda, Dee. Alan itu belom punya pacar."
"Tapi lo sayang sama Alan."
"Dan Dessy sayang sama Rio."
Oke, kali ini Deeva bungkam. Dia juga tak tahu harus bicara apalagi. Semua yang dikatakan Syifa memang benar. Dan posisi Deeva serba salah. Haruskah dia mengakhiri semuanya? Gadis itu juga tak tahu.
"Pikirin omongan gue baik-baik. Jangan sampe apa yang lo lakuin ini bikin semua orang yang nggak terlibat jadi sakit hati." Syifa bangkit. "Kayaknya sebentar lagi Alan balik. Jadi gue harus pergi. Tadi gue liat Rio lagi nyari lo di sekitar toilet."
Deeva tak menoleh saat Syifa melangkah menjauhinya. Sekarang pikirannya berkecamuk. Antara hati dan otaknya sama sekali tak menemukan titik terang. Dia bingung.
"Sori lama. Tadi tuh ngantri banget."
Deeva mengerjap saat Alan sudah duduk di sampingnya. Gadis itu menerima air mineral dari tangan Alan. "Thanks."
Sementara Alan langsung mengangguk. "Gimana? Lo masih kuat buat nyari temen lo itu?"
Deeva mengangguk. "Coba kita cari di sekitar toilet tadi, Kak. Siapa tau dia nyari gue ke situ." Gadis itu bangkit.
"Gue gendong lagi atau............"
Deeva mengerti. "Gue bisa jalan sendiri."
Alan mengangguk mengerti. Tapi sebelum mereka berjalan terlalu jauh, seseorang memanggil mereka dari kejauhan.
"Rio?" Dan yang paling terkejut sudah pasti Alan. "Ngapain lo ke sini?"
Sementara Rio mengernyit bingung. "Pertanyaan lo aneh. Ini tempat umum kan?"
Alan terkekeh. "Iya juga."
"Deeva ya ampun! Gue cariin taunya ada di sini. Kan gue bilang jangan kemana-mana. Untung lo nggak diculik. Lo baik-baik aja kan?"
Alan yang melihatnya lantas mengernyit bingung. "Lo pergi sama Deeva?" Laki-laki itu memandang tak suka ke arah Rio. "Berdua doang?" Yang jelas, Alan pasti tahu kalau Rio dan Dessy itu berpacaran.
Rion kelihatan salah tingkah. Laki-laki itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Mmmm........ iya."
Pandangan Alan yang memicing curiga semakin membuat suasana mencekam. Terlebih Deeva yang sudah ingin pipis di celana karena situasi yang seperti ini. Sungguh tak menguntungkan sama sekali. Takut-takut kalau Alan akan mengadu pada Dessy.
"Kak Alan, makasih ya udah nolongin gue tadi. Sekarang gue mau pulang. Ayo, Kak Rio!" Karena tak tahu apa yang harus dilakukan, Deeva menarik tangan Rio agar keduanya segera menjauh dari Alan yang masih memandang keduanya dengan curiga.
"Lo nggak apa-apa kan?" Rio memandang Deeva dari atas hingga bawah setelah keduanya jauh dari Alan.
"Nggak. Tadi gue ke toilet sebentar. Udah eneg banget soalnya. Kita pulang ya?"
"Sebentar. Kita makan dulu."
Deeva mengangguk. Karena dia juga sebenarnya sudah sangat lapar.---
Kelas X-C yang tadinya berisik mendadak jadi sepi karena kedatangan anak-anak kelas XI IPS yang sekarang sedang berdiri di depan kelas. Ada dua orang cewek dan dua orang cowok yang mengamati seisi kelas sebelum akhirnya mereka membuka suara. "Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Karena berhubung kelas X ini baru masuk, jadi mereka masih belum berani bercanda dengan Kakak kelas atau hal lain yang mungkin memancing kemarahan senior mereka. Jadi kelas X-C sok alim agar tak ada masalah.
"Kita dari kelas XI IPS mau ngasih tau kalo dua minggu lagi akan ada pertunjukan teater sekolah. Buat kalian yang mau nonton bisa beli tiketnya. Nggak mahal kok, cuma lima belas ribu aja. Tapi acaranya nggak di sini. Di gedung teater di Grogol. Kalian bisa beli tiketnya di sini atau di sana nanti."
Deeva masih memperhatikan ke depan meski tak seratus persen konsen karena Rizqiana yang selalu mengajaknya bicara.
"Ada yang mau nanya?"
Joko mengangkat satu tangannya. "Kalo mau ikut dari sini naik apa, Kak?"
"Kalo yang mau ikut bisa kumpul langsung di sekolah. Kendaraannya udah disiapin kok. Dimohon partisipasinya ya. Hari Kamis jam dua siang."
Seisi kelas langsung riuh. Apalagi kalau bukan bebas jam pelajaran Kimia di dua jam terakhir sebelum bel pulang berbunyi. Mungkin menurut anak-anak C, ini itu kesempatan yang tak boleh disia-siakan.
"Wih, mayan tuh. Gue emang pengen banget bebas dari Kimia sehari aja." Rizqiana langsung berbinar menatap ke depan.
"Karena sampe sana jam dua, jadi kita berangkat setelah sholat dzuhur." Dessy menambahkan.
"Ini namanya rezeki. Bebas Kimia sehari coy. Gue sih nggak bakal nolak. Mau beli tiketnya dong, Kak." Eko langsung mengangkat satu tangannya. Kalau masalah tak belajar, Eko tak mau membuang kesempatan ini. Karena menurut orang pintar, kesempatan tak datang dua kali.
Deeva mendengus begitu Rizqiana menarik-narik tangannya. "Apaan sih, Q?"
"Ikut yuk!"
Deeva menggeleng. "Nggak ah. Gue nggak mau ketinggalan materi Kimia. Nanti makin susah belajarnya."
Sementara Rizqiana mendengus. "Nggak usah sok rajin deh, lo."
Sebenarnya Deeva saat ini lebih memilih Kafka yang duduk di sampingnya. Karena Rizqiana sejak tadi berisik sekali. Gadis itu jadi tak konsentrasi mendengarkan. Tempat duduknya memang jadi acak-acakan seperti ini. Karena guru yang mengajar belum masuk kelas.
"Lo kalo mau ikut, ikut aja. Gue nggak tertarik." Deeva tak mempedulikam Rizqiana yang sedang menggerutu di sampingnya. Sementara Ayu yang berada di depan mereka segera menoleh.
"Q, ikut yuk!"
Yang langsung disambut Rizqiana dengan anggukan antusias. "Pesen tiketnya."
Mungkin nanti akan ada sedikit anak-anak X-C yang belajar di kelas. Karena sebagian besar sedang mengantre untuk membeli tiket di depan papan tulis.
Deeva yang tadinya sedang serius mengamati anak-anak C yang maju sambil membawa uang mereka lantas menegang begitu mendapati Dessy menatap ke arahnya sambil tersenyum. Dan sungguh, kali ini Deeva merasa bersalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALTERIO
Teen Fiction"So, can you choose?" || Cover by @jacalloui Copyright© 2016, by Oolitewriter