7. Hari Kedua

7K 652 18
                                    

Karena ketulusan diberi tanpa harus dipertanyakan...

"Apa lo liat-liat?!" Rion menatap tajam pada siswa laki-laki yang menatapnya terus saat pertama kali memasuki gerbang sekolah hingga tepat berada di depannya. Siswa laki-laki itu menunduk takut karena ketahuan menatap Rion terang-terangan setelah itu berlalu pergi.

"Udahlah." Rio menepuk bahu Rion. "Lanjutin. Gara-gara lo kan gue ikutan dihukum."

Saat ini, Rio, Rion dan Aldi sedang membersihkan lapangan sekolah sebagai hukuman dari tindakan mereka kemarin. Sebenarnya Rio tak bersalah, dia sama sekali tak terlibat dalam pertengkarang kemarin. Dia hanya diam. Tapi Rio tak tega jika harus melihat Rion dihukum dan menanggung malu sendirian. Tapi memang dasar Rion, dia sama sekali tak peduli.

"Gara-gara lo gue jadi pusat perhatian." Rion menatap Aldi tajam, "Itu karena lo buang baju-baju gue." Aldi mengangkat bahu tak peduli.

Semua siswa yang berada di lantai atas kini memusatkan perhatian mereka ke lapangan. Melihat tiga laki-laki yang terbilang tampan sedang dihukum membersihkan lapangan yang bisa menampung ribuan orang itu. Baiklah, terlalu berlebihan. Tapi lapangan itu cukup luas untuk dibersihkan tiga orang.

"Habis ini, masih ada toilet yang harus kalian bersihkan dari lantai dasar sampai lantai 4. Cepat kerjakan!" Bu Rere memperingatkan.

"Bawel!" Bisik Rion.

"Saya mendengar itu Rion. Kalau kamu tidak ingin dihukum seperti ini lagi atau bahkan yang lebih parah, jangan pernah membuat kekacauan di sekolah." Perlahan, bu Rere pergi sambil menatap siswa yang sedang menatap ke arah lapangan. "Kalian semua masuk kelas!" Teriaknya yang mampu membuat koridor di setiap lantai menjadi sepi.

---

Deeva menatap papan tulis di depan tak fokus. Matanya sesekali melihat ke jendela. Ke lapangan yang sedang dibersihkan oleh tiga orang tadi. Tapi lapangan justru tak terlihat sama sekali. Deeva mendesah kecewa. Harusnya dia memperingatkan Rio sejak kemarin untuk tak berteman dengan Rion lagi. Rion sama sekali tak membawa manfaat bagi Rio.

"Ada hubungan apa lo sama kak Rio, kak Rion atau kak Aldi? Daritadi gelisah banget ngeliatin lapangan." Jantung Deeva mendadak seperti berhenti berdetak, tubuhnya menegang. Kafka menatapnya serius. Sebegitu kentara kah ekspresinya?

"Gak." Kafka mendengus, "akting lo gak bagus." Deeva memilih diam, tak menjawab. Kenapa sahabatnya tak tahu, justru Kafka yang lebih tahu. Kafka terlalu peka terhadap lingkungan sekitar. Dia bisa mengetahui kalau ada sesuatu yang disembunyikan Deeva.

Deeva mengangkat tangannya hingga guru yang sedang duduk di depan sana menoleh padanya. "Ada apa, Deeva?"

"Saya izin ke toilet bu."

"Silahkan!"

Dilangkahkan kakinya menuju toilet sambil memperhatikan lapangan yang ternyata sudah kosong dan bersih. Mungkinkah mereka sudah menyelesaikan hukuman?

Deeva memekik kaget saat ada seorang laki-laki di dalam toilet perempuan.

"Kak Rion?!" Deeva tak percaya kalau dia bisa berhadapan langsung dengan Rion.

Jujur, Deeva tak pernah memikirkan ini sebelumnya. Bisa bediri tak jauh dari Rion dan menatap mata laki-laki itu juga laki-laki itu yang sedang menatapnya. Deeva tak tahu apa yang harus dia lakukan. Ingin lari tapi tak mampu. Diam saja tapi tak dipungkiri dia takut luar biasa. Bisa saja Rion akan menyakitinya atau lebih dari itu. Mungkin membunuhnya.

Deeva menggelengkan kepalanya demi membuang pikiran itu jauh-jauh. Selama masih berada di sekolah Deeva yakin dirinya pasti aman. Tapi pemikiran itu buyar saat mengingat bagaimana Rion menghabisi Aldi di aula sekolah dengan banyak siswa yang mengelilinginya. Bukan tidak mungkin jika Rion melakukan itu padanya suatu saat nanti.

ALTERIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang