Shane P.O.V
Aku mengernyit lemah saat mencium bau obat obatan yang khas. Sekelilingku berwarna putih dan hijau yang masih buram. Tak perlu ditanya lagi, ini pasti rumah sakit.
Tidak ada siapapun di sini. Padahal aku sangat haus.
Cekklek
Aku menoleh lemah ketika suara pintu yang dibuka mengalihkan perhatianku. Dia masuk tanpa menyadari kesadaranku.
Aku memperhatikannya yang berdiri di sampingku mengecek ponselnya setelah meletakkan sekeranjang buah di nakas. Ia menghela napas, menyimpan ponselnya dan menoleh menatapku yang juga menatapnya. Tak ada yang bereaksi. Hanya mata yang saling menatap.
Rautnya berubah sendu dan sarat akan kelelahan setelah satu kali kedipan. Tangannya terulur mengusap pipiku.
"Kau sadar" lirihnya. Aku mengerjap lemah.
"H-haus.." ujarku serak. Seakan tersadar, ia segera meraih segelas air putih di nakas yang memang disediakan rumah sakit. Ia membantuku mengangkat kepalaku untuk meminum air itu.
"Bagaimana perasaanmu ?" tanyanya menyandarkan samping tubuhnya di ranjang setelah meletakkan gelas yang isinya sudah tinggal setengah.
"Oemma..a—ppa.." ujarku. Ia terdiam. Dengan gerakan pelan mendekat padaku. Sikunya bertumpu di sisi kepalaku dengan jari yang menyisir rambutku dari dahi ke belakang.
"Jawab Rae" ujarnya tajam. Aku meringis. Bukan karena sakit, melainkan takut akan tatapannya itu. Aku menggeleng lemah.
"Kau membuatku paranoid akan tingkahmu itu. Dan sekarang kau berharap aku akan melepaskanmu, hm ?" ujarnya lagi yang seperti bisikan setan di telingaku. Ia mencengkram rambutku belakangku. Tidak terlalu kuat, namun mampu membuatku sedikit mendongak. Aku ingin berteriak, tapi sesuatu menghalangi tenggorokanku.
"Kurasa kau tak membutuhkan ini lagi" dengan pelan ia melepaskan selang pernapasan yang sebelumnya berada di dalam hidungku. Aku meringis lagi.
Sebelum aku sempat protes ia menempelkan bibirnya di atas bibirku. Aku kaget. Hell, tentu saja. Ini ciuman pertamaku. DENGAN SEORANG LAKI LAKI !!Aku mengerang protes ketika ia tak kunjung melepaskan bibirnya, malah semakin menekan bibirku dan mulai melumatnya. Tangannya yang berada di rambutku semakin mencengkram kuat sementara tangan yang satu lagi menahan samping kepalaku. Ugh, ini pelecehan.
Aku memukuli dadanya saat aku merasakan sesak di dadaku. Terakhir, ia menghisap bibirku kuat kuat sebelum melepaskannya sehingga menimbulkan suara decakan yang keras.
"H-hah..." aku mendongakkan kepalaku berusaha mengisi paru paruku sebanyak banyaknya.Laki laki itu, Rain menatapku lama lalu mengusap bibirku dengan ibu jarinya. Wajahku memanas. Astaga air. Di mana air?
"Its my first kiss. You're jerk" makiku memukuli dadanya kesal.
"And you're stupid boy" balasnya datar. Aku terdiam.
"Apa maksudmu ?"
"Bagaimana tidak bodoh. Kau hampir membunuh dirimu sendiri. Sialan !!" makinya.
"Kenapa malah kau yang marah padaku" protesku.
"Tentu saja aku marah. Ini menyangkutku. Kau yang begini aku yang menggila" serunya. Jantungku berdegup kencang.
"Aku tidak mengerti. Kau aneh. Menjauh dariku" seruku berusaha mendorongnya.
"Apa kurang jelas ? Apa kau tidak bisa memahaminya ? Apa perlu ku perjelas lagi ?" tanyanya tak bergeming. Aku terdiam. "Dasar tidak peka" makinya dan menarik tubuhnya menjauh dariku. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan ponselnya.
"Hallo, paman. Kabar baik. Shane sudah sadar" ujarnya di telepon. Aku menatapnya lamat lamat. Apa maksudnya tadi ? Secara tidak langsung ia mengatakan ia...aku tak ingin berprasangka dulu. Itu sangat tidak mungkin. Hei, apa aku baru saja berharap ? Tapi kenapa ia menciumku ? Argggghh.
"Orang tuamu akan segera datang. Aku pergi" suara Rain. Seperti biasa, datar. Ia berbalik.
"Uhh Rain" panggilku. Ia berhenti, lalu menolehkan kepalanya tanpa membalikkan tubuhnya. Ugh kenapa aku memanggilnya ? Mendadak aku gugup.
"Bi-bisakah kau...mm..bi-bisakah.."
"Bicara yang jelas"
"Aku tidak mau sendiri" lirihku. Rain terdiam.
"Lalu kau mau apa ?" tanyanya membalikkan tubuhnya. Aku gugup lagi.
"Itu..aa..uhm..—" aku gelisah. Ingin mengatakannya tapi terlalu gengsi. Tatapannya membuatku gugup.
"Katakan dengan jelas. Kau mau apa ?" Rain melangkahkan kakinya mendekat ke ranjangku. Di setiap langkahnya kecemasanku makin bertambah.Aku memalingkan wajahku ketika ia duduk di samping ranjangku, merendahkan tubuhnya dan memenjarakanku di kedua tangannya.
"Kau ingin aku tetap tinggal ?" ia berbisik di pipiku karena wajahku yang berpaling kesamping. Napasnya terasa panas di kulitku. Ia terlalu dekat.
"Rae" desisnya. Dengan pelan aku kembali menghadap wajahnya. Tatapannya tetap tajam seperti biasa.
"Urmh.." dengan wajah semerah tomat aku mengangguk malu. "Sa-sampai orang tuaku datang" sambungku cepat. Tatapannya melembut.
"Kalau kau menginginkan sesuatu bicaralah dengan jelas. Aku akan tetap di sini" ujarnya menarik dirinya menjauh. "Sampai orang tuamu datang" sambungnya menggedikkan bahunya.***
Author P.O.V
Rain segera menarik tangannya dari pipi Shane yang terlelap ketika pintu tiba tiba terbuka.
"Rain. Shane sadar ?" tanya Irene cepat. Tapi ia menemukan putranya masih dalam keadaan tak sadarkan diri.
"Dia sudah bangun bibi. Tapi ia tertidur lagi. Mungkin menunggu kalian terlalu lama" jawab Rain sopan.
"Gara gara kau" Irene memukuli lengan Yoono kesal.
"Kenapa salahku. Kita hanya isi bensin sebentar. Kalau bensinnya habis di tengah jalan kita akan semakin terlambat" elak Yoono.
"Kau saja yang bodoh. Mobil mewah tapi kurang bensin" dengus Irene.
"Yak !"
"Oemma...appa..." suara yang serak itu sukses menghentikan perdebatan antara suami dan istri tersebut. Irene terharu saat melihat putra kecilnya mengusap usap matanya lucu. Putranya kembali."Uh baby Rae" Irene mendekap kepala Shane sayang.
"Lama sekali" sungut Shane.
"Katakan saja pada appamu yang bodoh itu" balas Irene mendelik pada Yoono.
"Aku tidak bodoh chagi. Aku sudah mengatakannya tadi" Yoono berujar rendah penuh kesabaran. Rain tertawa kecil.
"Paman, bibi. Karena kalian sudah ada di sini, kurasa aku juga harus pergi" ujar Rain menghentikan cekcok keluarga itu.
"Kenapa terburu buru ?" tanya Irene.
"Aku harus segera kembali ke sekolah bibi" jawab Rain tersenyum. Shane pun terkesiap baru menyadari Rain masih berpakaian seragam sekolah.
"Hm. Terimakasih Rain. Berhati hatilah !" ujar Irene tersenyum dan dibalas senyuman pula. Rain pun berlalu pergi setelah melirik Shane sekilas.
"Oemma berapa lama aku di sini ?" tanya Shane setelah Rain pergi.
"Cuma sehari chagi. Kau buat oemma khawatir" Irene mengelus kepalanya.
"Aku...kenapa ?" tanya Shane pelan. Mengingat kembali kejadian sebelum ia ada di sini.
"Dokter bilang, karena baby Rae demam, saluran pernapasanmu jadi terganggu. Apalagi kau menangis kemarin. Baby Rae jadi sesak napas" jelas Irene mulai mengupas apel yang dibawakan Rain.
"Appa pikir sesuatu yang buruk terjadi" Yoono menyambung, mendekat dan memeluk anak itu.
"Appa sih. Jahat" sungut Shane memukul bahu Yoono kesal.
"Mian. Mian. Appakan harus bekerja. Kalau ditahan terus bisa bisa appa seharian di rumah"
"Ya ya. Pekerjaan lebih penting" sindir Shane menyandarkan kepalanya di bahu Yoono. Yoono tertawa kecil, dengan gemas mengecupi kepala Shane yang merengut lucu.Sisa hari itu keluarga Kim habiskan dengan damai. Bahagia itu sederhana. Tidak perlu kemewahan. Tidak butuh kakayaan. Cukup saling melengkapi dan menyayangi, kebahagiaan mudah didapat.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Boys
Teen Fiction"Aku mendengar sesuatu tadi, di sini" "Aku bisa saja membuat bel berbunyi sekarang atau bahkan sebelum kau datang" "Masih mengelak. Lalu kau mau mengganti dengan apa ? Menjual diri ? Bitch !" "AWAS !!!" "Aku takut darah" "Pengecut !" "Aku muak d...