Dinner?
Ah, seharian ini gue selalu kepikiran soal dinner itu. Dinner Bokap-Nyokap Nathan lagi. Bukan apa-apa sih, gue cuman ngerasa gak enak aja. Karena berhubung gue kurang bisa beradaptasi. Bisa mati kutu gue! Apalagi kalo Nyokapnya Nathan nanya-nanya? Perlu mikir dua kali buat jawabnya.
Jujur, gue seneng Nathan ngenalin gue sama Bonyoknya. Tapi gue ngerasa ada yang mengganjal aja. Gue gak enak sama Nathan. Terlebih lagi gue nutupin fakta terbesar dalam hidup gue. Gue cuma nganggep dia sebagai target gue. Yah, meskipun saat ini pernyataan itu rada sedikit melenceng dari tujuan awal, tapi semuanya akan tetap sama aja 'kan?
Gue menggelengkan kepala, membuat lamunan gue buyar menghilang saat Matt menyenggol bahu gue. Sontak gue menoleh kearahnya, "Hm?"
"Lo mikir apaan sih?" gerutu Matt yang sedaritadi bicara sendiri gak gue tanggapin. Malam ini, seperti biasa, gue nongkrong di balkon Matt. Baru-baru ini gue rada jarang nongkrong malem-malem gini.
"Bukan apa-apa," jawab gue datar. Lalu mata gue beralih pada ekspresi bedanya Matt. Kaya lebih semringah gitu.
"Kenapa tuh mulut? Senyum-senyum gitu. Lagi seneng ya?" tanya gue seraya menopang dagu dengan tangan, memicingkan mata.
"Biasa aja." jawabnya datar tanpa menoleh kearah gue. Matanya masih menatap lurus-lurus langit malam.
Gue masih memicingkan mata hingga dahi gue mengkerut tajam. Gak biasanya dia kaya gitu. Sekali ada something di wajahnya, pasti lagi ada apa-apa. Seketika mata gue membulat, "Lo lagi jatuh cinta ya?" tanya gue.
Sedetik kemudian cowok itu menoleh kearah gue sekilas, lalu kembali melihat langit, masih dengan tatapan datarnya. Kadang gue sempat mikir, ini anak kenapa sih? Perasaan gak ada ekspresi-ekspresinya. "Kalaupun gue jatuh cinta juga gak terlalu penting." celetuknya yang membuat gue mengernyit seraya menggaruk tengkuk.
"Kok gitu?"
"Ya emang kenyataannya gitu."
Gue mendengus kesal mendengar jawabannya. Nyantai amat. "Bukan gitu. Maksudnya tuh ... ya lo jelasin lah, gue bingung."
"Ngapain dibuat bingung? Idup gue 'kan?"
"Lo gitu amat ke gue. Gue ada salah ya? Gue minta maaf deh, kasih tau gue ya? Gue kepo nih!" sebisa mungkin gue membujuk Matt seraya mengoyak-oyak lengannya.
"Iya, iya! Lo gak salah Der, ilah." Matt menepis tangan gue lalu menatap gue kesal. Gue berhenti mengoyak-oyak. "Terus?"
"Gimana jelasinnya ya? Ee, gini deh, ibarat tuh kaya lo suka sama sahabat lo yang gak lama lo kenal. Tapi sahabat lo itu malah suka sama temen lo sendiri. Ah, lo pasti gak tau rasanya. Secara lo aja buta dengan namanya cinta."
Gue mendengus. "Gue gak buta tentang cinta ya!" protes gue.
"Buktinya, mana cowok lo? Gak ada 'kan?"
"A--da kok! Cuma belum keliatan batang idungnya aja."
"Sama aja."
Gue kembali menatap cowok itu serius, "Eh, tapi bener, itu serius? Jujur ya, meskipun gue gak pernah ngerasain suka sama sahabat sendiri, tapi gue bisa bayangin, itu pasti sakit." kata gue meringis saat mengucapkan kata 'sakit'.
"Banget. Lo mau tau orangnya siapa?"
Sontak mata gue membulat penasaran. "Siapa?"
"Ntar aja gue kasih tau." Matt memalingkan wajahnya. Gue kembali mendengus, tapi yaudahlah ya, kali ini gue gak maksa, mungkin dia lagi butuh privacy. "Janji ya? Gue tunggu loh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Games Over
Teen FictionDerin Alexa Adriana, gadis periang dan jutek yang terjebak dalam sebuah permainan konyol dari kedua sahabatnya, Luna dan Keira. Permainan yang menjerumuskan ke dinding permusuhan diantara ketiganya. Dilema, apa Derin harus tetap menjalankan misi te...