"Alan!" teriakku sambil berlari menghampirinya, aku memeluknya erat sekali saat berada di depannya.
Alan membalas pelukanku sama eratnya, dia terisak pelan.
"Elise... Aku merindukanmu."
Aku tersenyum mendengar ucapannya.
Saat aku melepas pelukanku, aku memandangnya. "Bagaimana kau bisa disini Alan?"
Dia menatapku sedih. "Sejak kau pergi Elise, kami mencari uang untuk membiayai hidup kami. Aku memutuskan untuk menjual daging buruan ke pasar dan Marry menjahit serta berkebun."
"Tapi kalian masih sekolah kan?"
Alan mengangguk. "Ya, kami masih sekolah Elise. Ibu dan Ayah sekarang bekerja di ladang gandum, jadi mereka bisa membantu biaya sekolah kami."
"Oh, syukurlah." ucapku penuh haru, aku senang orang tuaku bisa berubah.
"Elise, ayo kita pulang. Kami semua merindukanmu."
Aku menatapnya sedih, kemudian menggeleng. "Aku tak bisa Alan, maaf."
"Kapan kau pulang?"
"Entahlah." ujarku pelan, air mata sudah berada di pelupuk mataku.
Alan memelukku lagi. "Pulanglah, Elise."
Tanpa sadar air mata ini menetes seketika. Aku juga merindukan mereka, Alan, Marry, Petter bahkan kedua orang tuaku. Tetapi, apa sih yang bisa budak lakukan selain melayani Tuannya siang dan malam?
Aku memejamkan mataku, merasakan nyerinya di dadaku membayangkan apa yang terjadi di kehidupanku. Aku jarang bahagia dan lebih sering merasakan sakit hati dan sakit fisik daripada gadis lain yang seumuran denganku.
Kami masih memeluk satu sama lain sebelum seseorang memanggilku dengan suara keras, yang membuatku dan Alan terlonjak kaget.
"Elise!" suara Alvis yang keras membuat Alan ketakutan dan bersembunyi di balik punggungku.
Alvis mendekatiku wajahnya merah padam, dia menarik tanganku menjauhi Alan.
"Cepat kita pergi dari sini."Aku berusaha melepaskan tanganku darinya, yang jelas-jelas tidak akan berhasil.
"Tuan, please. Aku mohon lepaskan aku." Alvis malah mencengkeram tanganku. "Aku mohon."
PLAKK
Sebuah tamparan keras mengenai pipiku, membuatku terhuyung ke belakang. Kepalaku pening, bau amis yang nyinyir memenuhi mulutku, aku menyentuh pipiku yang sedikit membengkak kemudian memyentuh sudut bibirku yang robek dan mengeluarkan banyak darah.
Alan berteriak keras, sedangkan aku mencoba mati-matian untuk tetap sadar. Aku melihat para pengawal memegangi tangan Alan untuk mencegahnya mendekatiku.
Suara dingin Alvis terdengar begitu jauh. "Sudah kubilang kan, kau tak boleh membantahku sedikitpun." dia meludah di depanku dan mengenai wajahku. "Dasar jalang murahan tak tahu diri, kau seharusnya bersyukur karena Ayahku memaafkan keluargamu."
Aku menarik napas dalam-dalam berusaha keras untuk tidak membalas ucapan Alvis yang menurutku sudah keterlaluan.
Aku memang budaknya dan aku sendiri yang menawarkannya. Tapi aku sama sekali bukan wanita jalang yang mau diajak tidur oleh pria asing yang tak pernah ku kenal, jadi kenapa dia mengataiku seperti itu?
"Aku tak segan-segan akan membunuhmu kalau kau berani menentangku." ucapnya kasar sambil menjambak rambutku, membuat kepalaku mendongak ke atas dan menatap matanya yang tajam.
"Ayo kita pergi atau ku bunuh semua anggota keluargamu." dia kembali menjambakku dengan keras lalu menyuruh pengawalnya untuk menyeretku.
Suara Alan yang terisak pelan membuatku meronta-ronta ingin di bebaskan, tapi aku tak berani untuk mengeluarkan suaraku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cruel
Historical FictionKejadian itu berlangsung beberapa tahun yang lalu, ketika aku masih menjadi gadis yang baik, ketika aku mengalah pada semua orang, ketika aku menerima berbagai penghinaan atas apa yang terjadi padaku. Itu dulu. Sekarang aku adalah gadis brengsek yan...