Part Tiga Belas

10.3K 938 7
                                    

***

        
"Mm...Rain—" aku mencengkram erat seragam bagian pinggangnya ketika ia mendengkapku di dada setelah memaparkan jaket besarnya di tubuhku. Tak peduli dengan keadaanku yang kotor, ia memelukku yang menggigil sambil mengumpat entah pada siapa. Dengan pasrah aku mengikuti langkah kaki besarnya yang menyeretku memasuki mobilnya.

Aku memejamkan mataku ketika mobil mulai berjalan sambil mengeratkan jaket rain di tubuhku. Aku benar benar kedinginan. Keadaanku yang kotor dan berlumpur membuatku tidak nyaman.

Aku membuka mataku yang langsung menatap rain di sebelahku. Ia hanya diam, menyetir dengan serius sesekali mengerutkan keningnya. Wajahnya nampak kaku dan tatapannya tajam.

Aku kembali mengeratkan jaket di tubuhku ketika udara semakin menusuk kulitku hingga terasa kebas.
        
"Uhh" eluhku sambil bergelung menahan dingin. Aku tak tahan. Aku merasakan mobil rain berhenti dan tak lama aku merasakan tubuhku melayang dengan hangat tubuh seseorang menguar di sekitarku.

Rain membawaku memasuki apartemennya yang sudah pernah aku masuki sebelumnya dan langsung membawaku ke kamar mandinya.

Rain mendudukanku di atas kloset yang tertutup. Aku tersentak ketika rain merengut jaketnya dan membuka kancingku cepat.
        
"A-ah..jangan—" teriakku mempertahankan bajuku. Seolah tuli, ia tak mengacuhkanku dan tetap berusaha membuka kancing seragamku.
        
"Jangan jangan !!!" jeritku menggeleng gelengkan kepalaku cepat sambil menekuk kakiku menghalanginya.
        
"Diamlah !" bentaknya menyingkirkan kakiku.
        
"Apa yang akan kau lakukan ?"
        
"Kau mau seperti ini terus ? Aku tak akan mau bertanggung jawab kalau kau sakit"
        
"A-aku bisa sendiri !" bantahku memeluk tubuhku sendiri. Ia terdiam.
        
"Oke !" ujarnya lalu mundur. Aku menatapnya enggan. "Tapi aku juga harus mandi" lanjutnya yang membuat mataku terbelalak ketika ia mulai membuka kancing seragamnya di depanku. Wajahku terasa panas ketika otot perutnya yang six pack mulai terlihat. Jantungku berdegup kencang ketika ia dengan tatapan datarnya mulai membuka ikat pinggangnya.
        
"J-jangan disini !" seruku gugup sambil menyembunyikan wajahku yang merona di kedua lenganku dengan posisi miring agak membelakanginya.
        
"Lalu di mana lagi ?"
        
"Aku yakin kau masih punya kamar mandi lain di sini"
        
"Kamar mandi dekat dapur rusak. Sedang direnovasi. Kau saja yang mandi di sana bagaimana ?"
        
"Enak saja !" aku cemberut dan memutuskan untuk menunggunya menyelesaikan ritual mandinya ketika suara guyuran air sower memasuki pendengaranku.

Aku termenung. Tak pernah ku bayangkan aku akan berada di dalam kamar mandi orang lain. Apalagi orang itu sedang mandi tepat di belakangku. DI BELAKANG PUNGGUNGKU. Tanpa busana.

Pandanganku tiba tiba menggelap. Mati lampukah ?
        
"Cepat mandi sana !" aku menyingkap handuk di kepalaku dan menatap punggung tegap rain yang telanjang dengan handuk putih melingkari pinggangnya, keluar kamar mandi ini. Mengerjap beberapa kali aku berlari menuju pintu dan cepat cepat menguncinya. Aku menghela nafas, aku berusaha menenangkan detakan jantungku yang menggila di rongga dadaku. Sialan.

***

        
"Umm Rain ? Kau tahukan baju ku basah dan kotor ?" rayuku pada Rain yang sibuk dengan laptopnya. Ia menoleh dan menatapku yang hanya menampakkan kepalaku di pintu kamar mandi.
        
"Aku tak tahu apakah pakaianku muat untukmu. Tapi itu sudah yang paling kecil yang aku punya" ujarnya menunjuk ranjangnya yang di atasnya terdapat sebuah kaos putih dan boxer abu abu. Dengan enggan aku keluar kamar mandi dengan handuk yang sebisa mungkin menutupi seluruh bagian tubuhku. Karna handuk rain yang besar dan lebar, aku bisa menutupi bahuku sampai lututku. Hei, sekecil itukah aku ? Dengan cepat aku menyambar pakaian itu dan berlari kembali memasuki kamar mandi saat rain kembali berkutat dengan laptopnya entah apa yang ia kerjakan.

Aku merutuk beberapa kali. Bajunya sangat besar. Kalau tidak ditahan, maka leher bajunya akan jatuh melolosi bahuku.
        
"Rain. Apakah tak ada baju lain ? Bajumu terlalu besar" intip ku lagi.
        
"Tidak ada. Sudah kubilang itu yang paling kecil. Kalau kau tak mau, ya tak usah pakai" jawabnya cuek tanpa menoleh. Aku cemberut. Dengan enggan aku keluar kamar mandi sambil memegangi kaos bagian bahu dan duduk di tepi ranjangnya.
        
"Apa yang kau kerjakan ?" tanyaku.
        
"E-mail dari temanku" jawabnya tanpa menoleh. Aku membulatkan mulutku.
        
"Apa ada hal yang menyenangkan di sini ?"
        
"Tidak ada"
        
"Apa tak ada penghangat ruangan ?"
        
"Pakai saja selimut" aku merengut mendengar jawaban rain.
        
"Aku haus"
        
"Ambil di dapur !"
        
"Aku lapar"
        
"Sisa sarapanku tadi masih ada"
        
"Ambilkan !" lirihku.
        
"Ambil saja sendiri !"
        
"Hiks..." aku membenamkan tubuhku di balik selimut besar rain yang menutupi seluruh bagian tubuhku dari kaki sampai kepala. Aku tidak suka. Aku benci.

Aku tersedu sedu dan bergelung rapat ketika merasakan tarikan pada selimut yang aku pakai. Tubuhku tertarik bangkit, terduduk dan selimut yang menutupi kepalaku terlepas. Aku menangis di dada rain sambil memukuli punggungnya kesal.
        
"Kenapa menangis ?" tanyanya mengusap kepalaku.
        
"Kau tak men-dengarkankuh hukss—"
        
"Ssst. Sudah. Aku tak akan mengabaikanmu lagi" ujarnya lembut, tapi itu tak membuatku menghentikan tangisanku.
        
"Sudah. Tenanglah" aku meremas punggungnya sambil menggeleng geleng saat ia mengusap kepala dan punggungku.
        
"Kau laparkan ? Akan kuambilkan makanan"
        
"Tidak mau yang huks sisaa" kataku mengusap mata kananku.
        
"Ya ya. Aku akan memasakkan sesuatu untukmu.Sekarang diam" tegasnya memberi satu kecupan di kepalaku. Aku yang masih tergugu di dekapannya berusaha untuk menghentikan tangisanku. Rain kembali membaringkanku di kasurnya.
        
"Tunggu disini. Sekarang masih hujan" ujarnya lembut sambil mengusap sisa sisa air mata di pipiku. Aku menatapnya dengan wajah sembabku. Ia menyelimutiku sampai dagu.
        
"Kau mau sup ?" tanyanya. Aku menggangguk dengan wajah cemberut. Ia tersenyum.
        
"Aku akan membuatkannya" ujarnya lalu mengecup hidungku yang terasa kebas sehabis menangis lalu beranjak keluar kamar.

Aku menatap langit langit kamar rain. Mata, hidung, pipi dan bibirku terasa kebas dan bengkak. Aku menangis di pelukan rain ? Yang benar saja. Tapi itukan salahnya. Ia mengabaikan dan mengacuhkanku. Aku paling benci di abaikan. Tidak suka di acuhkan. Itu membuatku merasa menjadi sosok 'pengganggu'.

Tak lama, aku merasa sangat mengantuk. Mataku terasa berat. Di luar masih hujan lebat, tambah lagi kasur empuk dan selimut hangat rain membuatku sangat nyaman. Menghela nafas, aku mulai memejamkan mataku dan tenggelam di balik selimut besar rain.

Antara sadar tidak sadar, aku mendengar suara bel yang berbunyi terburu buru.

Ting tong. Ting tong.
Ting tong. Ting tong.
Ting tong. Ting tong.

     
        Ahh masa bodo.


***

BoysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang