Hari berikutnya, aku berangkat pagi-pagi sekali dari rumah membawa sebagian besar bajuku yang ku lipat kecil-kecil dan ku masukkan ke dalam peti.
Ayah dan Ibu hanya mengatakan agar aku mengirimi uang secepatnya, sedangkan Alan dan Marry mencemaskan bagaimana keadaanku disana nantinya.
Butuh waktu yang lama untuk meyakinkan kepada mereka bahwa aku akan baik-baik saja dan berjanji akan pulang secepat aku bisa.
Akhirnya dengan tekad yang kuat untuk memperbaiki keadaan, aku pergi pagi itu dengan perasaan tak keruan.
Perpustakaan buka pukul 7 yang berarti masih ada waktu untuk bersiap-siap sebelum duduk seharian menunggu pengunjung karena aku kebetulan tiba satu jam sebelum perpustakaan buka.
Jadi aku memutuskan pagi itu untuk membersihkan kamarku yang berada di loteng pengap penuh debu.Di kamarku terdapat satu tempat tidur kecil, satu lemari yang tingginya sama denganku dan lampu kecil berpenerangan remang-remang.
Aku membersihkan segala macam benda yang ada di sana, mengelap jendela kecil yang ada di dekat lemari kayu dan mengganti seprai kotor dengan kain perca milikku.
Setelah selesai membersihkan segalanya, aku memutuskan untuk segera turun sebelum mengganti pakaianku yang lebih pantas.
Saat aku turun, disana sudah ada Nyonya Jane yang sedang membaca koran dan Rose yang sedang menulis sesuatu di secarik kertas. Nyonya Jane tersenyum kepadaku sekilas tetapi Rose tak mengalihkan pandangannya dari apa yang sedang di tulisnya.
"Pagi." Ucapku sambil tersenyum ramah.
"Selamat pagi Elise." Balas Nyonya Jane membalas senyumanku.
Aku duduk di satu-satunya bangku yang ada di dekat rak buku-buku besar.
"Hari ini hari sabtu ya?" Tanya Nyonya Jane.
"Ya. Hari ini pasti sibuk sekali." Jawab Rose sambil sekilas melirik Nyonya Jane.
"Aku akan ke kota hari ini, ada beberapa buku yang perlu di ganti. Kau bisa mengatasi semuanya kan?"
Rose mendengus. "Tentu saja, aku sudah terbiasa mengatasi semuanya sendirian."
Nyonya Jane melipat korannya. "Ah ya, tentu saja Elise akan membantumu. Jadi kau tak perlu mengeluh lagi."
"Aku tidak pernah mengeluh." Kata Rose ketus.
Nyonya Jane mengangkat bahunya, lalu memandang jam yang ada di atas perapian. Aku mengikuti arah pandangnya, pukul 7. "Sudah waktunya buka, ku kira."
Rose bangkit dari tempat duduknya lalu melipat kertas yang ada di tangannya dan melangkah ke arah pintu depan perpustakaan.
Beberapa saat kemudian datang rombongan datang dari kota yang sepertinya adalah orang terpelajar, dilihat dari cara mereka berpakaian dan cara mereka yang bicara rendah dan sopan. Mereka tersenyum kepadaku, menyebutkan nama yang langsung ku tulis dan menempati tempat duduk dengan tenang.
Rose yang menyuruhku untuk menuliskan nama para pengunjung dan mereka yang ingin meminjam buku, sedangkan dia membantu orang-orang yang kesulitan mencari buku.
Nyonya Jane sendiri buru-buru pergi saat bertambahnya pengunjung yang datang sambil berkata bahwa dia tak bisa membantu kami hari ini.
Saat pengunjung makin banyak aku tak henti-hentinya menulis dan membantu mereka mencarikan tempat untuk membaca, karena hari itu ramai sekali sampai-sampai beberapa orang tak kebagian tempat dan memutuskan untuk meminjam buku saja.
Baru setelah hari mulai siang kami bisa duduk dengan tenang dan hanya mengawasi pengunjung karena mereka berhenti berdatangan dan beberapa diantaranya mulai pulang.
Rose Phunigan yang duduk di dekatku hanya menumpukan tangannya di dagunya sedangkan aku sendiri memutuskan untuk bersenandung.
Ternyata bekerja disini cukup membosankan karena tugasku hanya mencatat, membantu mencarikan tempat duduk lalu mengawasi orang-orang itu.
"Bagaimana mungkin kau bisa bekerja disini?" Tanya suara di dekatku dan saat aku menoleh ternyata itu suara Rose.
"Memangnya kenapa?"
Dia mengernyitkan dahinya. "Kau Elise yang itu kan?"
"Maksudmu?"
"Kau Elise yang miskin itu kan? Yang tak pernah punya teman."
Aku juga mengernyitkan dahiku, setauku aku punya banyak teman meskipun sekarang sebagian temanku sudah berkeluarga.
"Aku punya banyak teman."
Rose mendesis. "Berteman dengan orang miskin sama saja dengan tidak punya teman."
"Lalu bagaimana denganmu? Apa kau punya teman?"
Rose menatapku kesal, wajahnya memerah. "Itu bukan urusanmu." Jawabnya ketus.
Aku mendengus lalu mengalihkan pandanganku darinya, dari dulu aku memang tidak menyukai sifatnya yang sok.
Rupanya dia juga jengkel denganku karena dia segera pergi ke balik rak dan menghabiskan waktu disana. Sedangkan aku memutuskan untuk melanjutkan pekerjaanku sebelumnya yaitu bersenandung.
Dan ketika pengunjung mulai sepi karena sore tiba-tiba seorang pria yang umurnya tidak jauh dariku menghampiriku dan menanyakan sebuah buku sastra yang sama sekali tidak ku mengerti.
"Err... Maaf Tuan, saya baru bekerja disini hari ini. Saya kurang mengerti buku-buku seperti itu. Mungkin Anda bisa bertanya pada teman saya yang lebih lama bekerja disini." Kataku padanya.
Dia memandangku, rasa kecewa terpampang jelas di wajahnya.
"Aku sudah menanyainya, tapi kurasa dia sedang tidak senang." Katanya sambil mengangkat bahunya.Aku tersenyum samar.
"Kalau begitu, mau kah kau membantuku mencari buku itu?" Tanyanya penuh harap.
Aku menatapnya, dia adalah pria paling tampan yang pernah ku lihat, matanya yang cokelat bersinar hangat, hidungnya sangat mancung dan rambutnya berwarna hitam pekat. Dia lebih tampan daripada Alvis Bagman- anak pemilik pabrik di desaku- .
"Tentu saja."
Aku dan dia menyusuri rak rak tinggi berisi buku-buku besar dan mulai mencari. Beberapa saat kemudian dia memekik senang, lalu menunjukkan buku yang sedang dicarinya.
matanya yang cokelat bersinar hangat, hidungnya sangat mancung dan rambutnya berwarna hitam pekat.
"Akhirnya ketemu juga!." Ucapnya senang.Aku tersenyum.
Dia menatapku lalu mengulurkan tangannya padaku.
"Namaku Peter Walker, panggil saja Peter."Aku menjabat tangannya ragu-ragu "Namaku Elise, Elise Butler."
Dia tersenyum. "Senang bertemu denganmu Elise, terima kasih sudah membantu."
Aku mengangguk, lalu melepaskan tanganku dari genggamannya. "Sama-sama Tuan."
"Tak usah memanggilku seformal itu." Ujarnya sambil mengibaskan sebelah tangannya. "Aku yakin umur kita tidak berbeda jauh."
"Baiklah."
Dia tersenyum, matanya bersinar ramah. "Nah, kalo begitu aku harus pulang."
Aku mengangguk, lalu berjalan berdampingan dengannya ke arah meja dekat perapian dan menulis namanya lalu menstampel buku pinjamannya. Setelah selesai aku memberikan buku itu padanya.
"Nah, semoga bertemu lagi kalo begitu." Ucapnya lalu berjalan ke arah pintu keluar dan berhenti sejenak untuk melambaikan tangannya padaku.
Aku tersenyum kecil.
Itulah pertama kalinya aku bertemu dengan Peter Walker, pria tampan yang akan mengubah jalan hidupku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cruel
Historische fictieKejadian itu berlangsung beberapa tahun yang lalu, ketika aku masih menjadi gadis yang baik, ketika aku mengalah pada semua orang, ketika aku menerima berbagai penghinaan atas apa yang terjadi padaku. Itu dulu. Sekarang aku adalah gadis brengsek yan...