Chapter Thirty-One #She?

144 9 0
                                    

"Gue ...,"

"Gue sayang sama lo Der," ucap Nathan memeluk Derin tiba-tiba. Membuat Derin terperangah, terdiam saat Nathan mendekapnya seperti itu. Bibirnya terasa bungkam. Sulit untuk melanjutkan kata-katanya yang belum selesai.

Nathan membawa cewek itu kedekapannya erat-erat. Menyenderkan kepalanya di pundak cewek yang disayanginya tersebut. Sesekali mengusap lembut rambut cewek itu yang tergerai lembut. "Gue sayang lo, Derin. Jujur gue gak tau kapan perasaan ini dateng. Yang jelas gue udah ngerasa nyaman sama lo, gue gak peduli apapun alesan lo itu," jedanya mengambil napas panjang sebelum melanjutkan kembali.

"Gue gak peduli tentang alesan lo buat jauhin gue. Yang terpenting, gue minta sama lo jangan lakuin itu lagi. Gue gak pengen lo ngejauh dari gue."

Perlahan Derin meneteskan air mata yang sedaritadi ditahannya. Ia tidak sanggup membendung air mata itu lagi. Cewek itu melingkarkan tangannya erat di perut Nathan. Menelungkupkan wajahnya di dada cowok itu. Menumpahkan segala tangisannya disana untuk beberapa saat.

Jujur, ia sangat menyesal karena perbuatan bodohnya. Tidak seharusnya ia ikut dalam permainan gila itu. Termasuk ikut memainkan perasaan Nathan seperti ini.

Beberapa saat kemudian, Nathan melepaskan dekapannya. Menatap Derin lekat-lekat sambil mengusap air mata cewek itu. "Jangan nangis. Aku gak suka liat kamu nangis gitu. Senyum ya? Aku janji gak bakalan bikin kamu nangis lagi deh." ucapnya seraya tersenyum.

Dilihat seperti itu, Derin terasa nyaman. Ia ingin terus bisa menatap mata itu. Merasa ekspetasinya terlalu tinggi, ia bergumam dalam batinnya, "Gak seharusnya lo ngomong gitu, Nath."

"Gue, cengeng ya?"

Cowok itu menggeleng sebelum mengulas senyumnya. "Nggak. Kamu gak cengeng, adakalanya cewek yang keliatannya begitu kuat, justru ia menyimpan masalah terberat dalam hidupnya. Dan menumpahkan segala kekesalannya saat dia udah gak mampu lagi buat ngahadepin."

.

"Der? Lo gapapa?"

Derin mendongak saat seseorang sedang mengajaknya bicara. Cewek itu buru-buru menyeka air matanya saat ia telah mendapati Matt berada di dekatnya–tepatnya di sebelah balkon kamarnya. Cowok itu menatap Derin. Lalu ikut duduk di sebelahnya. "Gimana? Udah?" tanyanya lembut. Sebisa mungkin ia berusaha mengerti perasaan cewek itu.

Derin hanya mengendik tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Cewek itu kembali menunduk, memeluk lututnya.

"Der, jangan nangis dong. Apa lo udah jujur tadi? Apa Nathan nyakitin lo juga? Please jawab gue. Jangan bikin gue bingung."

Derin kembali terdiam. Membiarkan rambut hitamnya diterpa angin yang berhembus di malam ini. Dari sore menjelang malam, Derin hanya berdiam diri di balkon kamarnya. Mengunci pintu kamarnya rapat-rapat. Tidak peduli beberapa panggilan Mama, Adrian untuk makan atau sebagainya dari luar kamar.

Pikirannya cuma satu. Yaitu sendiri, dan sendiri. Beberapa kali cewek itu mengumpat dan mengucapkan sumpah serapah untuk dirinya sendiri. Sekarang ini, cewek itu merasa paling jahat diantara lainnya. Bahkan lebih brengsek dari preman-preman jahat yang pernah ditemuinya.

Dia lebih jahat dari itu. Jujur, ia benci semuanya, ia benci keadaan ini. Disaat orang yang dicintainya mengungkapkan perasaan yang sama terhadapnya, juga di depannya, tidak ada kata senang dalam benaknya, karena yang ada dan paling terlihat ada sebuah kehancuran.

"Der–" panggil Matt ulang yang lebih dulu terpotong dengan bentakan Darin sesudah mendongak kembali.

"Bisa diem gak sih?! Gak usah bacot! Gue sama sekali gak butuh bacotan lo!! Tolong, sekali aja lo ngertiin gue! Bukan malah ngerecokin kaya gini!" bentaknya kasar. Dibentak seperti itu, kontan Matt terlonjak.

"Derin!"

"Lo bisa apa sih ikut ngurusin idup gue? Gue minta sekarang ini lo ngejauh dari gue!" titah cewek itu lalu beranjak dari posisinya. Berjalan gontai menuju kamarnya, menutup pintunya keras-keras.

"Derin! Oke kalo itu mau lo, gue gak akan pernah deketin lo lagi! Gak akan ganggu lo lagi!'' masih terdengar teriak cowok itu. Derin hanya duduk menyenderkan punggungnya pada pintu balkon dengan tangisannya yang kini mulai menjadi.

"Dan ini terakhir kalinya kita berstatus sahabat. Itu 'kan yang lo mau? Asal lo tau, gue emang gak tau apa-apa tentang masalah lo, gue emang gak berhak ngatur hidup lo. Gue emang gak bisa ngertiin lo! Tapi yang perlu lo tau, gue peduli sama lo! Peduli banget!" ucap cowok itu sebelum ikut menggebrak pintu balkon kamarnya.

Dan hari ini, mulai detik ini, Derin bukan hanya kehilangan dua orang sahabatnya, namun ia juga kehilangan sahabat paling dekatnya, selalu ada untuknya, Matt.

"Maafin gue Matt. Gak seharusnya gue ngomong gitu." ucapnya lirih sembari memukul-mukuli dadanya. Derin menyadari kesalahannya, tidak seharusnya ia membentak Matt seperti itu. Terlebih lagi memutuskan tali persahabatannya.

Semua terasa lengkap. Hanya satu, mungkin tidak lama lagi Nathan akan menjauhinya juga. Seperti Luna, Keira, dan ... Matt.

***

Beberapa hari setelah kejadian itu, kini, tidak ada lagi momen kebersamaan mereka, tidak seperti biasanya, keduanya benar-benar lost contact. Kerap kali mereka memalingkan muka tatkala tidak sengaja berpapasan di perpustakaan, koridor, ataupun balkon kamar. Sama sekali beda dari biasanya.

Tidak ingin Bahkan akhir-akhir ini, Derin jarang terlihat berangkat bareng Matt, ia selalu naik ojek, atau kadang dengan Nathan. Itupun juga karena Nathan sendiri yang memaksa.

Omong-omong tentang kedekatan Nathan dengan Derin saat ini, mereka tampak baik-baik saja. Persis seperti biasanya. Hanya saja Derin akhir-akhir ini lebih banyak diam. Seringkali cewek itu melamun disaat jam pelajaran tanpa menyimak sedikitpun. Kadang juga tertidur, karena posisi bangkunya yang sekarang berada di belakang, ia lebih leluasa untuk melakukan hal itu.

Dan yang perlu kalian tahu, Derin jarang sekali tertidur di kelas. Bahkan saat cewek itu dalam masa ngantuk-ngantuknya karena begadang sampai larut malam sekalipun ia jarang tertidur. Bukan jarang lagi, tapi memang tidak pernah. Mungkin karena bebannya itu yang membuat Derin mudah ngantuk tanpa bersemangat.

Tin!

Derin tersadar dari lamunannya saat tiba-tiba terdengar salah satu notifikasi dari ponselnya. Dengan cepat, cewek itu merogoh saku tas di sampingnya. Hendak mengambil ponselnya. Belum lama Derin mengecek, ia menautkan alisnya begitu melihat nama Nathan tertera di layar ponselnya.

"Nathan nyuruh gue ke ruang indoor olahraga? Buat apa? Kok tumben mendadak. Aneh, kaya ada ...," gumamnya bertanya-tanya.

Sepersekian detik berikutnya cewek itu menggeleng kuat-kuat, menghilangkan pikiran negatifnya. "Ah, bodo! Pasti minta temenin, kebiasaan." ucapnya seraya bangkit dari posisi duduknya. Segera berjalan keluar kelas, menuju tempat yang Nathan maksud.

***

Nathan memperhatikan setiap inci bagian setangkai bunga mawar merah yang dipegangnya.  Sesekali memutar-mutar tangkainya dengan jari.

Jujur, perasannya kini deg-degan. Kerja jantungnya serasa berdetak tiga kali lebih cepat dari yang seharusnya. Tetapi, sebisa mungkin cowok itu menormalkan ekspresinya.

Oh, iya. Mungkin kalian sempat bertanya-tanya tentang maksud dari "mawar merah" ataupun "deg-degan". Oke, jadi hari ini Nathan berniat untuk menembak Derin.

Sebenarnya rencana itu sudah terpikir sejak beberapa hari lalu. Cuma Nathan belum pasti untuk menentukan kapan acara penembakan dilakukan. Jujur, ia tidak mungkin harus terus-terusan menggantungkan statusnya dengan Derin hanya karena alasan sebagai "asisten" 'kan?

Nathan menghela napasnya. "Derin, lo ma–"

"Nathan," belum sempat Nathan melanjutkan latihan pengucapan kalimat penembakannya, seseorang yang tengah berdiri di belakangnya lebih dulu memotong. Kontan Nathan menengok ke belakang saat mendengar panggilan namanya.

Cowok itu mengernyit saat melihat seorang di belakangnya. Nathan tahu siapa dia, namun ia tidak tahu dia siapa. "Lo?"

***

A/N

Yash. Triple apdet!
Maaf, baru apdet

Games OverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang