Arti Sahabat - Nidji
BAB 48
SEJAK pertengkaran Leon dan Agung, Agung tidak masuk sekolah. Tidak ada izin ataupun kabar sakit. Cowok itu seolah menghilang tanpa tanda, seolah kemarin tak ada nama Agung Prasetyo Adhi dalam daftar nama kelas sebelas.
Ratu cemas bukan main. Perkiraan-perkiraan buruk bercokol di kepalanya selama seminggu ini. Ponsel Agung dihubungi pun tidak aktif. Cowok itu benar-benar menghilang seperti asap. Ratu tidak bisa lagi meraih Agung yang dulu.
"Kita harus ke rumah Agung," cetus Leon di hari Jum'at.
Leoni mengangguk sambil menghela napas berat, "Semoga dia ada di sana."
Mereka bertiga sebenarnya tahu, hilangnya Agung sudah menjadi hal lumrah. Cowok itu pernah menghilang tanpa kabar seperti ini karena depresi akan kematian kedua orangtuanya. Merepotkan, memang. Namun mereka dan keluarga Agung yang tersisa sangat menyayangi cowok itu. Dia punya alasan menghilang. Dan alasan kali ini? Ratu tidak yakin ini karena dirinya. Meski omongan Reon tentang Agung yang menyukainya benar-benar mengganggu.
Setelah bel pulang berdering, mereka bertiga bergegas menuju halte di depan sekolah. Bus berwarna oranye cerah muncul dari kejauhan dan melipir ke arah mereka. Untunglah kali ini bus tidak ramai seperti biasanya.
Perjalanan menuju rumah Agung terlampau lama. Jaraknya memang lebih jauh dibanding rumah Ratu. Cowok itu harus meninggalkan rumah orangtuanya dan tinggal bersama rumah kakek-nenek Agung yang ada di pinggiran Jakarta. Sekarang rumah orangtuanya sudah dijual untuk membayar hutang Ayah, begitu kata Agung saat Ratu bertanya tentang rumah itu.
Sejak itu Ratu tidak menyinggung perasaan Agung lagi.
"Sebentar lagi kita sampe," kata Leoni pendek seraya melihat fokus ke arah jalan. Gadis itu memang yang paling sering ke rumah kakek Agung. "Kiri, Bang."
Bus perlahan melambat dan berhenti di sebuah gang sempit. Ratu dan dua kembar turun dari bus dan berdiri di depan gang tersebut. Mungkin ini rasanya berada di posisi Agung. Merasa sesak dengan sempitnya gang ini.
"Lo jalan di depan," pinta Leon kepada Leoni.
"Kenapa harus gue?"
"Yang tau jalan 'kan lo," Leon nyengir kepada adik kembarnya, membuat Leoni memutar bola mata dan berjalan di depan.
Ratu baru dua kali ke sini. Pertama saat kerja kelompok dan kedua saat cowok itu tidak ada kabar. Ratu jadi gemas sendiri pada dirinya. Seharusnya ia lebih sering ke sini. Mungkin bila Ratu lebih memperhatikan keadaan sahabatnya, Agung tidak tiba-tiba menghilang.
"Ini rumahnya," Leoni menarik napas, lalu mengembuskannya perlahan. "Semoga dia ada."
Rumah itu lebih kecil dibanding yang pertama kali Ratu lihat. Halamannya dipangkas hingga menyisakan ruang satu meter untuk tanaman bunga neneknya. Tidak ada garasi, hanya gerbang kecil yang cukup untuk satu orang masuk. Di sisi kanan-kiri, berdempet rumah yang kurang lebih sama kondisinya.
Leoni membuka gerbang tak bergembok itu, berjalan di setapak kecil, lalu berhenti di teras. Dia melihat Leon dan Ratu untuk segera mengucap salam.
Kini, ketika Ratu melihat pintu kayu reot itu, dadanya sesak. Sementara Ratu menyalahkan kematian orangtuanya, Agung dihadapkan dengan kondisi ini. Hidup itu memang adil di saat semua orang mengatakan tidak.
"Assalamualaikum," ucap Ratu sambil mengetuk pelan pintu itu.
Tidak ada balasan.
"Assalamualaikum," ucap Ratu lagi, kali ini lebih keras dibanding sebelumnya.
Pun tidak ada yang menyahut.
"Assalam-" ucapannya terpotong karena ia mendengar jelas suara kaki terseok-seok ke pintu. Pasti neneknya Agung.
Benar saja, pintu terbuka dan figur seorang nenek menyambut kedatangan mereka bertiga. Nenek itu masih cantik di usia kepala lima. Rambutnya yang putih disanggul sederhana, matanya menatap layu ke arah mereka, sementara senyum merekah.
"Teman ... Agung?" tanya nenek itu terbata-bata.
Ratu mengangguk pelan, "Agung ada, Nek?"
"Agung ...," nenek itu menghela napasnya, lalu memberi ruang supaya mereka masuk. "Kalian ... masuk dulu, ya."
Patuh, ketiganya masuk tanpa protes. Ruangan itu lebih kecil dibanding yang Ratu kira. Namun semua tertata rapi dan bersih. Nenek Agung pasti rajin membersihkannya sambil menunggu Agung pulang.
Ratu duduk di sofa beralaskan busa bersama Leoni, sementara Leon duduk di kursi rotan. Nenek Agung menutup pintu rumah lalu duduk di sofa berlengan.
"Agung ... sudah lama nggak pulang. Dia pergi tanpa pamit ke Nenek," tukas nenek dengan wajah murung, lalu seolah tersadar, ia menatap mereka bertiga. "Kalian ... mau minum apa? Maaf rumah Nenek berantakan dan sempit. Nenek nggak tau bakal ada tamu ke sini."
"Nggak apa-apa, Nek. Kita juga nggak ngabarin mau ke sini, maaf," tukas Leoni sambil tersenyum cerah. "Jadi, Agung nggak ada, Nek?"
Nenek mengangguk pelan. "Nenek juga nggak tau kenapa."
Leon menatap Ratu, "Kalo ada kabar kasih tau kita, ya, Nek. Udah seminggu Agung nggak masuk sekolah."
Nenek tersenyum dan mengangguk.
Setelahnya mereka mengobrol hal lain dengan nenek, tepatnya karena tidak mau cepat pulang. Leoni yang sering bertanya seputar Agung, sementara Ratu dan Leon hanya mendengarkan."Agung masih suka tidur pake kaos kaki?" tanya Leoni riang yang dibalas nenek dengan anggukan.
Ratu tidak sebenarnya mendengarkan, dia masih tenggelam dalam pikirannya. Dimana Agung? Apa hilangnya Agung ini karena dia? Kenapa waktu itu, Leon bertengkar dengan Agung?
Saat perjalanan pulang ke rumah, Leon berkata, dengan suara pelan ketika Ratu pura-pura tidur.
"Sorry, Rat."
Dan Ratu tidak tahu untuk apa maaf itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
R: Raja, Ratu & Rahasia
Teen FictionSudah Difilmkan, 12 Juli 2018 💝 #1 Fiksi Remaja - 3 Januari 2016, 7 Februari 2016 "Raja marah?" meski seratus persen yakin dengan jawaban cowok itu, Raja, cewek itu tetap bertanya. Tetapi Raja tidak pernah menunjukkan amarahnya di depan cewek itu...