Detak jantungku sebagai tanda, bahwa cinta itu masih ada...
-----
"Gue suka sama lo." Syifa menatap dalam mata coklat terang milik Alan. Laki-laki itu bungkam seribu bahasa. Alan diam. Bukan karena terkejut. Dia tahu ada saatnya ini akan terjadi. Dia sudah menyiapkan segalanya. Dia tahu akan ada yang tersakiti. Tapi Alan memilih pura-pura tak tahu. Dia memilih menjalani harinya seperti biasa.
"Kenapa?" Perempuan itu menahan tangisnya yang akan pecah sebentar lagi. Matanya mulai berkaca-kaca. Tubuhnya bergetar.
Sejak istirahat, Syifa ingin berbicara empat mata dengan Alan. Memendam perasaan itu tak bagus. Itu yang dikatakan mamanya saat dirinya menceritakan bagaimana perasaannya dengan Alan. Mamanya bilang, memendam perasaan sendirian sungguh menyiksa. Tak bisa mengungkapkan. Hanya mampu diam saat merasakan kesal atau cemburu. Sedih saat Alan sedang bersama perempuan lain.
Syifa ingin mengungkapkannya. Hanya mengungkapkan apa yang dirasakannya pada laki-laki itu. Syifa tak berharap terlalu tinggi. Dia tak berharap bisa mendapatkan cinta Alan, sahabatnya. Tapi dia melakukan ini untuk membuat perasaannya tenang. Meski tahu ini akan merubah segalanya. Mereka yang dulunya dekat akan menjauhi satu sama lain secara perlahan. Hingga tak ada yang menyadari, bahwa saat mereka bertemu lagi semuanya akan terasa canggung seperti orang asing.
"Kenapa lo gak bilang sama gue kalo lo udah tau?" Ditatapnya Alan yang menatapnya tanpa emosi. Mata itu menatapnya dingin hingga rasanya menusuk sampai ke tulang. Bahkan angin roof top tak terasa kala dirinya menatap mata itu. "Kenapa lo diem aja?"
"Kalo pura-pura gak tau itu bisa bikin kita tetep deket. Apa lagi yang harus gue lakuin?" Alan berucap dingin. Sungguh, dirinya merasa bersalah. Dia tak ada maksud menyakiti hati perempuan yang berada di depannya.
Syifa mengela nafas, lalu menghembuskannya. Tapi rasa sesak di hatinya tak kunjung hilang. "Gue lega." Direntangkan tangannya sambil memejamkan mata. Merasakan detik demi detik angin yang berhembus. Meski hatinya masih sakit, tapi dia cukup lega sudah mengungkapkannya.
Alan menatap Syifa bingung. Perempuan itu tersenyum sambil memejamkan matanya dengan air mata yang menetes.
"Gue cuma mau bilang itu." Digenggamnya kedua tangan Alan sambil menatap pria itu teduh. "Makasih udah mau jadi sahabat gue selama kurang lebih sepuluh tahun. Sekarang, gue butuh waktu. Bantu gue lupain lo pelan-pelan. Tetep jadi Alan yang gue kenal."
Alan menggenggam tangan Syifa balik. Menatap mata perempuan itu lekat. "Gue selalu jadi Alan yang lo mau. Maaf, gue tau gue-"
"Gak ada yang perlu minta maaf atau dimaafin. Inget, perasaan itu gak pernah salah, Lan. Gue seneng bisa mencintai lo meski tau akhirnya kayak gini. Bantu gue lupain lo pelan-pelan." Alan tak bisa menahannya lagi, ditariknya Syifa ke dalam dekapannya. Menghirup aroma shampo gadis itu lamat-lamat. Alan tahu bagaimana perasaan Syifa, karena itu juga yang tengah dirasakannya. Mencintai orang yang mencintai orang lain. "Lo pantes bahagia sama cowok yang lebih baik dari gue."
Syifa membalas pelukan Alan, perempuan itu menangis tanpa suara.
---
"Kak, aku mau ngundurin diri dari ekskul karate." Deeva menatap kakak kelas yang menatapnya bingung.
"Kenapa? Apa kakak-kakak di sini gak seru ya? Galak?" Dengan cepat Deeva menggeleng. Dia tak mau Galih salah paham.
"Gak kok. Kakak-kakak di sini baik. Temen-temennya juga seru. Tapi, ini bukan bidang aku aja." Galih mengangguk paham. Lalu menatap Deeva lamat-lamat. "Kamu yakin?" Deeva mengangguk. Alasannya masuk ekstrakurikuler ini karena laki-laki itu. Dan alasannya keluar juga karena laki-laki itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/54724898-288-k97444.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
ALTERIO
Teen Fiction"So, can you choose?" || Cover by @jacalloui Copyright© 2016, by Oolitewriter