Sekar-Raikal 25 : Ambigu

2.5K 285 8
                                    

Sekar POV

"Oke, saya segera ke sana. Tidak perlu hubungi Tante Tia, saya yang akan urus sendiri." Aku menoleh singkat saat Erick baru saja menyesaikan percakapannya dengan entah siapa di telpon. Menyebut tante Tia aku yakin itu pasti mamanya Tiara. Ah, sial. Ucapan Erick tadi benar-benar membuatku kesal dan sekarang aku justru mau-mau saja di bawa Erick menyusul Raikal ke rumah sakit. Aku tidak tahu dimana rumah sakit terdekat di daerah Dago ini dan Erick kembali memaksaku ikut, alasannya supaya aku bisa melihat lebih jelas.

Apa yang harus aku lihat sebenarnya?!

Mobil Erick parkir di salah satu rumah sakit yang jujur tidak aku lihat namanya apa. Dipikiranku pertanyaan terus menari-nari. Bayangan Raikal yang panik dan teriakannya membuatku benar-benar kehilangan fokusku.

"Ayo turun, Sekar." Erick memanggilku lagi. Aku menghela nafas panjang. Aku harus menghadapinya, bagaimanapun aku harus tahu kenapa Raikal bisa sampai sepanik itu dan laki-laki di sampingku ini bisa begitu santai menanggapi sepupunya yang pingsan itu.

"Tiara masih di UGD, lagi ditangani." Erick menyentuh lenganku. Aku menoleh padanya.

"Kenapa kamu sama sekali gak khawatir sepupu kamu itu pingsan?" tanyaku membuat Erick mengerutkan dahinya bingung. Ya, mungkin bingung dengan pertanyaanku yang tiba-tiba.

"Ini bukan pertama kalinya dia pingsan seperti itu." aku terdiam. Pikiran jahat terlintas di benakku. Apa wanita itu tengah memainkan perannya bak artis sinetron? Membuat Rai bersimpati dan mereka kembali bersama? Sial! Aku bahkan sudah mengumpat berkali-kali sejak tadi. "Kenapa?"tanya Erick begitu aku tidak menanggapi penjelasannya tadi. Aku menggeleng memilih untuk mengikuti Erick, menuju UGD.

Begitu sampai aku melihat Raikal disana, duduk dengan kepala menyandar ke tembok dingin rumah sakit. Raikal memejamkan matanya, tampak seperti kelelahan. Aku masih melihat gurat khawatir begitu mendekat ke arah Rai. Seolah sadar dengan kehadiranku, Rai membuka matanya, tampak terkejut dengan kehadiranku. Raikal sepertinya memang benar-benar lupa, melupakan aku.

"Sekar? Kamu disini?" Raikal bangun menyusulku. Aku tersenyum tipis. Kerutan di dahinya membuatku semakin yakin, dia baru sadar kalau dia melupakan aku.

"Tiara gimana?"tanyaku menjawab pertanyaanya. Raikal menggaruk tengkuknya.

"Masih ditangani dokter." Aku mengangguk. Kami sama-sama terdiam ketika aku sadar Erick berdiri di belakangku. Aku menoleh dan aku tahu Raikal juga tengah melihat ke objek yang sama denganku.

"Kamu ke sini sama dia?"tanya Raikal. Ada nada tidak suka dari suara Raikal. Aku mengangguk.

"Kami ketemu di lobi hotel." jawabku. Raikal menghela nafas panjang.

"Setelah lo ninggalin Sekar sendirian." tubuh Raikal membeku saat Erick mengucapkan kalimat itu. Raikal menatapku dengan penuh penyesalan.

"Aku-" kalimat Raikal terpotong tepat ketika pintu UGD terbuka. Seorang dokter paruh baya keluar dari ruangan itu. Dokter itu menatap kami sebentar.

"Keluarga nona Tiara?" tanya dokter itu menatap kami bergantian. Erick menghampiri dokter itu. Sebelumnya aku bahkan sempat melihat Raikal akan menghampiri dokter itu. Aku menggeram kecil, kenapa dengan Raikal? Kenapa dia begitu peduli? Kenapa...

"Saya sepupunya dokter." Dokter itu mengangguk.

"Nona Tiara keracunan." Ujar Dokter itu membuatku cukup kaget. "Obat-obatan. Dia sepertinya meminum jenis obat tertentu yang tidak bisa diterima tubuhnya, tapi tetap memaksakan. Ini puncaknya, dia pingsan setelah memuntahkanya. Tapi kami sudah menanganinya dan sekarang sudah bisa dipindahkan ke ruang rawat inap. Untuk pemulihan nona Tiara harus tinggal 1-2 hari disini." Tambah dokter itu.

"Saya sarankan untuk memeriksa lebih lanjut kondisi nona Tiara, itu jenis obat yang tidak bisa di jual di apotik tanpa resep dokter." Aku hanya terdiam mendengarkan penjelasan dokter. Wanita itu sakit?

"Baik dok, saya mengerti. Terimakasih dok." Ujar Erick. Dokter itu tersenyum lalu meninggalkan kami. Aku kembali menoleh pada Raikal yang sekarang sedang memandang kosong ke depan.

"Jadi dia masih rutin minum obat?" suara Rai terdengan pelan.

"Lo tahu?" tanya Erick yang di jawab Raikal dengan anggukan. Aku lagi-lagi berada di luar zona mereka. Zona masa lalu Raikal dan Tiara dan Erick sekarang juga ada di sana.

"Apa yang aku tidak tahu sebenarnya Rai?" tanyaku akhirnya membuat Rai menatapku. Rai tersenyum tipis menyentuh kepalaku. Dulu aku menemukan bentuk rasa sayangnya padaku setiap dia menyentuh kepalaku, tapi kenapa aku sekarang justru merasa Rai kasihan padaku?

"Kita bicarakan nanti saja, Sekar." Ujar Rai. Aku menepis tangan Rai di kepalaku.

"Kenapa? Apa ada yang tidak boleh aku tahu? Apa aku melewatkan sesuatu dan kamu tidak berniat ngasih tahu aku? Apa Rai??" ujarku, Rai menatapku lama.

"Sekar-"

"Tolong kasih tahu aku apa yang tidak aku tahu Rai. Supaya aku bisa mengambil sikap, bagaimana aku harus menghadapi kamu sekarang." suaraku terdengar pelan diikuti dengan Raikal yang menghela nafas panjang. Raikal meraih tanganku dan menggenggamnya.

"Apa kamu gak percaya aku?" aku melongo mendengar pertanyaan itu. Kenapa sekarang Raikal justru menanyakan soal kepercayaan aku padanya? Aku tersenyum tipis, apa sekarang kami harus bermain drama di rumah sakit dengan saling melemparkan pertanyaan sepert ini? Aku mengerang frustasi, menjawab pertanyaan Raikal hanya akan membuat baik aku maupun Raikal akhirnya berdebat dan menjadi tontonan Erick. Aku sudah cukup terlihat menyedihkan saat Raikal meninggalkanku di lobi tadi dan sekarang aku tidak mau Erick semakin mengasihaniku.

"Sekar?" Panggil Raikal lagi sambil menyentuh lenganku. Aku lagi-lagi tersenyum tipis sambil menarik nafas panjang.

"Aku gak tahu."

Itu adalah jawaban teraman menurutku. Aku ingin percaya pada laki-laki ini, tapi sikapnya tadi membuatku tidak percaya. Pintu ruangan itu kembali terbuka, sebuah ranjang dengan para suster keluar dari ruangan itu, di sana aku melihat Tiara. Dengan wajah pucatnya tertidur. Aku pikir Raikal akan membiarkan suster membawa Tiara pergi dan memilih untuk mencoba menjelaskan padaku situasinya saat ini, tapi aku salah. Raikal melepaskan genggaman tangannya lagi dan menyusul suster di belakang. Tanpa menoleh padaku. Aku sekali lagi di tinggalkan.

Lama aku mengamati punggung besar Raikal, sampai menghilang di lorong rumah sakit, dan kekasihku itu sama sekali tidak menoleh ke belakang. Aku merasakannya lagi, sakit yang sama seperti saat Raikal berteriak panik di lobi rumah sakit. Kali ini bahkan lebih sakit. Sekuat tenaga aku menahan desakan air mataku keluar. Namun sia-sia, nyatanya butir demi butir jatuh dengan penuh semangat.

"Aku sudah mengatakannya dengan jelas, Sekar." Erick menarik tubuhku mendekat, lalu memelukku dan membenamkan wajahku di dadanya. Bukannya menolak aku justru semakin terisak. Kali ini saja, aku akan membiarkan Erick mengasihaniku.

>>

Ada yang kangen?

Hahahaha

Maaf ya aku gak sempet balas komennya, bukannya sok atau sombong. Yah, berhubung hape aku lagi dalam masa percobaan, jadi gak bisa buka aplikasinya. Alhasil, aku cuma bisa baca kalau online buka laptop.

Tapi yakinlah, aku membaca semuanya dan komen teman-teman adalah mood booster terbaik. Hahahahah

Ini sengaja POV-nya Sekar. Kangen aja bikinnya. Maafkan aku yang labil dalam menulis POV.

Hihihihi

Okedeh, puasanya udah setengah jalan, udah ada yang bolong?

#2 IF YOU...(RAIKAL-SEKAR) (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang