15. Keputusan

7.4K 593 37
                                    

Warning!

Buat kalian yang gak suka sama cerita tentang perselingkuhan, disarankan untuk tidak membaca cerita ini. Karena untuk beberapa alur ke depan, cerita ini bakal difokuskan ke perselingkuhan dan yang pasti bakal banyak banget yang tersakiti. Karena konfliknya lebih rumit dan bercabang. Saya kasih warning, demi memberi saran juga menghindari diri dari amukan para readers, haha.

--------

Pilihan itu akan menentukan bagaimana aku menjalani hidupku kedepannya...

Deeva masih mematung. Gadis itu meremas rok kuat-kuat hingga kusut. Dadanya bergemuruh entah untuk apa, gadis itu sama sekali tak tahu. Dia masih menatap ke depan. Tubuhnya mendadak gemetar, matanya memerah. Dia ingin menangis, menjerit, berontak, dan mengatakan 'ini lucu.' Lalu tertawa sepuasnya.

Tapi yang bisa dilakukannya hanya diam, menunggu. Menunggu malaikat maut yang tiba menjempunya. Dan entah kenapa, sekarang gadis itu menginginkan nyawanya hilang.

Mobil masih melaju dengan kecepatan sedang. Setelah mengatakan itu, Rio tak mengatakan apapun lagi. Laki-laki itu menunggu jawaban Deeva. Tak dipungkiri hatinya ketar-ketir. Takut-takut apa yang diucapkan Deeva tak sesuai harapannya.

"Gue butuh waktu." Hanya itu. Setelah sekian lama berpikir, akhirnya kalimat itu meluncur dari mulut Deeva. Ya, dia butuh waktu. Dia butuh lebih banyak waktu untuk mengerti semuanya. Semua yang tak dibanyangkannya, datang di hidupnya.

"Gak masalah. Gue siap kapanpun lo mau kasih keputusan." Ada rasa sakit saat laki-laki itu mengucapkannya. Menunggu. Hal yang sama sekali tak pernah dilakukannya selama ini. Menunggu yang menurut orang adalah hal yang paling membosankan. Entah dia harus menunggu sampai kapan.

Setelahnya, hanya hening. Tanpa suara penyiar radio, Rio maupun Deeva. Mereka sama-sama diam. Meresapi rasa masing-masing setiap detiknya. Memikirkan apa yang harus mereka lakukan kedepannya. Menanti kapan waktu itu tiba. Waktu yang akan membuat Deeva harus memutuskannya. Dan gadis itu tahu, keputusan yang diambilnya harus matang. Dia tak mau gegabah lagi. Terlalu banyak hatinya terluka, dan sekarang dia akan memikirkannya dengan baik. Sampai keputusannya sudah bulat dan tak dapat diganggu gugat.

Tak ada yang tahu, kalau diantara mereka berdua, tersimpan kecemasan masing-masing. Rio, entah langkah yang diambilnya tepat atau tidak, yang jelas untuk saat ini, mungkin itu hal yang terbaik yang harus dia lakukan. Deeva, entah keputusan apa yang harus diambilnya, yang jelas gadis itu harus memikirkannya matang-matang.

"Udah sampe." Deeva mengerjap, setelahnya menggeleng demi mengembalikan kesadarannya yang sempat hilang. Menatap Rio yang berada di sampingnya. "Makasih." Gadis itu turun, tanpa menunggu Rio pergi meninggalkan pekarangan rumahnya. Langkahnya cepat memasuki rumah. Tak perlu repot-repot melihat ke belakang.

Dia butuh waktu. Gadis itu butuh waktu menyendiri untuk memikirkan semuanya. Semua hal yang terjadi dalam hidupnya seperti kepingan puzzle yang tak dia mengerti. Tapi Deeva berusaha menyusunnya menjadi sempurna. Gadis itu tahu dia hanya perlu menjawab 'ya' atau 'tidak'. Tapi tak sesederhana kelihatannya.

"Ibu...." Deeva memeluk ibunya yang sedang memasak menyiapkan makan malam. Entah darimana datangnya tindakan itu, yang jelas Deeva butuh kenyamanan. Dan kenyamanan itu selalu datang ketika dia bersama Tikah dan memeluk ibunya.

"Hai, sayang. Pulang naik apa?" Tikah membelai rambut Deeva sayang. Wanita paruh baya itu tak merasa terganggu kala putrinya memeluknya saat dia sedang menyiapkan makan malam.

"Dianter temen." Tikah hanya manggut-manggut. Setelahnya bertanya, "Cewek apa cowok?"

"Ibu!" Wanita paruh baya itu terkekeh renyah. Senang menggoda putrinya. Wanita itu berasumsi kalau yang mengantar putri tercintanya pulang adalah seorang laki-laki. Entah Deeva berusaha menyembunyikannya atau tidak. Tapi sikapnya begitu jelas, bahwa temannya laki-laki.

ALTERIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang