"Deeva sini!"
Seseorang yang sedang duduk di pinggir lapangan dengan kantong plastik berwarna merah dalam genggamannya memanggil namanya.
"Gue pikir lo dimana!" Orang yang bernama Deeva duduk di sebelah orang yang memanggil namanya tadi.
"Lo-nya aja yang gak denger. Daritadi gue manggil nama lo sampe jadi pusat perhatian." Merasa tidak mendengar apapun, Deeva mulai membuka tasnya. Memeriksa semua peralatan yang dibawanya. Hanya memastikan. Barangkali ada yang tertinggal.
"Astagfirulloh.....!" Deeva berseru sambil menepuk dahinya.
"Kenapa?" Sahabatnya bertanya dengan kedua alis yang terangkat.
"Gue lupa bawa kalung permen, Qi! Aduh, gimana nih?!" Deeva berdiri lalu mondar-mandir sana-sini. Kebiasaannya saat dalam keadaan darurat.
Rizqiana hanya menghela nafas kasar. Dia tahu kejadian ini akan terjadi. Padahal semalam dia sudah mendikte barang apa saja yang harus mereka bawa hari ini. Dia juga harus menerima telefon tengah malam hanya untuk memastikan bahwa barang-barang yang Deeva bawa itu benar.
Deeva memang seperti itu sejak kecil. Selalu lupa dengan apapun walau diberitahu belum lama. Bahkan orang tuanya harus memberikannya catatan kecil agar dia mengingat hal yang memang harus dia ingat. Hari ulang tahunnya saja, kalau bukan karena setiap tahun dirayakan, mungkin dia akan melupakan tanggal lahirnya itu.
"Coba telefon abang lo. Mungkin dia belum berangkat kerja." Deeva menjentikkan jarinya. Tak lama dia membuka tasnya, mengambil ponsel kesayangannya. Setelah itu, ditempelkan ponsel itu ditelinganya setelah berhasil menemukan nama kontak abangnya. Aldo.
"Halo bang, aku-"
"Deeva ya?" Belum selesai dengan kalimatnya, seorang laki-laki yang mungkin kakak kelasnya menghampirinya dan menanyakan namanya. Lebih tepatnya, memastikan namanya.
Deeva hanya diam memandang laki-laki itu. Seluruh perhatiannya hanya terfokus pada laki-laki itu. Bahkan suara abangnya di telefon pun tak dihiraukannya. Penglihatan dan pendengarannya hanya terfokus pada satu titik.
Merasa Deeva tidak akan menjawab, akhirnya Rizqiana yang menjawab. "Iya kak, kenapa?"
"Ini, tadi ada yang kasih ini ke gue. Dia minta tolong supaya gue kasih ke orang yang namanya Deeva." Laki-laki itu menyerahkan barang yang sudah membuat Deeva panik tadi.
Deeva tidak bereaksi, hanya memandangnya. Memandang bola mata hitam pekat yang entah sejak kapan menjadi tempat kesukaannya untuk dipandangi. Deeva memutuskan sambungan telefon. "Iya kak, makasih ya." Ucapnya setelah kalung permen tadi beralih ke tangannya.
"Lain kali jangan ceroboh. 'Kan gak enak kalo hari pertama masa orientasi udah dapet hukuman. Gue pergi dulu yah." Laki-laki itu melangkah menjauh.
Deeva masih memandang punggung itu setelah benar-benar hilang dari pandangannya. Ada sesuatu yang aneh tapi Deeva tidak tahu apa itu. Dia hanya merasa nyaman menatap mata itu. Mata yang entah sejak kapan sudah disukainya. Merasa kosong saat laki-laki itu melangkah menjauh meninggalkannya.
"Beruntung lo. Ayok baris! Udah bel tuh." Rizqiana menggandeng tangan Deeva dan membawanya menuju lapangan untuk berbaris.
"Lo tau gak nama kakak tadi siapa?" Deeva menatap Rizqiana yang berjalan di sampingnya.
"Gak tau. Tadi dia gak pake nametag." Deeva menghela nafas kecewa. Harusnya dia tahu nama kakak kelasnya itu.
Ada sesuatu yang hangat dalam perasaannya saat pertama kali dipertemukan oleh laki-laki itu. Mungkin yang dilakukan laki-laki itu hanya hal kecil yang semua orang lain bisa melakukannya. Tapi baginya, laki-laki itu tetap malaikat penolongnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALTERIO
Fiksi Remaja"So, can you choose?" || Cover by @jacalloui Copyright© 2016, by Oolitewriter