Part Dua Puluh Tiga

8.2K 764 12
                                    

Shane P.O.V

Aku beruntung kali ini. Saat aku masuk ke kelas, murid lainnya saling mengobrol satu sama lain. Bahkan ada yang yang bermain main. Itu artinya, guru tidak masuk ! Horeeee.

Dengan senang aku melangkah masuk. Yang membuatku heran, berbagai macam tatapan di tujukan untukku. Aku berbuat salah ? Sampai di kursi ku pun tatapan mereka tidak berubah. Aku mengernyit bingung

"Apa ?" tanyaku. Seseorang berjalan ke arahku. Itu ketua kelas.

"Apa kau buat masalah pada Rain ? Dia datang ke sini tadi pagi mencarimu" tanyanya.

Aku tahu Rain ke sini tadi pagi. Kenapa memangnya ?

"Lalu apa masalahnya ?" tanyaku. Ia mengacak rambutnya.

"Masalahnya, salah satu teman kita jadi korbannya. Padahal ia masih baru di sini" katanya.

"Apa ? Jadi korban bagaimana maksudmu ?" tanyaku.

"Rain memukul Alfian" katanya. Aku menegakkan tubuhku menoleh pada Alfian yang menatapku. Memar di pipinya terlihat jelas. Berwarna biru keunguan.

"Aku tak tahu ini salah siapa ? Entah karena kau yang mengundangnya kemari, atau karena Alfian yang terlalu berani. Tapi kuharap jangan ulangi lagi. Anak anak lain jadi ketakutan lalu jadi korban" ujarnya lalu pergi.

Ia tak menyalahkan siapa pun. Benar sekali. Tapi ia seperti memperingatiku seolah olah mengatakan secara tidak langsung bahwa akulah yang bersalah.

Ia tak mengatakannya. Tapi ia menunjukannya dengan perkataannya. Dengan tatapannya. Ia menyalahkanku. Mereka menyalahkanku.

Aku mengerjapkan mataku saat ku rasakan tiba tiba sesak di dadaku. Ku alihkan tatapanku pada mereka. Saat tatapan kami beradu, mereka cepat cepat mengalihkan pandangan mereka lalu berbisik bisik.

Dan aku sendirian.

Aku menoleh pada Alfian. Ia tampak sibuk dengan bukunya tanpa memperdulikan sekelilingnya.

Benar. Benar sekali. Akulah yang salah. Coba aku tak lari tadi. Andaikan aku lebih berani menghadapi Rain. Andaikan-

Dengan cepat aku bangkit dari dudukku dan berlalu keluar kelas. Aku harus menemui Rain. Aku harus bicara padanya. Lalu aku akan membalaskan apa yang telah di perbuatnya pada Alfian. Lihat saja.

Aku melangkahkan kakiku menuju lapangan basket indoor karena aku tahu Rain sedang latihan basket. Aku mendengarnya tadi.

Aku berhenti saat melihat Rain bermain basket. Ada Raka juga di sana. Mereka terlihat serius memainkannya. Lalu dikursi penonton ada Bian dan Mika.

Aku mendadak bingung. Aku jadi tak tahu apa yang harus aku lakukan. Kakiku melemas, kenapa aku begitu bodoh ? Aku bersandar di balik pilar menyaksikan keasyikan di lapangan sana. Lorong dan koridor sudah sangat sepi karena jam pelajaran masih berlangsung.

Mereka bersorak saat bola masuk ke ring lawan. Mereka tertawa saat salah satunya jatuh. Mereka terlihat gembira.

"Halo Shane. Apa yang kau lakukan di sini ?" seseorang bersuara di sebelahku. Aku menoleh dan kutemukan Bian berdiri di sampingku sambil memeluk banyak botol minuman. Bukankah ia tadi di kursi penonton ?

"Aku kalah suit dengan Mika. Jadi aku yang harus membelikan minuman untuk anak anak" ujarnya seolah tahu apa yang kupikirkan. Aku kembali menyandarkan tubuh dan kepalaku di dinding menatap orang orang bermain basket.

"Ngomong ngomong apa maksudmu dengan pabbo ?" tanya Bian dengan nada sinis.

"Pabbo itu artinya pintar cerdas cerdik bisa juga diartikan dengan tampan" jawabku datar tanpa mengangkat kepalaku dari dinding.

"KAU PIKIR AKU BODOH ??!!"

Aku mengangkat kepalaku. Bukan karena terkejut oleh teriakan Bian, tapi karena semua anggota basket itu menoleh menatap ke arah ku dan tentu saja Rain juga melakukan hal yang sama. Aku mengerjap.

"Kau memang pabbo" desisku merasakan jantungku kembali berdetak kencang saat menatap mata Rain. Aku waspada kalau-kalau Rain tiba tiba melompat ke arahku.

"Yak-" sebelum Bian menyelesaikan teriakannya(?) aku sudah berlari terbirit-birit meninggalkan tempat itu.

Menuruni tangga ke lantai satu itu sungguh melelahkan. Aku meletakkan tangan kananku di lutut sedangkan yang sebelah kiri memegang pegangan tangga saat aku berada di anak tangga terakhir.

"Hell-ha..hahh" aku menoleh ke belakang dan aku bersyukur Rain tidak mengejarku.

"Akh.." aku memekik saat lengan kiriku ditarik sehingga tubuhku mau tak mau berbalik dan menemukan Rain menatapku dengan tatapan yang mengerikan. Aku membeku dengan jantung yang berdetak tidak normal. Dia sangat cepat.

Aku meringis saat ia menekan kedua lenganku. Wajahnya mengeras menatapku. Tanpa peringatan ia mendorongku memasuki sebuah ruangan tak terpakai di belakang tangga dan menekanku di balik pintu.

"Kenapa lari ? Kenapa kau menghindariku ?" tanya dengan penekanan. Suaranya sangat rendah. Ia mengatakannya tepat di depan wajahku. Aku memejamkan mataku takut.

"Aku tak menghindarimu" lirihku.

"Konyol. Kau selalu lari saat melihatku apa itu bukan menghindar namanya ?"

"Tapi aku tidak-"

"Berhenti bicara omong kosong ! Jawab kenapa kau menghindariku" serunya mencengkram kedua pergelangan tanganku dan mengangkatnya ke atas dalam keadaan menyatu. Ia melakukannya hanya dengan satu tangan. Mengangkatnya tinggi membuatku harus menjijjit. Tubuh besarnya menekan tubuhku membatku takut.

"Aah.."

"Jawab Rae"

"Aaaaa"

"Rae!"

"AAAAAAAAAAhmfft-" aku melotot saat bibirnya dengan kilat menempel di bibirku. Tak lama ia melepaskannya dan menatapku yang mematung.

"Rae-"

"AAAAAAhmmmp-" aku memberontak saat Rain membekap mulutku dengan tangannya. Wajahku panas. Jantung berdetak tak karuan. Aku takut. Aku takut kalau aku kena penyakit jantung. Bebaskan aku dari Rain. Siapa pun.

Aku membuka mataku lebar lebar saat seorang memanggilku dari luar. Itu Raka.

"Jangan coba coba" bisik Rain di telingaku.

Author P.O.V

Karena ketakutan Shane seolah tak peduli ucapan Rain malah dengan brutal ia menendang pintu di balik punggungnya.

"Hmmffttt..."

Dengan cepat Rain menarik pinggang Shane dan duduk di sebuah kursi tua dengan pemuda mungil itu berada di atasnya. Di pangkuannya. Belum sempat mencerna apa yang terjadi, Rain menarik tengkuk Shane untuk dapat melumat bibir yang lebih mungil.

Tepat dengan terbuka pintu.

Raka mematung di sana. Tubuhnya menegang menyaksikan pergumulan bibir itu. Rain begitu cepat menggerakkan bibirnya dengan tangan di tengkuk dan satu lagi di balik seragam Shane. Sedangkan yang lebih kecil terlihat begitu kepayahan dan tak berdaya. Tangannya dengan putus asa meremas bahu Rain seolah olah mengatakan ia tidak mampu.

Rain melirik Raka datar. Dengan satu hisapan kuat ia melepaskan bibir Shane lalu menjilatnya sekilas. Sedangkan yang mungil langsung ambruk menjatuhkan kepalanya di bahu Rain dengan terengah.

Rain menoleh pada Raka seolah bertanya 'apa ?' Raka terlihat gugup. Ia tak dapat menyembunyikannya.

"A-aku tak bermaksud- yeah kau tahu maksudku" Raka dengan kikuk menggaruk tengkuknya.

"Maaf, aku.." Raka terdiam begitu Shane mengangkat kepalanya dan menatapnya. Wajah Shane bersemu merah dengan bibir terbuka dan nampak sedikit bengkak. Tak ada kata yang dapat menggambarkan perasaan Raka saat ini...


***

BoysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang