"Charlotte, kamu ga apa apa?"
Stefany langsung menghampiriku saat aku datang ke kelas.
"Hhmm.. aku baik-baik saja." Jawabku mengiyakan.
"Aku.. aku minta maaf.. semua ini gara gara aku. Tapi bukan aku yang melakukan itu. Sungguh." kata Stefany sambil hendak berlutut di hadapanku.
Aku langsung menariknya ke atas.
Sungguh, aku tidak tega. Aku percaya padanya. Tapi apa yang bisa aku lakukan?
"Aku percaya padamu. Ingat, aku selalu percaya padamu. Saat semua menuduhmu, ingat masih ada aku yang percaya padamu."
Dia tersenyum. Matanya berkaca-kaca.
"Oh ya, ini ada titipan. Dari Mike."
Mike?
"Aku ke toilet sebentar ya."
Aku mengangguk.
Aku melihat titipan dari Mike.
Seragam dan rok lengkap.
Gantilah seragammu. Aku tahu tidak nyaman memakai seragam berlumuran saus tomat seperti itu. Aku harap ukurannya tidak kekecilan.
Apa? Memangnya aku ini sebesar apa? Kataku dalam hati sambil sedikit geram.
---
Aku berjalan menuju taman belakang. Disana sudah ada Aaron. Tapi kali ini dia tidak tertidur di teras, melainkan tidur terlentang di taman. Tentunya beralaskan sebuah tikar.
"Hey.." kataku.
Dia membuka matanya dan melihatku. Lalu menutup matanya lagi.
"Tidurlah."
Aku menaruh tasku dan ikut tidur terlentang seperti Aaron. Aku pun menutup mataku.
"Bagaimana?"
"Entah.. aku pikir aku sudah melakukan yang aku bisa. Hanya saja, aku tidak tahu harus berbuat apalagi."
"Pasti hari ini sangat berat bagimu."
"Hhmm." Aku mengiyakan.
"Kau mau tahu sebuah rahasia?"
"Apa itu?"
"Kau tahu, saat kau masih bersekolah di sekolah Albertha, aku sering melihatmu."
"Benarkah? Aku bahkan tidak pernah melihatmu."
"Kau selalu pulang sangat sore."
"Hhmm." Aku mengiyakan lagi.
"Dan sekarang aku tahu alasannya. Kebiasaan seperti itu tidak baik. Apalagi kau perempuan dan pulang sendirian."
"Ya aku tahu."
"Dulu aku sangat penasaran siapa perempuan yang selalu pulang sore itu."
"Bagaimana kau bisa melihatku?"
"Setiap pulang sekolah aku selalu mampir ke sekolahmu yang dulu untuk bermain basket bersama yang lain."
"Yang lain?"
"Hhmm. Kau pasti kenal mereka."
"Siapa?"
"Ray, Hansen, Joel, Christian. Kau kenal kan?"
Aku terdiam. Tentu aku kenal bahkan aku sangat kenal mereka terlebih lagi.. Christian.
"Aku sangat senang saat melihatmu ternyata berada satu kelas yang sama denganku. Kau masih ingat kapan pertama kita berbicara?"
"Tidak."
"Astaga. Saat di perpustakaan. Aku memberimu coklat. Kau tahu, aku tidak pernah menginjakkan kakiku di perpustakaan selama sekolah di sini, dan hanya untuk berbicara denganmu akhirnya aku untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di sana. Kau tahu, aku benci perpustakaan." Kata Aaron panjang lebar.
Aku tertawa kecil. Aku ingat aku ingat. Aku tidak mungkin melupakannya.
"Aku ingat." Kataku.
Christian. Seseorang yang akan berulang tahun 4 hari lagi.
"Untuk apa mengejar seseorang yang bahkan tidak pernah menginginkanku."
Kalimat itu terngiang di telingaku.
"Setidaknya aku sudah memberikan yang terbaik untuknya."
Hal terbaik apa yang pernah aku berikan.
"Kau tidak pulang hm?" Tiba-tiba Aaron bertanya padaku.
"Mungkin sebentar lagi. Dan kau?"
"Rasanya aku ingin menginap di sini saja."
"Kenapa?"
"Rumah sangat sunyi. Rasanya di sini aku masih bisa mendengar kicauan burung dan merasa tenang."
"Tapi di rumah kau bisa berkumpul bersama keluargamu."
Dia tertawa mengejek.
"Kenapa?" Tanyaku.
"Rumahku sangat sunyi babi kecil. Mungkin berbeda dengan rumahmu. Dad sangat jarang pulang ke rumah. Mom.. mom sudah pergi."
"Maaf.. aku tidak bermaksud."
"Ah tidak apa. Aku memang seorang anak yang kurang kasih sayang dan cinta orang tua." Katanya sambil tertawa.
"Jangan berkata seperti itu. Kau tahu, masih ada banyak orang yang mencintaimu."
"Contohnya?"
"Hhmm.. teman-temanmu, sahabat-sahabatmu, termasuk aku."
"Benarkah kau mencintaiku?"
Aku membuka mataku dan melihat ke arahnya. Aku melihat senyumnya melebar.
Aku kembali menutup mataku.
"Ya.. sebagai sahabat."
Dia hanya diam.
Aku berdeham kecil.
"Aku harus pulang. Kau pulanglah juga Aaron."
"Kau duluan saja."
"Baiklah."
Aku bangkit berdiri dan hendak mengambil tasku. Tapi Aaron menarik tanganku sehingga wajahku sangat dekat dengan wajahnya.
Aku langsung membelalakan mataku.
Dia membuka matanya.
"Terima kasih." Katanya sambil tersenyum.
"Apa?"
"Karena telah mencintaiku."
Aku diam. Canggung. Sangat canggung.
Dia melepaskan tanganku dan kembali menutup matanya.
"Pulang lah."
Aku langsung bangkit berdiri lagi. Astaga, apa aku salah tingkah?
"Aku pulang.. Aaron."
Aku pun pulang ke rumah
KAMU SEDANG MEMBACA
DANDELION
Teen FictionHarapan. Itu yang membuat kita kuat dalam cinta. Harapan. Itu yang membuat kita bersemangat mengejarnya. Tapi, bagaimana jika harapan yang kita buat itu salah?