Angin malam yang dingin membuatku bergidik ngeri, saat ini aku sedang berdiri di balkon kamar Alvis, memandang perbukitan yang menjulang tinggi dan halaman rumput yang mulai menguning.
Musim gugur sepertinya telah tiba karena daun-daun di pepohonan mulai kecokelatan dan udara sudah tidak lagi menghangat.
Aku menguap pelan tapi tak berusaha untuk tidur karena banyak sekali hal yang sedang ku pikirkan, contohnya adalah kehidupanku.
Harus ku katakan sekali lagi agar kalian tahu bahwa aku bukanlah gadis beruntung seperti halnya gadis lain sepantaranku.
Di umurku yang 17 tahun ini, aku tak pernah merasakan bagaimana rasanya jatuh cinta, tak pernah membicarakan pria manapun dengan temanku sambil cekikikan, tak pernah membaca buku atau novel untuk sekedar hiburan, tak pernah berdandan untuk menarik perhatian lawan jenisku dan yang lainnya. Pokoknya aku tak pernah merasakan kebahagian dalam hidupku.
Bagaimanapun nantinya kehidupanku dimasa yang akan datang, sampai sekarang aku tak sanggup memikirkannya. Karena, kejadian-kejadian yang menimpaku akhir-akhir ini cukup menyulitkan, hampir saja aku kehilangan satu-satunya hal paling berharga dari kehidupanku. Jadi, bagaimana mungkin aku berharap aku akan baik-baik saja nantinya?
Aku mengerjap, air mata merembes keluar melewati pipiku. Sungguh, aku adalah gadis paling lemah yang diciptakan Tuhan di dunia ini.
Aku memejamkan mataku.
Baru saja aku berpikir untuk mengakhiri semuanya, tiba-tiba suara Alvis yang dingin bergema di belakangku. Aku menoleh, dan mendapati dia sedang menatapku intens.
"Kau belum tidur? " ucapnya padaku, suaranya yang berubah hangat membuatku mengerjap.
"Err... Belum Tuan."
Dia mendekatiku, aku berusaha waspada sebisa mungkin. Dia bisa saja memperkosaku di tempat ini kan?
"Aku tidak tahu kalau kau kenal dengan Peter Walker."
Aku berusaha untuk tidak gemetar ketakutan "Ya, kami memang berteman." ucapku pelan dan bersyukur dalam hati ketika mengetahui bahwa suaraku terdengar biasa saja.
"Kau mengenalnya darimana?" suaranya berubah ketus.
"Di perpustakaan Tuan, kebetulan dulu saya bertemu dengannya disana."
"Oh."
Aku mengangguk, lalu terdiam karena dia tidak lagi memberikanku pertanyaan.
Harus ku akui berdiri di dekat Alvis seperti ini, membuatku takut setengah mati.
"Elise."
Aku menahan napas. "Ya?"
"Mmm... Berjanjilah padaku."
Aku mengernyit karena bingung.
"Apa?"
"Jangan pernah tinggalkan rumah ini apapun yang terjadi."
Aku terkejut mendengarnya berbicara seperti itu. Astaga! Keinginanku satu-satunya di dunia ini adalah meninggalkan rumah ini selama-lamanya!
"Errr..."
"Berjanjilah!"
Aku memberanikan diri untuk menatapnya. "Maaf Tuan, saya tak bisa berjanji seperti itu."
"Kau menentangku?" suaranya berubah menyebalkan.
"Bukan begitu, hanya saja..." suaraku terdengar nyaring karena ketakutan.
"Aku tahu kau begitu membenciku kan, sampai-sampai berada di dekatku membuatmu jijik?"
Memang!

KAMU SEDANG MEMBACA
Cruel
Historical FictionKejadian itu berlangsung beberapa tahun yang lalu, ketika aku masih menjadi gadis yang baik, ketika aku mengalah pada semua orang, ketika aku menerima berbagai penghinaan atas apa yang terjadi padaku. Itu dulu. Sekarang aku adalah gadis brengsek yan...