BAB 30

375K 26.7K 4K
                                    

Terlalu Lama Sendiri - Kunto Aji

BAB 30

LADIT melambaikan tangannya sekali lagi pada mobil Edo yang bersiap menembus angin tengah malam. Cowok itu nyengir, melepas topeng berwarna putihnya sebelum berbalik menuju rumah yang cukup besar, mengingat rumah itu menampung dia dan keempat kakaknya. Belum lagi orangtuanya sering membawa teman-temannya ke sini.

Dengan gerakan terbiasa, Ladit mengambil kunci rumah di bawah alas kaki dengan kata WELCOME tercetak. Ladit membuka pintu rumahnya sepelan mungkin. Begitu membuka pintu, hanya ruangan gelap sejauh mata Ladit memandang. Maka Ladit masuk lebih dalam dan bersiap mengunci pintu lagi, hingga ....

"Kamu abis darimana?"

Pertanyaan itu serta merta membuat Ladit terlonjak ke depan, melihat ayahnya, Septian, berdiri menjulang di sana dengan mantel tidurnya.

"Lah, Papa kok masih bangun?" tanya Ladit ceplas-ceplos. "Oiya, Assalamualaikum, Papa Sayang."

Septian, atau akrab disapa Seth, menatap anak terakhirnya dengan wajah sama konyol. "Papa ngapain ya, di sini?" tanyanya, lalu menyeringai, "Oiya, nunggu anak bandel pulang."

"Ya ampun, Pap. Mana Ladit bandel? Baik, sejahtera, cemerlang gini, juga!" protes Ladit.

"Loh, emang kamu anak Papa?" balas Papa Ladit.

"Papa kalo ngelawak lucu banget, sih. Jadi pengen Ladit lindes."

"Astagfirullah, Ladit. Papa sendiri kok dilindes," gerutu papanya sambil berjalan memutar, "Tadi ikut Komplotan Rahasia?"

"Hah? Kok Papa tau?"

"Iyalah, Papa 'kan gaul," cengir papanya. Melihat Ladit masih spechless, ia pun menjelaskan dengan jengkel. "Kamu megang topeng putih itu. Pasti ikut Komplotan Rahasia, lah. Leon dan Leoni, inget? Masih saudara kita, Dit. Duh kamu, anak Papa kok lemot kayak Papanya."

Ladit tahu Papa adalah laki-laki tergaul meski usianya sudah kepala empat. Tapi Ladit kira, seluruh hal dari Komplotan Rahasia bisa disembunyikan. Mungkin Komplotan Rahasia adalah rahasia umum.

"Trus?" tanya Ladit tanpa sadar.

"Trus apa?" Papa menautkan kedua alisnya.

"Aku nggak dihukum?" tanya Ladit takut-takut.

"Ngapain dihukum? Kayak Papa dulu anak baik-baik aja, wajarlah kalo kamu gini," Papa mengedikkan bahunya sambil terkekeh, "Selalu inget aja, nakal boleh, bego jangan."

"Pepatah darimana itu?" Ladit menggerutu, lalu hendak naik tangga menuju kamarnya.

Namun suara Papa menghentikan Ladit, "Besok temen-temen Papa dateng ke rumah, barbeque party. Ajak temen-temenmu, gih. Kali aja ada temen cewekmu yang mau kamu kenalin ke Papa."

"Yeee, si Papa," ucapnya, malah Ladit sekarang memikirkan Raja dan Ratu. Momen barbeque itu bisa Ladit rencanakan untuk "sesuatu".

Ladit nyengir, "Ntar Ladit ajak."

"Cepet amat yang pindah sekolah udah punya temen," ledek Papanya.

"Astaga, Papa. Gini-gini Ladit gaul," kini Ladit pura-pura cemberut.

Papa tertawa renyah, "Iya, ya ampun. Dasar anak manja, tidur sana!"

"Iya-iya ...."

"Jangan lupa gosok gigi. Nanti gantengnya Papa di wajah kamu luntur, berabe. Capek-capek Mama besarin kamu, eh kamunya lupa gosok gigi. Giginya kuning, nggak ada yang mau sama kamu, trus sepanjang hidup sendirian! Gara-gara ... males gosok gigi."

"Iya, Papa Cinta ...."

"JIJIK!"

Ladit tertawa, buru-buru ke kamarnya untuk menghindari amukan Papa. Dia melepas kaus kaki, naik ke atas tempat tidur, lalu memikirkan kejadian malam ini. Sekelompok dengan Ratu sangat menyenangkan, bisa menyembunyikan identitasnya lebih menyenangkan, melihat Ratu bertengkar dengan Agung jauh lebih menyenangkan.

Ladit tidak sabar untuk menjalankan projek "mak-comblang"-nya pada Raja dan Ratu. Kalau mereka tak bergerak maupun berusaha, baiklah, sekarang tugas Ladit mengatur segalanya.

Baru saja ia ingin menutup kedua matanya, ia bangkit, teringat sesuatu.

Gosok gigi.

R: Raja, Ratu & RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang