20. Dilema

6.5K 538 40
                                    

Untuk beberapa saat, Rio bergeming. Tatapannya tajam dan lurus. Menatap kedua bola mata cokelat gelap milik Deeva. Laki-laki itu tak menyangka Deeva akan berbicara seperti itu. Di satu sisi, Rio merasa senang saat Deeva tetap memilihnya meski diberikan pilihan sekali lagi. Tapi di sisi lain, Rio merasa bersalah karena sudah membuat Deeva mengalami jalan ini.

"Dee?"

"Apa?" Jawabnya kesal. Gadis itu sedikit membentak agar Rio menyadari suasana hatinya.

"Jangan marah-marah gitu dong." Rio berusaha mencairkan suasana yang sempat kaku tadi. Laki-laki itu sedikit menyenggol bahu Deeva dengan tangannya.

"Ya abisnya lo nyebelin. Bodoamat! Udahlah, gue mau ke Rion." Dengan sigap, Rio mencekal pergelangan tangan Deeva.

"Lo maunya apa?" Deeva mengernyit bingung. Mempertanyakan kenapa tiba-tiba Rio bertanya seperti itu. Memangnya laki-laki itu ingin memberikan apa?

"Gue mau lo nyanyiin lagu buat gue di sini. Di depan banyak orang dan bilang kalo lagu itu buat gue." Tantangnya. Gadis itu melipat kedua tangannya di depan dada. Hatinya ingin tertawa saat melihat wajah Rio yang mendadak kaget dan gugup.

"Lo..... serius?" Nada suaranya sedikit gemetar.

"Gak bisa kan? Yaudah gak usah. Denger ya, gue masih marah. Gak usah hubungin gue lagi dan jangan pernah larang gue buat deket sama siapa aja. Ini balasan karena lo mengacuhkan gue seharian ini." Lantas, gadis itu segera berbalik lalu melangkah pergi. Sebenarnya, Deeva tak terlalu yakin dengan apa yang diucapkannya. Tapi tak apalah. Toh, biar Rio tau rasa bagaimana sakitnya tak dianggap seharian. Sekalinya muncul, sama perempuan lain. Okay, ralat. Sama pacarnya.

"Lo berak ya? Kok lama banget?"

Kesal, Deeva menyumpal mulut Rion dengan tisu yang berada di atas meja tak jauh darinya. "Punya mulut itu kalo ngomong disaring dulu. BAB, Rion. BAB!"

"Kan artinya sama. BAB, berak, boker, eek, pup. Sama aja." Rion mencibir sebal.

"Lo diajarin Bahasa Indonesia gak sih? Artinya sama, tapi kan pengucapannya lebih halus."

"Sama lo ini. Ngomong berak juga gak apa-apa." Rion bersikeras dengan pendapatnya. Deeva heran, kenapa laki-laki di depannya ini keras kepala sekali. Tapi tunggu, kenapa jadi membahas hal menjijikan seperti ini?

"Udahlah terserah lo." Deeva mengalah. Gadis itu berjalan mendahului Rion ke meja lain.

"Gitu? Ngambek. Tadi katanya terserah." Dihampirinya Deeva. Ditatapnya gadis itu dari samping yang terlihat tak bersahabat.

"Gak usah alay deh." Diambilnya kue yang berada di atas meja. Merasa sedang diperhatikan, gadis itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Matanya berhenti pada satu titik. Ternyata Rio memperhatikannya sejak tadi.

"Rion!" Teriakan menggema itu berasal dari arah utara. Setyo berjalan bersama Jaya menuju Rion. Keduanya sama-sama tertawa satu sama lain, entah menertawakan apa.

"Berisik. Bikin malu." Rion mencibir. Dilihatnya Setyo yang membawa dua kue lalu memakannya sekaligus.

"Eh, tolong yah, kalo gak ada kita, lo itu bukan apa-apa."

Rion memutar bola matanya kesal. Merasa bosan dengan kata-kata itu yang selalu diucapkan Setyo. Entah itu anak dapet kata-kata darimana. Sepertinya, setyo perlu dirukyah.

"Maap-maap aja nih ya gue mah, gue sih gak masalah gak temenan sama lo, Yon. Yang mau temenan sama gue banyak." Jaya membela.

"Siapa?" Rion mengangkat kedua alisnya.

"Jaya sama Ali."

"Dua doang."

"Yang penting lebih dari satu."

ALTERIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang