[Trishya]
8 tahun kemudian...
Ia mengecek kembali penampilannya di depan cermin. Pakaiannya masih rapi tanpa kusut sedikitpun. Rambutnya yang berwarna kecoklatan juga sudah ditata sedemikian rupa.
Trishya memang sudah bekerja sejak ia berumur 23 tahun. Ia membuka butik dan cafe kecil-kecilan. Trishya biasanya lebih sering berada di cafe daripada di butiknya.
Karena ia lebih senang untuk ikut melayani pengunjung, membuatkan minuman dan makanan daripada harus memikirkan bentuk desain seperti apa lagi untuk baju terbaru yang akan dirancangnya. Lebih rumit, katanya.
Seperti biasa, setelah cukup lama bercermin, pasti ia akan tersenyum. Senyuman maut, menurut seseorang yang sudah lama ia tak jumpai.
Ah, orang itu lagi. Rasanya sudah beribu tahun lamanya ia tak berjumpa.
Trishya kemudian keluar dari kamarnya untuk sarapan pagi bersama kedua orang tuanya. Rumahnya sudah semakin sepi semenjak adik kembarnya kuliah di Jogjakarta. Trishya hanya tinggal bersama Ayah dan Bundanya yang sudah cukup tua.
"Trishya, adik kamu hari ini datang dari Jogja, sudah tahu belum?" tanya Ayah di sela-sela sarapan.
"Eh? Mereka libur, Yah?"
"Iya, nanti sore kamu jemput mereka di Bandara, ya."
Trishya mengangguk setuju lalu kembali melanjutkan sarapannya. Seusai makan, ia berpamitan kepada kedua orang tuanya untuk pergi ke cafe.
[][][]
"Kak Sha, aku sama Kysha udah di ruang tunggu nih, mungkin take off-nya masih 20 menitan lagi."
"Ooh, oke-oke, nanti kalo di pesawat, sebelum take off telfon Kakak dulu ya."
"Siaaap, ibu penjaga cafe!" Lalu terdengar gelak tawa dari keduanya di seberang sana.
Setelah mendapat telfon dari adiknya, Trishya langsung bersiap-siap untuk berangkat. Trishya malas untuk bermacet-macetan, makanya ia lebih baik berangkat dari sekarang. Lagipula, cafenya juga tidak terlalu ramai hari ini.
[][][]
Setelah sampai di Bandara, Trishya memarkirkan mobilnya.
Trishya berjalan santai diantara kerumunan orang-orang, ada yang berjalan searah dengannya, ada juga yang berbalik arah.
Tiba-tiba, salah satu orang yang berjalan berbalik arah dengannya, membuat dunianya seakan berputar kembali ke jaman SMP-nya. Tak menyangka bahwa ia akan bertemu orang itu disini.
[][][]
Tubuhnya mendadak kaku. Siapa yang menyangka, bahwa ia akan bertemu lagi gadis yang ia sukai sejak masa SMP-nya. Dia lebih... cantik.
Derap langkah kaki gadis itu terdengar sangat menarik. Jantungnya semakin berdebar kala mendengar langkah kakinya semakin mendekat. Sebenarnya ia ingin sekali berlari menghampirinya lalu mendekapnya erat, tapi ia tidak mungkin melakukannya.
"Ar-Ardan?" sapa Trishya terbata-bata.
Ah, rasanya seperti Ardan mau mati di tempat ketika mendengar suara itu, suara yang terdengar lebih merdu dibandingkan saat masa pubernya.
Ardan berdeham sebelum ia berbicara, karena tenggorokannya seketika kering. "Ada apa?" jawabnya dingin. Dalam hati, ia merutuki dirinya sendiri.
"Kok gak bilang kalo ada di Bandung?" tanya Trishya, suaranya bergetar seperti ingin menahan tangis.
Maaf, Tris.
Ardan kemudian tertawa mengejek, lalu menjawab, "Buat apa?"
Trishya terdiam, tak lama ia terisak dan buru-buru mengusap air matanya dengan punggung tangannya. "Maaf, Dan."
"Kenapa minta maaf? Lo gak salah apa-apa."
Trishya berkata, "Bisa ngobrol sebentar?"
Ardan melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya, "Bisa, kebetulan pesawat gue masih satu setengah jam lagi."
Trishya ingin bertanya Ardan mau kemana lagi setelah ini, tapi ia urungkan niatnya.
[][][]
Sekarang, Trishya dan Ardan duduk berhadap-hadapan. Beberapa menit mereka hanya diam. Sampai akhirnya, Ardan berdeham lalu berkata, "Go on, lo mau ngomong apa? Buruan."
Trishya tersenyum sedih, "Lo berubah banget," jeda. "Maaf deh, kayaknya lo gak sudi ngomong sama gue ya? Sorry, udah ganggu waktu lo, gue duluan." Suara Trishya terdengar bergetar, seolah ia mati-matian menahan tangisnya.
Ardan menyumpahi dirinya sendiri. Bisa-bisanya perkataan dan sikapnya begitu jahat dengan Trishya.
Trishya sudah beranjak dari duduknya dan berjalan meninggalkan Ardan.
Bodoh, batin Ardan merutuki dirinya sendiri.
Ardan jadi dilema di tempatnya, apakah ia akan mengejar Trishya, atau hanya diam disini dan memendam perasaannya lagi dan lagi.
Namun, keputusan Ardan sudah bulat. Ia segera beranjak dari tempatnya dan mengejar Trishya.
Ardan bersyukur ribuan kali di dalam hatinya saat menemukan Trishya yang terduduk di bangku panjang dengan kepala tertunduk.
Ardan berusaha mengatur napasnya, lalu berkata, "Tris."
Trishya mendongak, terkejut bukan main melihat Ardan yang berdiri tegap di depannya. Trishya menghapus air matanya dengan punggung tangannya.
"Maaf, mungkin gue keterlaluan," ucap Ardan sembari tersenyum kecut. Ia mengulurkan tangannya, berniat untuk meminta maaf.
Trishya hanya meliriknya. Namun, sesaat kemudian, Trishya bangkit dari duduknya. Trishya menerima uluran tangan Ardan. Ia tersenyum.
Sesaat kemudian, Ardan merasa ada sesuatu yang mengganjal, ia membalikkan tangan Trishya.
Sebuah cincin berwarna silver bertengger dengan manis di jari manisnya.
Dengan terbata-bata, Ardan berkata, "E-elo, udah nikah?"
Yah anjir, keduluan lagi, batin Ardan.
[Trishya]
Nafas dulu ya, nafas. HUAAA GAK KERASA CERITA INI BENTAR LAGI SELESAAAI.
Jadi, sebenarnya part ini udah gue buat dari tanggal 12 Maret 2016. Gatau kenapa tiba-tiba ada ide untuk ngebuat endingnya HAHAHA padahal waktu itu gue baru nulis part yang ke 16.
Gue bener-bener minta maaf atas keterlambatan updatenya, karena yah, gue baru masuk SMA dan tugas gue numpuk. Tapi, semoga kalian semua suka! :)
Vote and comments? :)
3/9/2016
Athalia Alamanda
KAMU SEDANG MEMBACA
Trishya
Teenfikce[COMPLETE] Selama 15 tahun hidupnya, Trishya belum pernah memiliki sahabat laki-laki. Hingga akhirnya, Ardan Azhar, anak dari teman orang tuanya itu datang kepadanya dan menawarkan persahabatan. Namun, siapa sangka bahwa Ardan akhirnya akan jatuh ci...