Nathan POV.
Gue menggerbak meja gudang keras-keras tanpa peduli tangan gue ntar kaya apa dan suara berisik yang gue hasilin. Gue gak peduli kedua hal itu. Ini pulang sekolah, gak mungkin bisa denger.
BRAKK!!
Terdengar begitu kerasnya saat gue nendang meja itu. Terbentur ke salah satu dinding. Sampai-sampai kaki meja tersebut oleng.
Gue tersenyum kecut. Dengan satu tendangan, menabrak dinding dan oleng gitu aja. Benar-benar persis. Hanya karena satu fakta, seketika mampu ngebuat dinding hati gue oleng. Rapuh.
Gue menggepalkan tangan erat-erat. Terlihat kuku gue yang mulai memutih. Gue bener-bener gak nyangka karena sesuatu hal yang barusan terjadi ke gue.
Derin. Derin. Orang yang baru ini gue suka. Gue gak nyangka dia nyakitin gue kaya gitu. Disaat gue mulai nyaman karena sosok dia yang selalu ada buat gue, ngebuat hari-hari baru dalam hidup gue, dan ngelupain masalah gue sejenak.
Padahal gue baru aja ngerasain bahagianya sama lo. Tapi lo udah ngancurin semuanya dengan permainan itu. Lo pikir perasaan gue apa, Der? Gue udah terlanjur sayang sama lo. Apa secepat itu gue bisa ngelupain lo gitu aja?
Gue gak bisa.
Gue ... Tepatnya gue belum mampu.
Dan untungnya, meskipun gue tau semuanya dari orang lain dan bukan dari mulut lo sendiri, jujur, itu lebih baik daripada lo sendiri yang ngomong langsung ke gue. Karena apa? Karena itu akan lebih sakit kalau aja kata itu keluar dari mulut lo.
Gue beranjak keluar dari gudang. Berjalan gontai tanpa semangat. Tak lama saat melewati koridor sekitar lapangan, langkah gue seketika terhenti dengan refleknya. Pandangan gue jatuh pada seorang cewek berkuncir kuda tengah duduk di lapangan sendirian. Masih sama, dengan sorot tatapan sendu.
Cewek itu, cewek yang matahin hati gue secara gak langsung.
Pengen banget gue samperin dia. Ngajakin dia pulang bareng, kaya dulu lagi. Tapi, rasanya langkah gue seperti tertahan untuk gak nyamperin Derin.
Gue sadar. Gue gak bisa kaya dulu lagi. Hati gue udah mati. Gak gampang menurut gue menerima seseorang yang udah hancurin hati gue untuk balik lagi. Seperti menanam bibit pohon yang udah busuk. Apa iya bibit yang udah busuk bisa tumbuh dengan sempurna? Karena yang udah mati, mungkin selamanya akan selalu mati.
Dan bodohnya itu masih mungkin.
***
Gue menatap pintu kamar gue yang setengah terbuka dengan tatapan sedikit bertanya. Siapa yang berani masuk kamar gue?
Tanpa menggubris pikiran aneh yang berkelebat di otak gue, gue melangkahkan kaki gue. Melebarkan bukaan pintu agar terlihat seseorang yang berada di kamar gue.
Mengerjap beberapa saat sembari melangkahkan kaki gue ke balkon yang terlihat seorang cewek dengan rambut pirang kecoklatan terurai di punggung.
Dia Kesyha.
Tak lama saat gue berjalan mendekatinya, Keysha lebih dulu menyadari kehadiran gue. Cewek itu memutar tubuhnya menghadap gue. Cewek itu tersenyum lebar saat melihat gue.
"Hai,"
Gue tersenyum tipis. "Lo ngapain?"
Keysha tidak menggubris pertanyaan gue. Cewek itu hanya memicingkan matanya ke muka gue seolah-olah dia bisa rasain kalo ada sesuatu di wajah gue.
Keysha yang tadinya tersenyum, kini senyuman itu kian memudar. Cewek itu menatap gue sendu, dan juga prihatin. "Lo kenapa?" tanyanya lembut.
Gue kembali mengulas senyuman tipis. Mengisyaratkan kalo gue gapapa. Meskipun itu gak akan mempan buat ngalihin Keysha. Ia selalu tahu kapan gue bohong. Cewek itu menarik gue untuk duduk di kursi panjang sekitar balkon. Melingkarkan tangannya di pundak gue. Menatap gue lekat-lekat. "Gue tau lo ada masalah. Lo bisa cerita sama gue kok."
KAMU SEDANG MEMBACA
Games Over
Teen FictionDerin Alexa Adriana, gadis periang dan jutek yang terjebak dalam sebuah permainan konyol dari kedua sahabatnya, Luna dan Keira. Permainan yang menjerumuskan ke dinding permusuhan diantara ketiganya. Dilema, apa Derin harus tetap menjalankan misi te...