Menjadi seorang pelayan untuk Alvis Adrian Bagman adalah hal paling buruk yang pernah ku dapatkan didalam kehidupanku.
Alvis adalah majikan yang temperamental, jenis orang yang berani menyakiti siapapun jika keinginannya tidak terpenuhi. Sejauh ini aku sudah kena tampar dan luka bakar yang masih membekas di pahaku, karena lupa mengelap sepatunya dan lupa menaruh garam di makanan kesukaannya.
Dia juga sering menghinaku, menghina keluargaku dan menganggapku tak berharga sama sekali, kelakuannya sering kali membuatku putus asa dan hampir menyerah. Namun untungnya aku ingat pada Alan dan Marry, sehingga aku mencoba bertahan dengannya.
Tak bisa ku pungkiri memang, jika menjadi pelayannya membuatku hidup lebih layak meskipun tak bisa dibilang cukup manusiawi. Setidaknya aku masih bisa tidur di kamar milik Alvis yang mempunyai perapian besar, sehingga aku tak perlu kedinginan jika musim dingin datang daripada para budak lainnya yang tidur meringkuk saling berdekatan satu sama lain di ruang bawah tanah. Aku sendiri cukup senang bisa tidur di karpet usang yang di letakkan begitu saja di depan tempat tidurnya.
Tugasku sebenarnya mudah, hanya melayani semua keperluan Alvis dari mulai menyiapkan baju untuknya, merebus air hangat untuk mandi, membersihkan kamarnya, menyisirinya, mengancingkan bajunya, membacakan novel untuknya, menyuapinya jika dia sedang malas untuk menggerakan sendok ke mulutnya, menemaninya memancing, ataupun melakukan hal-hal sepele lainnya yang sebenarnya aku yakin dia sendiri sanggup mengerjakannya tanpa bantuan orang lain.
Seperti pagi ini saat matahari belum sepenuhnya keluar dari tempat peraduannya, Alvis sudah membangunkanku dan menyuruhku menyiapkan makanan ke dalam rantang serta menyuruhku mengambil busur dan panah di gudang bawah tanah.
Aku mengangguk, mengikat rambutku asal-asalan lalu menuju ke dapur untuk menyiapkan makanan. Sebenarnya, Alvis tak menyukai masakanku. Dia bilang bahwa masakanku aneh dan tak bisa dimakan, itu bisa di maklumi sebenarnya karena aku memang tak pandai memasak sebelumnya, namun dia tetap memakannya dan tak mau memakan masakan orang lain selain masakanku.
Aku mengambil beberapa lembar roti gandum, keju dan bacon -sengaja tidak ku bakar karena mempercepat waktu- lalu air minum dan yogurt dan memasukkannya ke dalam tas kecil
Aku menguap, biasanya aku bangun sebelum Alvis bangun tidur yang berarti lebih lama beberapa jam dari sekarang. Bangun lebih pagi membuatku tak kuasa menahan kantuk.
Aku menguap sekali lagi, pergi ke kamar mandi dan membasuh muka. Air yang dingin membuatku tersadar sepenuhnya.
Suara Alvis yang memanggilku untuk bergegas menggema di lantai atas membuatku mengumpat pelan, dia rupanya tak pernah punya sisi kesabaran dalam hidupnya.
Aku menyambar tas di meja dapur, lalu bergegas ke ruang bawah tanah yang berada di sisi dapur. Aku menuruni tangga yang cukup curam, bergidik pelan merasakan dinginnya udara disekitar.
Bayangan lampu-lampu minyak yang memanjang membuat perasaan was-was menghampiriku. Dengan langkah yang bergegas aku berdoa dalam hati, semoga tak ada hal menakutkan yang akan terjadi disini karena menyusuri lorong-lorong panjang yang gelap sendirian, membuat siapa saja akan merasa takut.
Aku berbelok ke kanan lalu mendorong pintu berwarna hitam dan memasuki sebuah ruangan kecil penuh debu dan sarang laba-laba, bau campuran antara lumut dan kotoran tikus membuatku mengernyit.
Aku meraba-raba dinding, bunyi cicitan tikus yang berlarian memenuhi ruangan saat aku melangkah lebih jauh ke dalam. Penerangan ruangan yang disebut gudang ini sangat minim, aku harus beberapa kali memicingkan mataku untuk mendapatkan apa yang Alvis inginkan.
Saat aku sudah mengambil panah dan busurnya, aku segera bergegas ke atas dan menyerahkannya pada Alvis yang memberengut. "Kau lama sekali, Butler!"
Aku menunduk. "Maafkan saya Tuan."
Dia mengacuhkanku. "Bereskan kamarku dan bergegas ke pintu gerbang, aku tak mau menunggu lagi!"
"Baik,Tuan."
Dia pergi dari hadapanku, melirikku sebentar lalu menutup pintu. Aku mendesah dan menyumpahinya dengan sumpah serapah yang pasti akan membuatnya marah sekali jika dia mendengarnya, lalu melipat selimut yang dia pakai dan memperbaiki letak seprai yang tak beraturan. Menggeliat sebentar dan segera menyusul Alvis ke depan.
Pintu gerbang rumah ini terletak cukup jauh dari pintu depan. Aku harus berlari-lari kecil melintasi halaman rumput kering untuk segera sampai disana. Setelah sampai disana, Alvis sudah menunggangi kuda cokelat kesayangannya yang bernama Bonny, dua orang pengawal berada di belakangnya.
"Kau membuatku menunggu cukup lama Butler!" katanya ketika melihatku.
Aku hanya menunduk sambil menggumamkan permintaan maaf dan menggerutu dalam hati karena sebenarnya aku hanya menghabiskan waktu tak kurang dari 10 menit untuk membersihkan kamarnya dan menyebrangi halaman rumahnya yang kelewat luas itu."Berjalanlah di sampingku, usahakan jangan ketinggalan!"
Aku tak bisa menahan diri untuk bertanya. "Sebenarnya Tuan mau kemana?"
Dia menyeringai. "Bukan urusanmu, bodoh! Kau hanya pelayan disini, kau tidak boleh menanyakan hal-hal yang tidak perlu kau pertanyakan!"
"Saya minta maaf Tuan."
Sekali lagi dia mengacuhkanku dan mulai menggerakan kudanya pelan. Aku mengikutinya, berlari-lari kecil untuk mensejajarkan langkah kudanya.
Kami berjalan melewati rumah-rumah penduduk yang masih gelap, aku yakin mereka pasti masih tertidur. Lalu melewati sungai dangkal yang membuatku harus mengangkat bajuku, lalu berjalan lagi ke arah selatan yang membuatku tersadar bahwa ini adalah jalan menuju rumahku. Aku berpikir cepat seketika: Apakah Alvis akan membawaku pulang ke rumah keluargaku? Apakah dia akan membebaskanku? Rasa terharu tiba-tiba menyelimutiku.
Aku meliriknya sekilas, namun wajahnya yang tampan tetap datar dan saat jalan setapak menuju rumahku sudah terlihat, ternyata dia berbelok ke arah barat, membuat hatiku mencelos. Ternyata perkiraanku salah, dia tak membawaku pulang atau membebaskanku. Dia hanya melewati jalanan ini karena memang jalanan ini adalah satu-satunya cara agar bisa sampai ke tempat tujuannya.
Bagaimana aku bisa berpikir dia akan melakukan hal mulia seperti yang ku pikirkan tadi? Alvis bukan orang yang memiliki kemuliaan di hatinya dan selama satu tahun ini aku juga tak pernah dibolehkan bertemu keluargaku atau siapapun. Jadi kenapa sekarang harus berbeda?
Aku merutuki kebodohanku sendiri.
Beberap saat kemudian mendadak Alvis berhenti, membuatku mengerjap pelan. Dia turun dari kudanya, lalu menyerukan dengan semangat bahwa kita sudah sampai.
Dan kesadaran bahwa ini adalah hutan dekat rumahku membuatku tersenyum, rasanya sudah lama sekali aku tidak disini, tidak merasakan udara segar yang menyapaku dengan lembut, tidak merasakan indahnya gemercik air sungai yang tak jauh dari sini.
"Kau kenapa Butler?" suara Alvis membuatku tersadar bahwa aku takkan pernah merasakan hal-hal itu lagi selamanya.
"Tidak apa-apa, Tuan."
Dia menatapku aneh. "Jangan membuatku takut, bodoh!"
Kali ini aku tersenyum. "Tidak apa-apa, sungguh."
"Kau tersenyum-senyum sendiri tadi!"
"Aku hanya teringat masa lalu."
Dia menatapku kesal. "Ku perintahkan padamu untuk melupakan masa lalumu!"
Aku mengernyit. "Tidak mungkin Tuan, bagaimana mungkin kau menyuruhku melupakan masalalu dalam kehidupanku, itu hakku!"
"Lakukan perintaku dan jangan pernah membantahnya!"
Aku menatapnya kesal, aku memang budak tapi dia tak bisa menyuruhku melakukan hal seperti itu kan? Apalagi aku tak pernah dia gaji!
"Baiklah."
"Nah, bagus kalo begitu." dia menyeringai, lalu segera pergi dari hadapanku sambil membawa busur dan panah yang dia sampirkan di sebelah bahunya.
Aku mengutuknya pelan dan bersumpah di dalam hati bahwa dia akan menyesal telah melakukan hal seperti itu padaku!
KAMU SEDANG MEMBACA
Cruel
Historical FictionKejadian itu berlangsung beberapa tahun yang lalu, ketika aku masih menjadi gadis yang baik, ketika aku mengalah pada semua orang, ketika aku menerima berbagai penghinaan atas apa yang terjadi padaku. Itu dulu. Sekarang aku adalah gadis brengsek yan...