***Aku terdiam dan membiarkan Hyera mengoceh dengan mulut cerewetnya di sampingku.
"Paman Lee, langsung pulang saja" pintaku tanpa menoleh.
"Baik tuan"
"Shane, kau bilang mau menemaniku jalan jalan" protes Hyera.
"Aku tidak pernah berkata iya Hyera"
"Tapi aku mau jalan jalan~" rengek Hyera.
"Kalau begitu pergi saja sendiri" ujarku ketus.
"Uhh" Hyera menutup wajahnya dan mulai menangis.
"Jangan cengeng"
"Aku tidak menangis" seru Hyera menunjukan kembali wajah kesalnya.
"Aku tak bilang kau menangis ngomong ngomong" ujarku mengejek.
"Ugghh..." rengek Hyera menghentak kakinya. Aku lebih memilih untuk memikirkan hal tadi daripada mendengar kecerewetan Hyera.
"Mau kemana ?" aku berhenti ketika suara dingin itu menginterupsiku.
"Kemana lagi. Aku mau pulang" balasku.
"Kau masih berhutang padaku kalau kau lupa"
"Oh aku tak ingat pernah berhutang padamu mister." jawabku acuh.
"Well. Kami akan membawakan minuman dingin dan camilan untuk bersantai. Jadi, stay here okay ?" Trey memotong percakapan ku dengan Rain dan pergi keluar meninggalkanku dan Rain berdua.
"Aku sudah ditunggu." kataku hendak beranjak.
"Ditunggu kekasih, heh ?" ujar Rain sarkas. Aku terdiam, memandangnya dengan kening berkerut.
"Kau mengatakan Hyera atau paman Lee ? Pelayanku ?" tanyaku dengan nada mengejek. Ia diam dengan ekspresi yang sama.
"Hyera bukan kekasihku. Aku sudah mengatakannya tadi" lanjutku.
"Jangan pulang dengannya. Aku akan mengantarmu" ujarnya datar yang membuat dahiku berkerut bingung. Apa aku tak salah dengar ?
"Tidak usah. Hyera serumah denganku. Dia kemari juga untuk menjemputku"
"Sudah sejauh mana hubungan kalian ?" tanyanya sambil tertawa pahit.
"Hyera sahabatku. Dan kami sangat dekat. Ia jauh dari Korea. Orang tua kami bersahabat. Dia hanya berlibur di sini"
"Tetap di sini, biar aku yang mengantarmu pulang" pintanya lemah.
"Ada apa denganmu ? Aku tak mengerti"
"Dia bukan perempuan yang baik. Percaya padaku" ujarnya membuatku menatapnya kesal.
"Kau tak tahu apa apa. Berhenti ikut campur dalam urusanku seolah olah kita saling mengenal. Kau bukan siapa siapaku. Aku tidak pernah merasa mengenalmu sebelumnya. Aku tak bisa dekat dekat dengan orang asing" ujarku marah dan berlalu pergi. Berusaha mengabaikan rasa nyeri di dadaku. Mengabaikan tatapan terluka yang Rain tunjukan padaku, dan teriakan marah Rain serta pecahan kaca yang menggema di koridor yang sepi saat itu.Aku tak mengerti. Dan aku tak mau mengerti tentang rasa sakit di rongga dadaku. Aku hanya berharap itu bukanlah hal yang seharusnya tak pernah ada.
"Tuan. Sudah sampai" aku tersentak ketika suara paman Lee masuk pendengaranku.
"Kau baik baik saja shane ?" tanya Hyera menyentuh bahuku.
"Yeah. Aku baik." jawabku lesu dan keluar mobil lalu masuk rumah.
"Baby Rae. Waeyo baby ? Kau terlihat pucat." tanya oemma yang menyambutku. Ia menangkup kedua pipiku.
"Aniya Oemma. Gwenchana." jawabku lemah dan memeluk Oemmaku. Untuk sejenak aku merasa tenang, melupakan hal yang kupikirkan beberapa saat lalu.
"Kau terlihat aneh baby Rae. Tak biasanya kau manja begini" ujar oemma lagi sambil mengelus kepalaku. Aku hanya menggeleng.
"Hanya ingin saja" jawabku tanpa mau mengangkat kepalaku.
"Ya sudah. Ganti bajumu. Oemma akan buatkan sesuatu untukmu dan Hyera okay ?" tawar oemma. Aku menggangguk dan tersenyum. Oemma balas tersenyum dan mengecup dahiku sebelum beranjak kedapur.
"Ahjuma. Hyera akan membantu" teriak hyera mengikuti ibuku ke dapur. Aku hanya tersenyum dengan suasana rumahku yang tambah ramai dengan kecerewetan Hyera.***
"Shane. Kau tidak diantar ?" tanya Hyera saat aku akan berangkat ke sekolah.
"Tidak"
"Kenapa ?"
"Karena aku tak mau diantar" jawabku sekenanya. Hyera memanyunkan bibirnya.
"Nanti aku jemput lagi ya ?" tawar hyera antusias.
"No ! Jangan jemput aku lagi. Aku...aku akan ke toko buku nanti" tolakku sedikit berbohong.
"Aku juga ingin ke toko buku~"
"Tapi aku pergi dengan temanku Hyera. Kau tak bisa ikut !" tolakku lagi. Air muka hyera berubah.
"Apa temanmu itu yang menjawab teleponku waktu itu ?" tanyanya tajam. Aku mengernyit tak lama merona ketika mengingat kejadian di apartemen rain waktu itu. Aku segera menggeleng gelengkan kepalaku. Kenapa aku harus memikirkannya ?
"Shane !" aku tersentak ketika Hyera memanggilku keras. Dahiku mengerut ketika melihat wajahnya yang beraut marah. Ia terlihat murka. Aku bergidik melihatnya
"Sudah. Aku berangkat. Oemma appa aku berangkat !!" pamitku pada orang tuaku juga untuk menghindari hyera lalu melangkahkan kakiku meninggalkan rumahku.***
Di jalan, aku termenung. Aku tak mau lagi bertemu dengan Rain setelah kejadian kemarin. Aku tak menyangka begini jadinya. Aku tak pernah berharap akan bertemu rain. Aku tak pernah berharap akan ditolongnya. Aku tak pernah berharap bisa berbicara dengannya. Dan aku tak pernah berharap berkenalan dengannya. Semuanya terjadi begitu saja.
Aku berhenti tiba tiba ketika setetes air jatuh di hidungku. Aku memandanginya.
"Hujan ?" aku bertanya pada diriku sendiri lalu menegadah ke atas.
"BENAR BENAR HUJAAAANNN !!!" jeritku berlari ketika hujan dengan derasnya mengguyur jalanan.Percuma. Percuma aku berlari. Sekejap aku sudah basah kuyup. Sejenak, aku menyesali memilih untuk jalan kaki tadi. Dan sekarang, hujan. Padahal cuacanya tadi sangat bagus. Sial sekali.
Dengan lesu, aku memutuskan untuk lanjut ke sekolah dan membeli seragam baru di tata usaha nanti. Menunggu hujan redapun percuma. Hujannya pasti akan berhenti lama.
Menempuh hujan, kubiarkan tubuhku basah kuyup. Toh aku memang sudah basah dari tadi. Di jalan, sebuah mobil berwarna silver mewah berhenti di sampingku. Kacanya terbuka, menampakkan sosok cantik dan manis tersenyum padaku. Bukankah dia Clara ?
"Hai. Kau yang kemarin kan ?" sapanya agak keras. Aku mengangguk. "Kau tidak naik kendaraan atau setidaknya bawa payung ?"
"Aku tak tahu kalau akan hujan !" balasku berteriak. Ia tersenyum lagi.
"Oh begitu. Apa boleh buat." ujarnya tersenyum lagi. "NIKMATI PENDERITAANMU !!!" teriaknya dan melesat dengan cepat membuat genangan air dan lumpur di sekitar mobil itu menyembur ke tubuhku.Aku menganga. Masih berusaha memproses apa yang terjadi. Aku menatap mobil Clara yang mulai menjauh dariku.
"WHAT THE FUCK ??!!" teriakku mamaki perempuan iblis itu. Ku kira ia akan memberiku tumpangan, ternyata begini.SIALAN !!!
Apa salahku padanya ? Aku tak pernah berurusan dengannya, bicara saja tidak pernah.
TAPI KENAPA BEGINI ???
Hikss oemmaaa.
Selagi menangisi keadaanku, sebuah mobil sport hitam mengkilap yang tak kalah mewahnya berhenti lagi di sampingku. Aku menatap mobil itu sangsi.
Apakah ini mobil teman si perempuan iblis ?
Apakah ia akan melakukan hal yang sama ?
Atau, apakah ia akan menabrakku ?
Apakah ia akan menculikku ?
Apakah apakah apakah apakah apakah...
Aku membeku ketika tubuh tinggi itu berjalan mantap dengan tatapan tajamnya kearahku.
"Bodoh !" walaupun di tengah hujan deras, aku dapat mendengar gumamannya yang sedang memaparkan jaket besarnya di tubuhku.
"Rain—"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Boys
Teen Fiction"Aku mendengar sesuatu tadi, di sini" "Aku bisa saja membuat bel berbunyi sekarang atau bahkan sebelum kau datang" "Masih mengelak. Lalu kau mau mengganti dengan apa ? Menjual diri ? Bitch !" "AWAS !!!" "Aku takut darah" "Pengecut !" "Aku muak d...