Chapter 35: Before End

435 34 5
                                    

Hari ini konser London akan dilaksanakan. Tentunya sebagai manager The Lads tugasku cukup banyak. Setelah selesai menyiapkan konser yang akan berlangsung sekitar 2 jam lagi, aku pun berkumpul bersama The Lads.

"Kamu masih marahan sama Addlan, Adds?" tanya El tiba-tiba.

"Loh? Kok pada tahu aku sama dia masih berantem?" Aku balik bertanya.

"Kelihatan banget kali, Mom," jawab Sean.

"Tapi nih ya, Adds. Hati-hati loh! Katanya kalo berantem lama-lama sama sodara bakal ada sesuatu yang enggak enak terjadi!" ucap El memberi peringatan.

"Ah, itu kan mitos doang, El!" balas Anthon.

"Ih! Beneran kok!" bantah El lagi.

"Yaudah-yaudah gausah berantem, 30 menit lagi waktunya kalian tampil!" ucapku menenangkan.

Akhirnya El dan Anthon pun bersiap-siap berganti pakaian. Sedangkan Sean masih berkutat dengan games di handphone-nya. Daron yang sedari tadi diam pun menghampiriku.

"Are you okay?" tanyanya lembut.

"I'm okay. Cuma tiba-tiba enggak enak hati saja gara-gara El ngomong begitu," jawabku.

"Ya, memang sih, kalian kan sodara, harusnya enggak ada berantem-berantem begitu," nasihat Day.

"Iya deh, habis konser ini gue mau minta maaf sama dia," kataku sambil beranjak berdiri. "Tapi, kalo dia mau maafin gue kalo gue mutusin Zeyn gimana?" lanjutku ketika telah berdiri.

"Ya lo kan bisa jelasin ke kakak kembar lo. Walau bagaimana pun dia tetep kakak kembar lo dan menurut gue cepat atau lambat dia bakal ngerti kok, Adds," kata Day menanangkan.

"Thanks, Day," balasku.

"My pleasure." Day pun mengacak-acak rambutku.

"Nah, sekarang ganti baju! Udah tinggal 20 menit lagi!" perintahku menjauhi Day dan mendekati Sean.

. . .

Dassie memasuki ruang ganti The Lads. Sepertinya ia mau menyampaikan sesuatu.

"Addlyn!" serunya bersemangat.

"Is there something wrong, Das?" tanyaku.

"I just want to tell you that Zeyn said you must see they concert this night. He need to tell you something," kata Dassie lagi.

"Oh. Okay. I will see the concert," ucapku.

"Okay. Bye, I need to fix the sound," kata Dassie kemudian ia melenggang pergi.

Tak lama setelah Dassie pergi, Balqi menelfonku.

Aku menjawab kontaknya.

"Halo?" tanyaku duluan.

"Are you okay sist?" tanyanya to the point.

"I'm okay. What's wrong?" tanyaku lagi.

"I look Crown so bad today. Are you two have arguments?" tanya Balqi tepat sasaran.

"Yaaa... gitu deh."

"Aduh, tahu ga? Ini gue habis presentasi sama artis baru, tapi si Crown melamun mulu kerjaannya. Mana dari kemaren dia enggak makan. Lo telepon suruh makan gih!" perintah Balqi.

"Gamau ah! Aku kan lagi marahan sama dia!"

"Lo juga pikirin perasaan kembaran lo dong, Adds. Setiap hari dia nyuruh gue telepon lo cuma buat nanyain kabar lo baik atau engga. Jadi gue pikir kalian pasti ada masalah."

"Ya, emang sih kita ada masalah, Bal. Masa dia nyuruh aku putus sama Zeyn? Kan gamau."

"Kamu udah tahu alesan Crown nyuruh kamu putus?" tanya Balqi lagi.

"Tahu," jawabku sambil bepikir.

"Yaudahlah! Pokoknya kalian harus maaf-maafan. Crown udah gue suruh pulang tadi ke apartemen. Lo kalo udah selesai konser ke sana dulu gih, nenggokin."

"Iya kakak bawel!" Aku pun langsung menutup telepon secara sepihak.

Yah, mungkin memang aku harus meminta maaf kepada Crown. Dunia ini sudah seperti menunjukkan bahwa aku yang salah.

. . .

Saat ini aku sedang memperhatikan SEG konser dari pinggir panggung. Ini sudah lagu ke sembilan mereka. Jujur saja, perasaanku cukup enggak enak. Aku merasa bersalah kepada Crown karena kami memang belum berbaikan. Melihat Zeyn mungkin merupakan salah satu cara untuk menghilangkan kegelisahan ini.

Aku hanya melamun.

Ketika berjauhan, kita enggak bisa telepati. Hal itu pernah dikatakan Crown.

Huh, harus kuakui aku merindukan suara Crown.

"Adds!" panggil El yang menyadarkanku dari lamunanku.

"Hah? Apa?" tanyaku kaget.

"Itu dari tadi Zeyn manggil lo buat naik ke atas panggung!" lanjutnya lagi.

"Oh... Oke." Aku berjalan pelan memasuki area tengah panggung.

Gugup? Ya!

Selama ini pekerjaanku hanya seorang manager bukan seorang performer, jadi panggung adalah hal asing menurutku. Aku mendekati Zeyn yang menatapku lembut. Kemudiam smirk-nya muncul.

Aku gugup.

Semua mata penonton sekarang menatapku. Bahkan wajahku terpampang besar di layar besar di belakang drum Ethan.

"Good Evening, Miss Winaya," sapa Zeyn.

"E-evening, too," balasku gugup.

"Okay. Today I want to tell you something in the middle of my fans," kata Zeyn lagi.

Ih Anjir. Mau ngomong apa nih bocah?

Duh kok deg-degan ya? Apa dia mau ngelamar aku? Aduh aku belum siap!

Kenapa lamarnya so sweet banget ini ditengah konser.

"Adds. From the first time I saw you, I have this feeling. I didn't know how to express my feeling, so I think I must do many things to make you keep your eyes on me. I do all the things.

With my friend. And the day you left, I'm very sad. I didn't know how to find you. Your aunt said that you already going to your real hometown and she didn't give us the place. I hate that you leaving me. I hate myself for make you leaving from my side." Zeyn menatapku dengan senyuman teduhnya.

Aku menyadarinya. Aku terlalu mencintai Zeyn. Dan bagiku ini adalah hal teromantis.

"But now. I want to said the truth to you," lanjut Zeyn namun mukanya beruba menjadi ragu.

Aku terdiam. Teriakan para fans sepertinya sudah tidak bisa terdengar lagi. Aku memang sudah terlalu fokus kepada pangeranku yang satu ini.

Agak ragu-ragu, tapi iya akhirnya ia pun mengucapkannya.

"Adds. I want to break up with you. I hate you."

. . .

(Un)Lucky Girl (REPUBLISHED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang