Chapter Twenty-Four #The Small Happines

150 10 4
                                    

“Kenapa?”

“Lo masih inget kesepakatan kita waktu itu 'kan? Dan gimana kabar lo sama Nathan? Apa lo udah jujur?” tanya Keira bertubi-tubi. Perlahan napas gue tercekat mendengar pertanyaannya. Gue udah ngeduga kalau mereka bakal nanyain soal Nathan.

Gue diem. Menghela napas, berusaha membuat keadaan setenang mungkin. Gue menatap lurus-lurus Keira, lalu beralih pada Luna. “Gue ... Belum ngelakuin itu,” kata gue lirih.

Terlihat mereka membulatkan matanya. Tak percaya dengan apa yang gue katakan. “Waktu itu Nathan lagi seneng banget bisa dinner sama Bokap-Nyokapnya. Ya, gue gak sejahat itu hancurin kebahagiaan dia. Sori.lanjut gue.

Luna kini menatap gue datar. Lalu menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Gue udah tahu dia gimana, dari dulu cewek itu emang suka sama Nathan. “Menurut gue bener juga, kita gak boleh ngerusak kebahagiaan seseorang saat lagi seneng 'kan? Dan ada hubungannya sama orangtua.”

“Gini deh, kita kasih lo seminggu buat nyelesain permainan itu,” kini Keira berucap serius. “Gue tau itu nggak gampang.”

Tiba-tiba gue diem. Berusaha mencerna perkataan Keira. Perlahan senyum gue mengembang sempurna. Hati gue mencelos senang mendengar pernyataan itu. Masih ada seminggu lagi untuk gue tetep bersama Nathan.
.
"Lo marah?" tanya seseorang di sebelah gue membuyarkan lamunan gue saat berbicara dengan temen gue tadi pagi. Gue menggeleng lalu mendongak, menoleh ke samping. Terlihat Nathan berdiri di samping gue. Mengernyitkan kening. "Marah kenapa?" tanya gue bingung.

"Um ... Soal kemarin, mungkin." jawabnya hati-hati. Omong-omong, gue lagi dihukum berjemur di lapangan–tepatnya di bawah tiang bendera, begitupun Nathan. Yah, kalau bukan karena lupa ganti pelajaran juga gue gak akan dihukum begini. Entah kenapa gue sering banget kena hukum, kesannya ketara banget kalo gak disiplin.

Dan gue menautkan alis saat Nathan juga berada di sebelah gue. Gue kurang tahu kalau tuh anak tiba-tiba aja ngikut sama gue. Jamkoslah, atau apalah, gue gak terlalu bisa ngebedain. Sebelumnya emang begitu 'kan? Huh, terlalu banyak alasan.

"Gue dihukum karna ketiduran pas jam pelajaran." ceplos cowok itu yang nyaris bikin tercengang hingga bulu kuduk gue merinding.

Kok. Dia. Tahu.

"Gue emang tau kali. Ketara banget dari muka lo. Gue bisa baca ekspresi wajah orang, makanya gue selalu tau pas lo blushing," jelasnya tanpa menoleh ke gue. Gue memangut-mangut paham. Jadi selama ini dia bukan baca pikiran, tapi baca ekspresi wajah. Cocok tuh kalau jadi dukun santet–eh maksud gue psikolog.

"Jadi? Lo belum jawab pertanyaan gue." lanjut cowok itu yang membuat gue mendongak lagi. Kembali menatap cowok itu. "Yang mana?"

Nathan mendengus. "Yang tadi, elah. Lo marah sama gue?" ulangnya penuh penekanan. Gue memangut-mangut paham lagi, gue baru inget kalau Nathan sempat nanya itu. Tapi yang gue bingungin adalah, "Marah kenapa?"

Nathan menggeleng seraya mendengus kesal sendiri. Serius gue lupa sama pertanyaan Nathan tadi. Salah fokus mungkin. "Soal semalem." ulangnya lagi. Gue memangut-mangut paham, jadi daritadi dia cuma nanya itu doang? Ampe kesel lagi. Kalau gue bilang 'yang mana?' lagi, oke kali ya? Eh jangan deh, entar gue dilempar golok lagi.

'Kan serem.

"Oh, yang kemarin? Gak kok. Gue gak marah." jawab gue santai seraya menyunggingkan senyuman.

Kemudian cowok itu menghela napas lega. Kenapa segitunya sih? "Um.. Soal pernyataan gue kemarin, gue.."

Gue tahu arah pembicaraan ini. "Dan gue harap lo gak ngungkit-ungkit masalah itu lagi." timpal gue memotong omongan Nathan. Gue gak suka bahas pembicaraan itu. Karena setiap dia ngomong gitu, gue ngerasa bingung dan gak enak hati keinget tentang permainan bodoh yang saat ini gue lakuin.

Games OverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang