Setelah aku sampai dirumah, ibuku berhenti menangis dan ayahku menatapku bengis, lalu dengan kekuatan ekstra mereka memukuli punggungku berkali-kali menggunakan tongkat dari bambu.
Aku hanya bisa menjerit dan berteriak minta tolong, Alan dan Marry meringkuk di dekat perapian sambil menatapku iba.
"Dasar anak tidak tahu diri, sudah ku besarkan dengan susah payah tapi malah menyusahkanku!" Teriak ibuku persis di telingaku sambil menjambak rambutku.
Aku meringis, sisa-sisa rasa sakit dari cengkeraman pria itu saja masih sangat terasa di kulit kepalaku, ditambah dengan jambakkan ibuku yang membuatku hampir mati karena merasakan sakitnya.
"Menyesal aku membesarkanmu, gadis rendahan, seharusnya ku jual saja dirimu pada orang lain."
Aku menggigit bibirku, merasakan sakit di tubuhku dan yang paling parah adalah hatiku.
"Sekarang kita makan pakai apa huh? Ibumu dan ayahmu tak berpenghasilan lagi." Ucap ayahku disertai tamparan di wajahku, aku terhuyung dan merasa betapa perihnya wajahku detik berikutnya duniaku terasa menggelap.
Aku membuka mataku pelan, lalu hendak berdiri ketika kepalaku terasa sangat pusing.
"Kau jangan berdiri dulu Elise." Ucap Marry yang berada di samping kananku.
Aku tersenyum, tapi buru-buru mengernyit ketika merasakan sakit di sudut bibirku.
"Apa yang terjadi?" Tanyaku serak, lalu mengedarkan pandangan keseliling dan sadar bahwa aku masih di ruang tamu dekat perapian.
"Kau pingsan saat Ayah menamparmu." Kata Alan di samping Marry yang membuatku refleks memegang pipiku yang terasa bengkak.
"Elise apa yang sebenarnya terjadi? Tadi nyonya Marietta datang dan berkata bahwa kau dipecat." Kata Alan pelan.
"Dia juga bilang bahwa kau tidak menerima gajihmu bulan ini sebagai ganti rugi."
Mataku membulat. "Benarkah?"
"Iya..."
"Itu tidak mungkin, dia belum membayarku selama 2 bulan ini."
Marry menatapku khawatir. "Sudahlah Elise, ku rasa kau tidak usah menuntutnya."
Aku menggeleng. "Uang itu akan ku gunakan untuk biaya sekolah kalian."
"Kami bisa keluar dan bekerja di pasar, ku dengar banyak anak-anak seusia kami yang bekerja disana. Kami akan membantumu."
"Tidak." Ucapku tegas. "Kalian tidak boleh putus sekolah, aku akan berusaha semaksimal mungkin agar kalian tetap sekolah."
"Tapi Elise, Ayah dan Ibu sudah tidak mau bekerja lagi. Bagaimana mungkin kau bisa membiayai kami dengan sendirian seperti itu ?"
Aku tersenyum. "Aku bisa bekerja lebih keras lagi, aku akan berburu hewan di hutan atau memancing untuk di jual di pasar. Aku juga akan memohon pada Nyonya Marietta untuk memperkejakan aku lagi."
"Elise..."
Marry memelukku sambil menangis tersedu-sedu sedangkan Alan mengalihkan pandangannya, namun aku tahu dia juga menitikkan air mata."Tenanglah, aku masih kuat. Kalian harus tetap memperoleh pendidikan setinggi mungkin agar bisa kerja di kota dan memperoleh banyak uang."
Marry mengangguk. "Aku benci jadi orang miskin Elise..."
"Jangan berkata seperti itu."
Marry menatapku. "Kau satu-satunya yang aku dan Alan miliki, Ayah dan Ibu tak pernah menyayangi kami."
Aku mengelus rambut pirangnya.
Marry benar, Ayah dan Ibu bukan orang tua yang baik meskipun untuk saat ini -untungnya- mereka tidak menjual kami seperti tetangga kami yang lainnya, yah setidaknya belum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cruel
Historical FictionKejadian itu berlangsung beberapa tahun yang lalu, ketika aku masih menjadi gadis yang baik, ketika aku mengalah pada semua orang, ketika aku menerima berbagai penghinaan atas apa yang terjadi padaku. Itu dulu. Sekarang aku adalah gadis brengsek yan...