Chapter Twenty-Two #Confused

137 9 0
                                    

Derin POV

Besok. Atau gak sama sekali.

Kata itu, sangat mudah untuk diucapkan, bahkan terlalu mudah. Tapi nggak untuk dimengerti, itu gak mudah dan sangat sulit. Gue gak ngerti lagi dengan situasi ini. Situasi yang paling gue benci. Selalu menyudutkan pilihan antara hubungan atau perasaan.

Gimana bisa secepet itu gue hancurin perasaan Nathan, disaat gue mulai nyaman dengan sosoknya yang selalu ada buat gue, mewarnai hari-hari kelabu gue. Gue gak tega, malah gak bisa. Itu sama hancurin perasaan gue juga.

Dan itu adalah salah satu kebodohan gue bisa suka sama Nathan. Meskipun gue tau dia target utama gue, tapi jika cinta itu datang tiba-tiba tanpa gue sadari, apa masih bisa dikatakan salah gue?

Ya, gue udah mulai suka Nathan. Gue ... Jatuh cinta sama Nathan. Besok, adalah terakhir kali untuk gue melihat Nathan. Karna gue tau, setelah gue jujur semua tentang ini, termasuk permainan ini, gak akan ada lagi kata Derin-Nathan. Gak ada lagi momen indah diantaranya, kebersamaan. Gak akan ada. Semua terasa ... hambar, mulai menjauh.

Itu sakit, gue tau rasa sakit itu, udah terlalu sering gue mengalaminya, tapi yang gue tau, rasanya dua kali lebih sakit dari yang gue alamin ... Kehilangan.

Seseorang menepuk bahu gue, membuyarkan lamunan gue. Bangkit dari posisi semula, gue duduk tegak seraya mendongak, gue mendapati Nathan tengah menatap gue jengkel seraya mencebikkan bibirnya. Lucu. Tapi gue juga tau, gak selamanya gue bisa ngeliat dia jengkel kaya gitu. Gue menghela napas. "Apa?"

"'Apa?' Astaga, lo gak ngerti juga ya? Gue udah daritadi disini ngetok pintu rumah lo, dan begitu lo keluar, lo malah asik ngelamun disitu gak nawarin gue masuk atau apa gitu?" omel Nathan panjang lebar. Gue tersenyum. Oh, gue lupa, Sedaritadi gue ngelamun saat Nathan tiba-tiba aja dateng ngetok pintu rumah gue. Karna terlalu badmoodnya gue, gue jadi ngabaikan dia tanpa nyuruh masuk.

"Yah, mungkin kedatangan gue gak berarti buat lo, gue pulang ya?" ucapnya seraya berbalik arah. Dengan cepat gue menahan pergelangan tangannya, segera menghambur ke pelukannya. Gue menyandarka kepala di dadanya seraya melingkarkan kedua tangan gue di punggung Nathan erat. Cowok itu yang awalnya diam terheran, perlahan ia membalas pelukan gue erat sambil tersenyum. Gue suka pelukan ini, terasa ... nyaman.

"Maafin gue. Gue tau endingnya lo pasti bakalan marah sama gue. Perlahan lo pasti ninggalin gue. Gue tau itu. Tapi please, untuk kali ini lo jangan pergi."

Nathan mengernyit. Gue tau dia bingung dengan maksud ucapan gue. Yah, itu cuma awalan sebelum klimaksnya. "Lo ngomong apaan sih? Gue gak ngerti. Tapi gue yang jelas lo gak usah takut, gue janji gue bakal selalu ada buat lo. Selalu."

Perlahan gue tersenyum dengan kata itu. Seenggaknya cukup melegakan hati gue, meskipun itu mustahil. "Makasih," gue tersenyum tipis seraya melepaskan pelukan gue. "Yaudah, masuk ke dalem aja." ujar gue menarik tangan Nathan ke dalam rumah.

Kami duduk bersebelahan di sofa ruang tamu. Gue teringat sesuatu, lalu berkata, "Lo mau minum apa?" tawar gue.

"Gak, gak usah, gue udah minum segalon tadi." katanya tanpa menoleh gue. Matanya masih menjelajahi setiap inci rumah gue. Gue terkikik saat mendengar jawaban itu, "Sebanyak itu? Keburu puasa lo?"

"Iya dong. Kepala keluarga yang soleh 'kan harus rajin-rajin puasa."

Gue mengernyit, "Kepala keluarga? Lo mau nikahan?"

"Iya kalo lo mau sih, gue ayo-ayo aja." celetuknya nyaris buat jantung gue kelonjotan gak karuan. Sontak pipi gue bersemu merah. "Lo apaan sih. Ngaco." seketika tawa kami pecah.

Games OverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang