Chapter Twelve #Nathan's Problem

179 11 0
                                    

Kesel.

Kenapa Nathan selalu ngeselin banget, sih? Pake acara ngasih hukuman nemenin dia basket lagi, emang gue gak tau kalo Nathan main basket selama apa?

Lama banget.

Pulang jam berapa gue? Keburu ke sorean. Lain waktu sih gapapa. Kalo sekarang, gue juga ada janji buat main video game sama Adrian, kali.

Melirik arloji. Tepat pukul tiga sore. Mendengus gusar. Bentar lagi bel pulang pasti bunyi.

TEEETTT!!!

Tuh kan. akhirnya setelah sekian lama gue nunggu, belnya bunyi juga. Cepat, gue merapikan buku serta alat-alat tulis dan memasukkan ke tas. Berjalan keluar kelas sambil menutup risleting tas. Menuju lapangan.

Keadaan sepi dari gerombolan siswa yang telah pulang. Hanya ada Nathan disana. Sendiri. Masih menggunakan seragam khas SMA Persada, cowok itu sedikit membungkuk di depan ring sambil mendribble bola basket ke tanah.

"Sendiri?" tanya gue begitu berada di samping tak jauh dari Nathan. Cowok itu melirik gue sekilas, lalu beralih ke bola basketnya. "Sama lo." tukas Nathan.

Mengambil napas. "Selain gue?"

"Gak ada." Nathan menembak ke ring. Berhasil tembakan three point. Hebat juga. Baru main udah berhasil nembak there point. Lah gue, jangankan nembak orang ngelempar ke ring aja masih meleset.

Mengangkat kedua bahu. Berjalan menuju tribun penonton, duduk paling depan. Mata gue menjelajahi setiap sudut lapangan yang cukup luas.

"Dari kecil setiap gue lagi ada masalah, atau beban pikiran, gue selalu lariin dengan main basket. Sendiri," ucapnya seraya berlari kecil mengejar bolanya yang menggelinding lumayan jauh. Gue mengalihkan pandang, kini menatap Nathan lurus-lurus.

Semiris itu?

"Menurut gue sendiri jauh lebih nenangin." tandasnya mengangkat bahu. Kembali mendribble bolanya.

"Sekarang ini, Lo ada masalah?" tanya gue. Nathan mengendik bahu.

"Lo bisa curcol ke gue kok. Sebagai pendengar yang baik, kali aja gue bisa bantuin lo." gue tersenyum tulus. Sumpah itu refleks. Gue memukul bibir gue. Kenapa gue bisa keceplosan ngomong gitu, coba? Kepo amat nih mulut.

"Nyokap berantem lagi sama Bokap," gue berhenti mukul bibir comblang gue. Terpaku, Nathan bisa semudah itu nyeritain masalahnya ke gue. "Hampir sebulan mereka kaya gitu. Debat karna permasalahan masing-masing. Awal-awal nyokap pulang telat, pas pulang bokap marahin nyokap, nuduh nuduh nyokap selingkuh,

"Semenjak saat itu, apa-apa berantem, dikit-dikit berantem. Kemaren aja gue denger mereka mutusin buat cere ...," jeda Nathan sembari melemparkan bola basketnya ke ring keras-keras.

Gue terdiam. Gak nyangka. Nathan yang super nyebelin, ngeselin, songong, ternyata punya masalah semiris itu. Beruntung, keluarga gue masih adem ayem. Nyokap juga baik-baik sama Bokap. Adrian juga perhatian sama gue.

Beda jauh sama Nathan.

"Gue udah gak tau harus gimana lagi." ucapnya lirih.

"Mungkin lo bisa omongin baik-baik ke Nyokap Bokap lo, siapa tau mereka bisa baikan kaya dulu."

Nathan melihat gue, lalu tersenyum kecut. "Gak akan," tandasnya sembari berjalan ke tribun penonton, duduk sebelah gue. "Mereka udah terlalu sering nyelesein masalah dengan berantem," ucapnya menengok gue.

"It seemed impossible they come back like it used to be."

"You have a tried. Dari awal permasalahannya masih gak jelas, bisa dibilang salah paham, Nath. Bukannya gue sok tau, mungkin salah satu dari mereka gak ada yang mau ngalah. Lo coba ajak Bonyok lo buat ngomong baik-baik. Gue yakin orangtua lo pasti balik seperti semula." gue tersenyum tulus.

"Kalo gagal?"

Gue mendengus, masih aja pesimis. "Seenggaknya lo udah nyoba Nathan."
Begitupun dengan Nathan, ia tersenyum tipis. Diperhatiin dari deket, Nathan ganteng juga kalo lagi senyum gitu. Itu jujur loh. Bukan suka.

"Thanks buat sarannya. Itu sedikit ngebantu."

Gue mengangguk.

***

Nathan POV

Mungkin saran Derin tadi ada benernya juga. Selama ini gue terlalu gak peduli dan gak mikirin solusi buat masalah ini. Yang gue pikirin adalah, seberapa lama mereka akan bertahan menjalin hubungan. Dan akhirnya gue harus milih salah. satu diantara mereka. Benar-benar na'as.

Gue mengedarkan pandangan luar rumah dari dalam mobi. Gue abis nganterin Derin pulang. Meskipun gak sampe rumah, cewek itu selalu aneh. Sifatnya gak tentu, kadang gini besoknya gitu. Bikin gue penasaran aja.

Sekelebat pandangan gue jatuh pada dua mobil yang terparkir sempurna di teras. Menghela napas. "Nyokap Bokap ada di rumah."

Gue bergegas menemui mereka. Dugaan gue bener, belum lama gue masuk, gue selalu disuguhin suara riuh perdebatan orangtua gue.

"Ma, Pah," panggil gue begitu berada di depan mereka. Mereka menghentikan perdebatannya sejenak. Melihat ke arah gue. "Nathan bisa ngomong sebentar gak?" terlihat mereka saling pandang. Nyokap menghela napas. "Kamu bisa omongin itu nanti, sayang. Mama lagi--"

"Bentar aja Mah ...," putus gue. Melirik Bokap yang masih terdiam. "Papa juga."

"Baiklah, apa yang mau kamu omongin?" Bokap kini bersuara. Masih terdengar ucapannya yang tegas. Melirik Nyokap yang masih tersenyum ramah seolah-olah gak terjadi apa-apa. Nyokap emang gak pernah nunjukin kesedihannya pada anak-anaknya. Selalu berusaha bersikap baik. Tetap saja, senyuman itu palsu.

Menarik napas panjang. Gue mulai bersuara. "Ma, Pah, apa bisa, kalian selesein masalah dengan ngomong baik-baik? Jangan debat kaya gini, apa kalian gak mikir gimana sakitnya Nathan sama Julian setiap hari denger pertengkaran kalian?!" ucap gue tegas dan mata yang mulai berair. Mereka mulai terdiam.

"Nathan, ini semua karna Ma--"

"Mama? Iya? Pah, Nathan tau, semua berawal dari Mama pulang telat 'kan? Dan dengan mudahnya Papa nuduh Mama selingkuh. Sedangkan Papa? Papa aja gak tau kejadian sebenarnya kaya gimana.

"Itu semua salah paham! Gak ada salah satu dari kalian yang mau ngalah, bahkan ngajak ngomong baik-baik. Dan Akhirnya, selalu aja nyelesein masalah dengan bertengkar. Tolong lah, Pa, Ma, kalian bukan anak kecil lagi. Dikit-dikit bertengkar!" tandas gue. Menarik napas sejenak, lalu melihat Mama, kemudian beralih melihat Papa.

"Please Mom, Dad, you're not a kid anymore. Please understand my feelings and Julian. just once." jelas gue panjang lebar sembari berjalan menaiki anak tangga. Ke kamar gue.

Menghempaskan tubuh ke kasur dengan gusar. Masih kepikir kejadian barusan. Gue tau, perkataan gue tadi sedikit kasar atau apalah. Tapi gue refleks, gue terlalu bingung ngehadepin mereka kaya gimana. Bener kata Derin, seenggaknya gue udah nyoba. Sekarang gue lega. Entah endingnya mau kaya gimanapun, gue bakal terima.

Gue hanya berharap, mereka balik lagi seperti semula.

****

12-01-2016

Games OverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang