Part Sembilan Belas

9.7K 863 10
                                    

Author P.O.V

Lusa setelah di rumah sakit, Shane bersikeras ingin kembali ke sekolah. Memang dasarnya pemuda itu keras kepala, keinginannya tak bisa di bantah siapapun.

Pagi ini, dengan senyum lebar, Shane mengikat tali sepatunya siap berangkat ke sekolah.
        
"Sudah ?" tanya Yoono yang akan mengantar Shane hari ini. Ia tak akan kecolongan lagi. Ia tak mau anaknya yang baru saja keluar rumah sakit, terjadi sesuatu yang buruk. Awalnya ini permintaan Irene yang langsung di setujui oleh Yoono. Shane memang keras kepala tapi percayalah Irene akan lebih keras kepala dalam beberapa hal.
        
"Pai pai oemma. Hyera" pamitnya dan langsung menuju kursi samping kemudi yang diduduki oleh ayahnya sendiri.

***

Shane P.O.V

Menghirup udara pagi di sekolah membuatku tersenyum tipis. Akhirnya aku kembali menginjakan kakiku di koridor sekolah yang beberapa hari ini tak aku jejaki.

Seperti biasa, sekolah terlihat sepi bahkan bel masuk masih 16 menit lagi. Yeah, seperti yang sudah kukatakan sebelumnya. You know-lah.

Aku menghentikan langkahku ketika melihat kerumunan siswa siswi yang seperti menyaksikan sesuatu di tengah mereka.

Pasti si iblis itu berbuat ulah lagi.

Tubuh kecil itu tertanya menguntungkan juga untuk beberapa hal. Seperti ini contohnya. Tak butuh waktu lama aku sudah berada di bagian depan.

Aku terdiam menyaksikan seorang pemuda bertubuh kecil tersungkur dengan buku yang berserakan disekitarnya bahkan beberapa sudah robek dan terdapat bekas injakan. Di sana terdapat gerombolan iblis yang menjadi biang kekacauan, siapa lagi kalau bukan Rain dan kawan kawan.
        
"Tak berguna. Kau pikir kau siapa ? Kau berani memerintah kami ? Cih. Berpikirlah seribu kali" Rain berkata sambil berjongkok dan menjambak rambut pemuda itu sehingga ia mendongak mempertontonkan wajahnya yang penuh lebam. Kemudian berdecih dan menghempaskannya kasar di akhir kalimat. Pemuda itu menunduk dengan kedua tangannya  bertumpu di lantai. Kepalanya bergoyang goyang, nampak tidak fokus seolah olah akan tumbang.

Rain sendiri sudah menjauh digantikan oleh Trey yang berjongkok mengamati pemuda itu sesekali ia akan berceloteh kasar tentangnya.
        
"Lihatlah. Wajahnya lumayan. Mirip pelacur di club yang sering kita kunjungi" ujar Trey lalu tertawa bersama teman temannya.
        
"Wajahnya menjual. Tapi aku tak yakin soal tubuhnya" sambung Nathan.
        
"Kenapa kau tak mencobanya saja. Siapa tahu kau ketagihan" celetuk Rain sinis. Nathan tertawa.
        
"Kau seharusnya menawarkan pada Trey. Siapa tahu ia dapat pencerahan agar tidak terus terusan menjomblo" balas Nathan menatap wajah pias Trey.
        
"Kau mengejekku ?"
        
"Kau merasa ?" jawaban Nathan ini menjadi awal pergulatan dua pemuda tampan itu mengabaikan mereka baru saja membully seseorang.

Tak ada yang mau ikut campur. Bahkan guru gurupun tak kelihatan. Yang membuatku heran, sebegitu berpengaruhnyakah seorang anak pemilik sekolah di sini ?

Pemuda itu bangkit, dengan langkah terseok berusaha menjauh dari sana.
        
"Mau kemana kau ?" Rain berjalan santai mengikutinya dari belakang dengan kedua tangan dalam saku celananya.

Tiba tiba pemuda itu ambruk tidak kuat lagi untuk melarikan diri. Ia tersungkur tepat di depan kakiku.

Aku mengerjap beberapa kali. Menatapnya yang kembali berusaha untuk bangkit.
        
"Jangan dipaksakan" ujarku menumpukan lututku di lantai sambil memegang kedua bahunya. Ia mendongak. Aku bisa melihat sudut bibirnya yang robek dan lebam di kedua pipinya. Kasihan sekali. Tubuhnya kecil. Tak jauh beda denganku. Matanya sayu berwarna coklat gelap mendekati hitam. Bibirnya berwarna merah jambu pucat. Pemuda yang cukup menawan.

Tiba tiba pemuda itu tersentak bangkit. Pelakunya sudah pasti si iblis Rain. Ia menatapku yang masih di lantai.
        
"Mau mencoba rasanya masuk penjara ya ?" tanyaku sarkas. Ia diam.
        
"Kau bertanya padaku ?" tanyanya balik. Aku memutar bola mataku.
        
"Tidak. Aku sedang bertanya pada rumput yang bergoyang" ujarku malas. Ia menggertakkan giginya pelan.
        
"TREY" teriaknya dan melemparkan pemuda itu ke belakang tanpa mengalihkan pandangannya padaku. Trey langsung menangkap pemuda itu. "Terserah mau kau apakan dia. Aku akan memberi sedikit pelajaran pada bocah songong ini" lanjutnya menggerak gerakkan lehernya seolah sedang melakukan pemanasan.
        
"Bagaimana caranya kau mengajariku di saat aku lebih pintar darimu ?" aku mengutuk dalam hati tentang mulutku yang tak terkontrol ini. Aku malah agak takut melihat wajah pias Rain dan mendengar kawanannya ber-wow ria serta bisikan bisikan siswa siswi di sekitarku. Seperti ini contohnya.

Berani sekali dia.

Anak kelas berapa ?

Dia anak baru ya ? Seperti ia tak tahu siapa Rain.

Matilah dia. Aku tak sanggup melihat tubuhnya yang tak terbentuk nanti.

Aku memutar kedua bola mataku ketika mendengar kalimat terakhir. Berlebihan.
        
"Cari mati" desis Rain. Wajahnya mengeras. Tangan kirinya meremas kepalan tangan kanannya.
        
"Wait. Jangan coba coba. Akan kukadukan pada uncle Thom" ancamku bangkit berdiri ketika ia maju selangkah.

Ia mengangkat sebelah alisnya.
         
"Kau pikir aku takut ?" balasnya.
         
"Yeah, tentu saja kau tidak takut. Kau kan tipe anak durhaka" ujarku. Demi Tuhan itu adalah refleks.

Aku mengerjap dua kali. Melongo oleh ucapanku sendiri. Bahkan aku melihat kawanan Rain apalagi Bian sudah terpingkal pingkal di tempat.
        
"Aku berani bersumpah. Yang tadi itu tidak disengaja AAAAAAAHH" dengan sekuat tenaga aku berlari saat Rain mengulurkan tangannya hendak menggapaiku.

Hei. Tapi kenapa aku tak berpindah tempat ?

        
"Kenapa jadi kau yang lebih bodoh saat ini, hm ? Bahkan kau masih berlari saat kau sudah menyadari aku memegangimu seperti menjinjing seekor anak anjing" ujarnya remeh.

Sialan, dari tadi aku tidak berlari. Si iblis Rain itu memegangi kerah belakangku. Dan bodohnya, aku malah mempercepat lariku setelah aku menoleh ke belakang.

Akhh malunya.

Aku terpekik ketika Rain tiba tiba menarik pinggangku dan menyampirkan tubuhku di pinggangnya. Seperti menjinjing di samping tubuh. Bisa kalian bayangkan. Wajahku sekarang berhadapan dengan perutnya sedangkan kedua kaki menggantung ke belakang.
        
"AAAAAAHH APA APAAN" pekikku memukuli perutnya tapi ia tak bergeming sedikitpun. Makhluk apa orang ini ? Perutnya sangat keras. Malah dengan santainya ia melenggang menjauh dari kerubungan murid murid yang menatap kami heran dengan tangan yang tak memegangiku di kantong celananya.

Sedangkan aku ? Menjerit jerit sampai pita suaraku sakitpun ia tak akan mendengarkannya. Dia adalah tipe laki laki yang tidak bisa di bantah. Semua orang juga tahu, kan ?


***

BoysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang