"Menurut lo gue harus gimana?" tanyaku setelah menceritakan semua yang terjadi dalam hidupku baru-baru ini kepada sahabatku yang agak waras dari yang lainnya.
"Tanya hati lo!" jawabnya singkat.
Aku menjelit tak percaya. "Aisyaaaahh kalo gue tau hati gue mau gimana, gak akan gue jauh-jauh kesini!" Protesku yang tak terima dengan jawabannya. Aku milirik tajam ke arah Cia dan Qee yang terkikik geli, seolah tak perduli kekesalanku sudah memuncak.
Ais tersenyum padaku. "Bawa sholat Fin, hanya dengan sholat lo bisa mendapatkan jawaban yang pasti dari Allah. Lo pinta sama Allah minta diberikan yang terbaik," nasihatnya.
"Nyokap gua juga bilang gitu sih." Aku menatap kosong hadapanku. Pergi ke sini pun tak mendapatkan jawaban yang aku mau.
"Udah lo lakuin?"
"Hah?" Tanyaku linglung.
"Udah lo lakuin?" ulang Ais.
Aku menggeleng. "Lo tau gue gimana 'kan. Sholat aja masih bolong-bolong," jawabku jujur.
Ketiga sahabatku dengan kompak menghela nafasnya sedangkan aku mengedikkan bahu tak berselera.
"Tobat lah Fin Fin. Percuma lo kuliah tinggi-tinggi tapi agama lo enol. E-NOL." Qee menyatukan jari telunjuk dan jempolnya membentuk huruf O.
Aku kembali mengedikkan bahuku. "Ntahlah gue hanya ngerasa apa ya gue juga gak tau."
"Kayaknya lo bisa tinggal disini untuk beberapa hari deh," usulnya yang langsung membuatku bersemangat untuk menggeleng cepat.
"BIG NO!" Seruku.
"Gak, gak bisa! Lo perlu belajar agama. Jangan dunia mulu lah Fin akhirat juga perlu." Qee kembali mendukung usul iparnya.
Aku memutar kedua bola mataku, lalu menatap Ais memohon. "Aissscahh pleaseee," pintaku.
Aisya menggeleng. "Gak untuk kali ini Fin. Gue ngerasa gagal jadi sahabat lo," ujarnya yang menurutku sangat sangat terdengar berlebihan alias lebay.
Sembari mendengus kesal, aku pun berdiri dan berkata, "Kita akhirin aja percakapan hari ini, gue mau ketemu Mariam." Mencoba mencari peralihan. Mariam adalah anak Aisyah dan Faqih suaminya.
"Mariam baru aja tidur Fin," jawab Aisyah.
"Kalo gitu gue mau jalan jalan aja keliling pesantren." Yang penting aku bisa pergi dari obrolan ini.
Aisyah Finanti atau sering dipanggil Ais adalah sahabatku dari SD begitu juga dengan Cia atau nama aslinya Delicia Wanisti dan juga Qee atau nama aslinya Qeerania Fullin. Kami selalu bersama. Jarang sekali kami bertengkar hebat tapi bukannya kami tidak pernah bertengkar, hanya saja kami sering berantem dan adu mulut hal-hal kecil. Aku beruntung memiliki sahabat seperti mereka. Mereka adalah saudaraku. Walaupun mereka tidak memiliki darah yang sama dengan darah yang mengalir ditubuhku tapi mereka lebih dari sekedar saudara untukku. Mereka bertiga sudah menikah. Hanya aku yang masih melajang. Padahal aku yang paling lama berpacaran tapi nyatanya mereka yang duluan menikah.
Saat kami umur 22 tahun, seraya aku memilih untuk melanjutkan study S2 ku mereka satu persatu menikah. Ais yang menikah terlebih dahulu ia dijodohkan oleh kedua orang tuanya dan menjalani beberapa bulan ta'aruf lalu menikah.
Lalu diumur kami memasuki 23 tahun Qee menikah. Dia menikah dengan atasannya sendiri. Semuanya begitu cepat Qee langsung dilamar dan memutuskan menikah.
Dan Cia menikah setelah beberapa bulan Qee menikah. Dia menikah dengan sahabat suami Qee. Ah ntahlah mungkin Cia dan Qee ditakdirkan untuk selalu bersama sampai-sampai memiliki suami yang bersahabat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Best Friend Be Love {1}
Teen FictionSebagai sahabat yang baik aku akan melakukan apapun untuk membuat sahabatku tersenyum. Tapi tidak dengan membantunya untuk move on. Aku tidak mungkin menerima lamaran sahabatku yang padahal aku tahu dia masih mencintai gadis itu. Dan aku akan berakh...