Part Delapan

8.7K 848 4
                                    

       
***

"Apa yang kukatakan tadi padamu Rae ? Hm ?"
  
Deg

***

Notebook kecil itu terjatuh begitu saja. Tubuhku menegang seiring bertambah beratnya deru nafas seseorang tepat di tengkukku.
        
"Apa saja yang sudah kau lihat huh?" 
        
"U-uh" aku mulai gelisah berusaha melepas belitan tangannya di perutku. "Rain lepas !"
        
"Katakan !" ujarnya mulai mengendusi tengkuk dan leherku.
        
"A-aku hanya hiyaaa—
        
Bukannya mendengarkanku dia malah semakin kurang ajar.
        
"Berhenti ! BERHENTI BRENGSEK !!" teriakku emosi. Ia berhenti dan suasana hening seketika.
        
"Brengsek ! Kau brengsek !. Bajingan hiks–" raungku memberontak. Ia tak bergeming.
        
"Lepas. LEPASKAN !!!" jeritku lagi. Ia mempererat pelukannya membenamkan kepalanya di leherku. Aku kembali meraung raung minta dilepaskan. Demi tuhan seumur hidup aku tidak pernah dibeginikan. Apalagi oleh seorang laki laki sama sepertiku. Apa yang di pikirkan olehnya ? Aku meringkuk di sudut ruang dekat rak ketika ia melepaskanku. Ia memandangiku dalam diam.
     
"Kenapa begitu saja menangis ?" tanyanya biasa. Aku marah. Ia menganggap semua ini biasa.
        
"Uhh kau pikir aku sama sepertimu  yang tidak merasa bersalah sama sekali berbuat jahat" ia mengernyit ketika mendengar ucapanku.
        
"Berbuat jahat ? Kau pikir itu perbuatan jahat ?" tanyanya geli.
        
"Ten-tentu saja aku bisa saja melaporkanmu ke polisi karena melakukan pelecehan seksual" seruku berdiri. Ia terkekeh.
        
"Apa polisi akan percaya ? Apa salah aku menyentuh kekasih ku sendiri ? Kau bukannya di bantu malah akan ditertawakan !" ujarnya geli. Aku terbelalak.
        
"Ke-kekasih ?" aku terbata. Ia tersenyum licik. "AKU BUKAN !!" jeritku marah.
        
"Bukannya 'bukan' tapi 'belum', setidaknya untuk saat ini" ia menyeringai setan.
        
"Uh aku mau pulang !" seruku tapi ia tak mendengarkannya malah tersenyum.
        
"Ada baiknya kau mengatasi perutmu dulu !" ia menunjukan kantong plastik hitam yang tampak penuh. Bahkan baunya pun tercium. Ukh wanginya saja sangat menggiurkan.
        
"Aku tidak lapar !" elakku.
        
"Sayangnya, perutmu lebih jujur" ia terkekeh geli kemudian berbalik pergi sementara aku menyembunyikan wajah ku yang merona malu karna barusan perutku berkhianat padaku.
   
Sialan.

***

"Jhangwan memamdagiku telush !" kesal ku pada rain yang memandangku tak berkedip. Ia berkedip beberapa kali. Kemudian tersenyum. Sambil menggeleng, ia terkekeh pelan.
        
"Apwa yang lucu ?!" bentakku.
        
"Kau seperti ibu hamil"
        
"SIALAN !!!" pekikku yang disambut tawa rain yang menggelegar.
        
"Aku mawu fhulang !" sungutku merajuk.
        
"Habiskan dulu makananmu ! Terutama yang ada di mulutmu itu. Itu sempat menyembur tadi" ujarnya menahan tawa. Uggh. Sialaaan. Dengan wajah merona menahan malu, aku cepat cepat menelan makanan yang ada di mulutku yang semula penuh dan menyuap sisanya cepat. Memalukan.
        
"Aku mau pulang !" pintaku setelah meminum air putih di sampingku.
         
"Kau harus menungguku selesai jika ingin ku antar pulang" jawab rain santai sambil menyuap makanannya.
        
"Kau harus mengantarku sekarang !" rengekku tanpa kusadari. Ia terdiam.
        
"Kalau begitu aku tak akan mengantarmu pulang ! Pulang saja sendiri, taksi masih banyak di jalanan. Lagi pula sekarang masih jam 7" katanya kejam.
        
"Kau yang membawaku kemari kau juga yang harus mengantarku pulang !!" sewotku. "Bisa saja ada orang jahat nanti walaupun masih jam 7 mala— tunggu jam 7 malam ?" tanyaku menyentuh bibirku. Kemudian aku terbelalak lebar. "JAM 7 MALAM ??!!!" jeritku berdiri dengan menggrebrak meja. Rain melihatku aneh.
        
"Ada apa dengan 'jam 7 malam' ?" tanyanya heran. Aku menatap horor dengan mata melotot. Aku melupakan hal penting yang menyangkut kewarasanku.
        
"Di mana ponselku ?" tanyaku tanpa menghiraukan rain sambil meraba tubuhku. Segeraku berlari ke kamar rain saat tak menemukan ponselku. Aku menghidupkan ponselku yang ternyata mati dengan was was. Dan menggigil ketika mendapatkan 34 kotak masuk dan 83 panggilan tak terjawab dengan kontak Lee Hyera.
        
"Ada apa ?" Rain bertanya di depan pintu masuk kamarnya. Aku menatapnya memohon. Ia semakin mengernyit tak mengerti.
        
"Ada apa Tae ?" tanyanya lagi. Tanpa menghiraukan Rain, aku lebih memikirkan hyera saat ini. Bagaimana bisa aku melupakan Hyera di bandara ? Aku terperanjat ketika ponselku berdering nyaring tanda ada panggilan masuk. Panik langsung menyerangku ketika kuketahui itu adalah Hyera.
        
"Ray aku harus bagaimana ?" tanyaku pada rain dengan memelas melupakan bahwa tadi aku mengatakan bahwa aku tak akan memanggilnya dengan nama itu lagi. Ray atau Rain terdiam. Kemudian dengan langkah lebarnya menghampiriku dan merebut ponselku dan menjawan panggilan itu.
        
"Hyaa jangan !!" pekikku mencegahnya tapi ia segera membekap mulut ku dengan tangan kanannya yang lebar sehingga kepala belakangku melekat di dadanya. Sementara tangan kirinya menjawab telfon dari hyera.
        
"Siap—"
        
"SHAAAAANEE"

***


Menerima segala komentar dan kritikan.

Salam Author

BoysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang