1...

63.8K 2.6K 40
                                    

Mama menatapku dengan tak percaya. Wajahnya terlihat emosi mendengar permintaanku untuk izin daftar kuliah lagi. "Gak ada lanjut-lanjut S3! kamu harus menikah dulu!" putusnya tegas.

Aku mengerang prustasi, mengacak rambutku dengan kesal. "Menikah?" ulangku lalu mendengus tak percaya. "Yang benar saja ma! Aku mas--"

"Masih apa?!" tanyanya marah. "Kamu gak pernah belajar dari pengalaman ya Befina! Karna keinginan kamu kemarin yang ambisius itu untuk ngelanjut S2! Pacar kamu menikah dengan sepupu kamu--"

"Cukup ma!" bentakku. Butuh waktu yang panjang untuk nyembuhin luka ini, butuh berkali-kali ke psikiater untuk maafin diri ini. Aku belum sembuh, lukaku belum kering. "Jangan pernah sebut mereka! Jangan pernah sebut bajingan-bajingan itu di depanku!" teriakku marah. Ini sudah lewat batas. Aku tidak masalah mama menentang permintaan aku. Tapi tidak untuk menjadikan mereka alasan. Ini terlalu sakit.

"Befina," panggil Papa dengan lembut.

Aku menghela nafas. "Pa tolong jangan paksa aku menikah!"

"Tapi umur kamu sudah  dua puluh lima Befina!" ucap Mama.

Mama benar-benar tidak mengerti aku. "Kenapa kalau aku dua puluh lima Ma? Tidakkah Mama lihat banyak wanita diluar sana berumur tiga puluhan masih lajang!"

"Kalo kamu tetap bersikeras untuk lanjut S3 jangan pulang lagi!" ancam Mama yang tak bisa menyangkal kelogisan fakta yang aku berikan.

"Mama ngusir aku?" tanyaku balik, memperjelas maksud ucapannya. "Baiklah aku memang berencana untuk kuliah di luar Indonesia dan tinggal di luar Indonesia yang artinya, AKU KELUAR DARI RUMAH INI!" tantangku yang tak gentar membalas ancaman Mama.

"Befina!" bentak Papa. Aku memejamkan mata dan menoleh ke arah lain kesal karna tak ada yang membelaku. "Gevin udah ngelamar kamukan?" tanyanya membuatku tekejut dan menatap Papa tak percaya. Dari mana Papa tau?

"Gevin sudah melamar kamu ke kami." Seakan tau pikiranku mempertanyakan. Mama menjawab dengan nada suara yang tak meninggi seperti tadi.

"Gak! Gak! Gak!" tolakku. "Dia baru patah hati. Aku tau itu tidak murni dari hatinya. Aku tau dia tidak mencintaiku--"

"Bukankah kamu juga baru patah hati? Bahkan kamu juga tidak mencintai Gevin," sela Mama seenaknya.

"Justru itu gak akan membuat pernikahan kami berjalan lancar. Pernikahan bukan main-main Pa ... Ma. Aku hanya ingin menikah satu kali dalam seumur hidupku."

Mama tertawa membuatku berkerut heran. "Kau pikir pernikahan kami berjalan lancar?" tanya Mama sarkas setelahnya.

Aku pun mendengus. Sungguh menyebalkan sekali Mamaku ini. "Bukan maksudku. Kami tidak saling mencintai. Atas dasar apa nanti kami mempertahankan rumah tangga kami jika ada pertengkaran besar?" tanyaku tak mau kalah dari perdebatan ini.

"Befina ... diluar sana banyak suami istri yang mengaku saling cinta. Banyak pasangan yang berawal dari mencintai dan memutuskan menikah. Tapi pada akhirnya? Diantara mereka juga banyak yang bercerai. Saling mencintai bukan satu-satunya alasan untuk membina rumah tangga yang indah," jelas Papa.

Oke, sekarang mereka berdua berhasil menyerangku hingga babak belur.

"Tapi pa! Aku tidak pernah membayangkan menikah dengan sahabatku sendiri." Jujur aku sudah mulai prustasi karna semua alasanku disangkal.

"Befina, terkadang sesuatu yang dibayangkan dan direcanakan itu lebih besar berpotensi gagal. Dan sebaliknya jika tidak dibayangkan dan tidak direncanakan itu akan berjalan lancar dengan sendirinya," jelas Papa lagi.

Apakah ini giliran Papa yang berbicara? Oke aku dihantam sendirian. Kalau begini aku bisa apa? Perdebatan ini akan berakhir dengan aku yang menuruti keinginan mereka. Ini sudah diputuskan.

Best Friend Be Love {1}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang