Sepuluh tahun yang lalu aku tinggal di salah satu daerah pedesaan dekat perbukitan negara Inggris.
Orang tuaku bekerja sebagai buruh pabrik yang tidak berpenghasilan tetap tiap bulannya.
Adikku, Alan dan Marry masih bersekolah di sekolah menengah pertama yang berada di ujung desa.
Dan aku sendiri bekerja sebagai pelayan dan penghias roti di salah satu toko roti terkenal di daerahku.
Namaku Elise, nama yang cukup bagus bagiku yang tinggal di daerah kumuh yang tidak memiliki kadar sopan santun yang layak.
Aku sendiri tidak pernah sekolah, hanya bisa membaca karena menurutku bekerja mencari uang untuk kehidupan sehari-hari kami yang serba kekurangan itu lebih penting daripada sekolah.
Tapi adik-adikku sekolah, karena aku ingin mereka bisa bekerja di kota dan menghasilkan uang lebih banyak lagi agar hidup kita tercukupi, atau syukur-syukur bisa mengeluarkan kami dari rumah pondok kecil ini.
Meskipun awalnya ibuku dan ayahku menolak menyekolahkan mereka setelah lulus dari sekolah dasar, namun aku tetap memaksa dengan alasan agar mereka bisa merubah kehidupan kita kelak.
Akhirnya ibu setuju asalkan aku yang membiayai mereka, karena mereka tidak mau bekerja lebih keras lagi untuk biaya sekolah yang cukup tinggi.
Aku menyanggupinya, karena aku tidak mau mereka bekerja sebagai buruh pabrik seperti ayah dan ibu, karena mereka sama sekali tidak punya ketrampilan. Kecuali jika menurutmu berburu dan memancing adalah ketrampilan, karena sebenarnya rata-rata penduduk di desa ini bisa melakukan semua hal itu.
Aku bekerja mati-matian siang dan malam untuk memenuhi kebutuhan sekolah mereka yang makin hari makin mahal. Apalagi mereka sekolah di salah satu sekolah ternama di daerahku. Oleh karena itu selain bekerja di toko roti yang memang menguras tenaga dan waktu. Aku juga bekerja sebagai penyanyi di bar kumuh di pinggir kota.
Bekerja sampai fajar, yang membuatku tidur 3 jam setiap harinya.Dan di musim panas yang gersang ini aku ingin membagi kisahku, kisah yang sebenarnya tidak perlu diungkit lagi mengingat kehidupanku yang sekarang.
Tapi aku bercerita bukan untuk menerima belas kasihanmu, aku bercerita hanya ingin membuktikan bahwa aku punya alasan yang kuat mengapa aku melakukan hal ini sekarang. Karena terkadang seseorang yang melakukan suatu kejahatan itu karena terpaksa, karena mereka pernah di lakukan dengan cara yang tidak adil.
Dan ini kisahku, kau boleh menyimak jika kau menyukainya, tapi kau juga boleh mengabaikannya jika kau membencinya :
Tepatnya pada hari itu aku kebetulan di perintahkan oleh bosku untuk mengantarkan tiga lusin roti gandum ke pabrik tempat orang tuaku bekerja.
Pabrik yang berada di pinggiran hutan pinus itu kebetulan sedang mengadakan pesta atas kelulusan putra pemilik pabrik dari sekolah menengah atasnya.
Saat aku tiba disana ternyata acaranya sudah di mulai sejak tadi.
Aku yang malu, karena kebetulan aku jarang sekali ke pabrik ini meskipun orang tuaku bekerja disini berjalan mengendap-endap ke arah orang berkerumun.
Penampilanku pasti parah sekali karena aku hanya memakai baju kebesaran bekas ibuku dengan celemek kotor yang masih terikat di sekeliling leherku. Aku yakin hanya aku yang berpakaian tidak sopan karena meskipun banyak buruh disini, mereka telah memakai baju terbaik milik mereka.
Dengan kepala menunduk aku bertanya ke salah seorang pelayan di sana yang menunjuk ke arah pintu kecil tempat penyimpanan yang sudah diubah menjadi dapur sementara.
Saat berjalan ke arah sana aku yang masih menunduk tersangkut gaun milik seorang yang menjuntai sampai lantai dan membuatku terjatuh mengenai vas kristal besar berisi bunga-bunga kristal yang juga besar. Roti-roti yang sedari tadi ku pegang di plastik berhamburan di lantai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cruel
Historical FictionKejadian itu berlangsung beberapa tahun yang lalu, ketika aku masih menjadi gadis yang baik, ketika aku mengalah pada semua orang, ketika aku menerima berbagai penghinaan atas apa yang terjadi padaku. Itu dulu. Sekarang aku adalah gadis brengsek yan...