Bunyi samar-samar suara langkah kaki yang tergesa-gesa terdengar di telingaku, lalu terdengar juga rantai yang di paksa sebelum ada yang menyenggol kakiku pelan. Aku terdiam karena merasa sangat lelah dan ketika aku merasa berat untuk membuka kedua kelopak mataku, mereka akhirnya menendangku dan berteriak keras. Membuatku terbangun dengan kepala berputar-putar dan rasa mual secara berlebihan.
Aku mendongak dan melihat tiga orang pengawal berseragam sedang menatapku muram, lalu aku melihat sebagian wanita-wanita yang tadi dikurung bersamaku telah pergi, menyisakan beberapa orang -termasuk Sophie- yang sedang merapat di dinding yang lembab sambil menatapku dan para pengawal secara takut-takut.
Jelas saja ini bukan mimpi, kenyataan bahwa aku disini dan merasakan baunya lumut yang lembab dan apak adalah buktinya nyata yang menerangkan segalanya. Dan aku juga belum mati karena mereka masih bisa menatapku dan menendangku. Bukankah orang yang sudah mati arwahnya tak bisa dilihat ataupun disentuh?
Aku mengerjap dan salah satu pengawal melemparkan sebuah gaun pelayan berwarna abu-abu suram yang sama dengan para wanita yang ada di ruang bawah tanah ini. Bedanya, bajuku jauh lebih bersih.
"Pakai cepat!" ucap pengawal yang melemparkan gaun itu padaku.
Aku hanya menatapnya tak bergeming selama beberapa menit, lalu karena geram dia kembali membentakku. "Lakukan dengan cepat!"
"Aku takkan bisa berganti baju jika kalian ada disini dan melihatku seperti itu!" ucapku pelan namun penuh penekanan.
Para pengawal itu mendengus tidak sabar, lalu membalikkan badannya tanpa beranjak dari tempatnya berdiri.
Aku mencoba bangun, namun rasa perih yang teramat sangat membuatku kembali terjatuh dan meringis kesakitan.
Aku mencoba berdiri lagi, kali ini berpegangan pada diding di sebelahku, lalu berganti pakaian dengan diam. Sekiranya 7 menit kemudian, penampilanku hampir sama dengan para pelayan lainnya di balik gaun abu-abu suram ini.
Setelah memakai baju dan merapikan sedikit rambutku secara kilat mereka membawaku dan pelayan yang lain ke arah tangga sebelah kiri yang langsung menghubungkan ruang bawah tanah dengan dapur.
Aroma makanan yang membuat liur siapapun menetes, tercium begitu tajam ketika kami tiba di sebuah dapur besar yang cukup mewah dan berkelas.
Para pengawal meninggalkan kami di balik pintu yang menghadap ke kebun, lalu Shopie menghampiriku dan memberikan sebuah pisau pemotong daging yang besar dan sepertinya tajam.
"Kau bisa memotong daging?" tanyanya.
Aku mengangguk, berburu di hutan dan menjualnya di pasar membuatku sedikit tahu bagaimana caranya memotong daging. Apalagi dulu aku sering menjual daging yang memang ku potong kecil-kecil.
"Kalau begitu pergilah kesana!" dia menunjuk meja rendah yang diatasnya terdapat seekor daging domba besar yang sudah dikuliti.
"Potonglah menjadi beberapa bagian. Jangan terlalu besar-besar tetapi jangan terlalu kecil juga, pokoknya ukurannya harus pas untuk dijadikan daging asap. Aku mau kau mengerjakan semuanya dengan baik di hari pertamamu bekerja, karena Tuan tidak akan memberimu makan malam jika kau tidak bekerja dengan baik."Aku kembali mengangguk, lalu pergi ke arah meja yang Shopie tunjuk dengan langkah terseok-seok karena kakiku masih terasa sakit. Sampainya disana, aku mengelap tanganku dengan lap dekil yang tergeletak di dekatku lalu segera memotong daging itu dengan hati-hati.
Seumur-umur aku tak pernah memakan daging asap, tapi aku pernah melihat Nyonya Marietta membuatnya. Jadi aku tahu persis bagaimana bentuk daging yang sesuai untuk ukuran daging asap.
Aku mencincang, memotong, lalu mencucinya sampai bersih. Selama hampir setengah jam kemudian, pekerjaanku selesai. Lalu aku menyimpan pisau pemotong daging di bawah meja dan segera menghampiri Sophie.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cruel
Historical FictionKejadian itu berlangsung beberapa tahun yang lalu, ketika aku masih menjadi gadis yang baik, ketika aku mengalah pada semua orang, ketika aku menerima berbagai penghinaan atas apa yang terjadi padaku. Itu dulu. Sekarang aku adalah gadis brengsek yan...