Part Tujuh Belas

9.8K 837 3
                                    

Flashback


"Apa yang ingin kau bicarakan ?" tanya Rain bersedekap dada menatap Clara yang baru saja menyesap cappucino hangatnya.

"Rain. Ini tentang hubungan kita" Clara menghela napas. "Aku ingin semuanya dipercepat" lanjutnya.

"Tidak akan dipercepat. Dan itu tidak akan terjadi" jawab Rain.

"Kenapa tidak bisa terjadi ? Tentu saja itu akan dilaksanakan. Kita sudah sepakat"

"Kita ? Bukan kita. Tapi kau. Orang tuaku dan orang tuamu. Tanpa aku kalau kau lupa" jawab Rain tajam.

"Semua sudah direncanakan Rain. Kumohon aku tak mau menanggung semuanya. Kau pasti juga begitu. Bahkan orang tua kita" ujar Clara lesu.

"Ini salahmu sendiri. Kau yang harus mempertanggung jawabkan semuanya. Dan seharusnya bukan aku yang ada di posisi ini" jawab Rain. Clara menunduk.

"Seharusnya bukan aku yang melakukannya. Kenapa dia tidak bangun dan biarkan aku bebas. Sekarang aku yang dikorbankan" ujar Rain tanpa ekspresi. Clara hanya diam. "Dan hal itu tidak akan pernah terjadi" lanjutnya.

"Tidak Rain. Kita harus tetap melakukannya" seru Clara. "Kau tidak akan mengecewakan banyak orang kan ? Orang tuamu ?"

"Kau pikir aku peduli. Tunggu saja dia bangun. Dan kau harus bersabar untuk itu. Atau jangan jangan kau tidak pernah benar benar mencintainya ?"

"Aku mencintaimu" ungkap Clara.

"Aku tidak tanya kau mencintaiku atau tidak. Aku tanya, kau hanya menggunakannya sebagai alatmu ?" tanya Rain. Clara terdiam membuat wajah susah.

"Aku pikir dengan rencana ini aku akan lebih dekat denganmu dan keluargamu. Aku pikir rencana ini juga akan batal sebelum dilaksanakan karena kau tahu bagaimana kondisi Randy yang tak memungkinkan untuk bertahan. Waktu tidak dapat berhenti. Dan Randy masih bertahan walau kita tak tahu akan kapan ia akan kembali-"

"Intinya kau hanya memanfaatkan Randy yang mencintaimu ?"

"Aku hanya ingin bahagia. Dan itu hanya denganmu. Karena aku mencintaimu Rain" seru Clara agak keras. Beruntunglah karena ruangan ini adalah ruangan VIP di mana hanya ada mereka berdua di dalamnya.

"Tapi aku tidak pernah mencintaimu. Rasa tertarik saja tidak. Aku sudah mempunyai seseorang yang aku cintai-"

"MAKA DARI ITU AKU INGIN PERTUNANGAN KITA DIPERCEPAT" teriak Clara dengan mata melotot. "Bahkan sekarang ada bocah tidak jelas itu di dekatmu. Jangan menjadi pasangan menjijikan seperti sahabatmu itu. Aku tidak akan rela Rain. Kau membawa nama keluargamu"

"Sayangnya aku mencintai bocah tidak jelas seperti yang kau katakan itu. Kau tidak rela, itu bukan urusanku. Jangan coba coba menyentuhnya. Dan aku tidak peduli dengan nama keluarga" balas Rain seraya bangkit.

"Apa bagusnya seorang laki laki ? Bahkan kau juga laki laki" tanya Clara yang masih tidak terima.

"Aku tidak peduli !"

"Kau yakin ia juga sama denganmu. Aku melihatnya bersama seorang perempuan beberapa hari lalu" Clara mencoba memanasi.

"Aku akan meyakinkannya-"

"Tapi aku tak yakin ia akan menerimamu saat ia tahu yang sebenarnya. Sekalipun ia juga menyukaimu" Rain menoleh menatap Clara yang menyeringai padanya. Diam diam Rain menyetujui kalimat Shane tadi pagi yang mengatakan Clara itu 'nenek lampir' karena saat ini Clara benar benar mirip nenek lampir yang pernah ia tonton di televisi.

Tanpa berkata apapun Rain pergi meninggalkan Clara seorang diri di sana tanpa menghiraukan ancaman dan sumpah serapah dari gadis itu.

Flashback Off


"Ayo makan siang di kantin" suara nyaring itu sungguh membuat Rain muak.

"Aku akan pergi" jawabnya bangkit.

"Kemana ? Kau bolos ?" tanya Clara.

"Aku akan menjenguk calon 'istriku'" jawab Rain menyeringai setan melihat Clara melotot.

"Rain. Ingat pembicaraan kita kemarin. Rain. Dengarkan aku. Hei. Jangan ke sana. Raiiin-" Clara mendengus kesal menghentak hentakkan kakinya ke lantai. Ia menatap galak kepada Bian yang tertawa terbahak bahak mengejeknya.

"Rasakan. Ahahahahaa"

"Dasar homo sialan" maki Clara dan meninggalkan tempat itu.

***


"Sabar Chagi. Appa sedang membuatkan bubur untukmu"

"Tidak mau bubuur~" rengeknya lagi. Sang ibu hanya tersenyum dan memberikan satu kecupan kecil di dahinya.

"Buburnya siap"

"Dan juga susu"

Irene kembali tersenyum melihat suaminya membawakan senampan bubur bersama Hyera yang membawakan segelas susu stroberi bersamaan. Nampak sangat kompak.

Shane merengut menyembunyikan wajahnya yang kemerahan di bantal.

"Ayo makan sayang" bujuk Irene. Shane tak bergeming.

"Shane buburnya sangat enak. Pakai daging dan potongan stroberi" ujar Hyera yang langsung disambar Shane.

"Mana ada bubur pakai stroberi !!!" serunya menyanggah lalu menggembungkan kedua pipinya.

"Hah ? Tidak ada ya ? He he" Hyera tersipu malu mendengar tawa dari Yoono dan Irene.

"Appa harus bekerja. Makan yang-"

"Appaa~"Shane yang tiba tiba merengek membuat Yoono mengernyitkan dahinya dan menatap Irene yang juga menatapnya. Pria dewasa itu menghela napas.

"Cepat sembuh ya Chagi" katanya mengecup dahi Shane yang terasa hangat dan segera keluar dari kamar anak itu sebelum ia tak di perbolehkan pergi.

"Appaa hiks hiks" isak Shane sedih menatap Yoono yang bahkan sudah menghilang dari pandangannya. Irene memeluknya dan mengecupi pucuk kepalanya sayang. Shane memberontak tapi Irene langsung membalik tubuhnya memeluknya dan mengecupi dahinya yang malah terasa semakin panas.

"Astaga. Beginilah jadinya kalau tak ada Yoono. Hyera, tubuhnya makin panas" lirih Irene mendekap kepala Shane.

"Yoono Ajusshi libur saja hari ini ahjumma" ujar Hyera yang tak tega menatap Shane. "Kasihan Shane"

Shane mulai memukul mukul dada dan bahu Irene lemah. Irene menoleh dan terkejut melihat wajah putranya memerah seluruhnya. Air mata membasahi wajahnya dengan mulut yang terbuka menutup. Shane tidak mengeluarkan suara. Ia hanya mencengkram lengan Irene sambil menendang nendang sembarangan seperti tersedak sesuatu. Irene panik. Hyera memekik berlari keluar kamar untuk kembali memanggil Yoono sambil berdoa dalam hati semoga Yoono belum berangkat.

Irene menangis. Ia panik. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Otaknya blank dan tak bisa berpikir apa apa. Sekarang ia hanya takut. Takut putra kecilnya meninggalkannya.

"Astaga astaga Rae. Baby Rae. Dengarkan Oemma sayang. Hei. Baby Rae. Ya Tuhan" dengan gelisah Irene menepuk nepuk pipi Shane yang memerah dengan tubuh kejang tak karuan. Tubuhnya melengkung dengan dada bergerak tak beraturan.

Irene mendongak ketika pintu menjeblak terbuka. Di sana, bukan suaminya yang datang, melainkan seorang pemuda tinggi berseragam sekolah mendekat padanya dengan Hyera di belakang pemuda itu.

"Aku akan membawanya ke rumah sakit" ujar pemuda itu. Irene mengangguk membiarkan pemuda atau teman sekolah Shane itu mengangkat tubuh Shane yang mengejang dan buru buru keluar rumah.

"Hyera. Ahjumma mohon. Tetaplah di sini dan hubungi Yoono ajusshi untuk menjemputmu ke rumah sakit. Arra ?" pinta Irene dengan linangan air mata memegangi bahu Hyera yang bergetar. Hyera mengangguk dan Irene memeluknya sekilas. Pemuda itu membukakan pintu untuk Irene dan segera menduduki kursi kemudi menuju rumah sakit.

Bertahanlah Rae...

***

BoysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang