Dziqa melihat kearah bangku yang ada di sebelahnya. Kosong. Tidak ada tawa yang biasanya hadir dari Aina. Dziqa merasa tidak enak Aina di skors demi membela dirinya.
"Dziqa, kamu baik baik saja?" Tanya Pak Zan.
"Hmm, iya." Jawab Dziqa.
"Kamu terlihat tidak bersemangat. Ada apa?" Tanya Pak Zan (lagi).
"Saya.. saya merasa tidak enak hati, Pak. Aina kena skors demi membela saya. Rasanya tidak adil." Jawab Dziqa.
"Kamu akan tahu kenapa sekolah memberikan hukuman skors baginya." Kata Pak Zan.Sepulang sekolah, Dziqa diajak Pak Zan ke suatu tempat. Dziqa diajak Pak Zan naik motor dibonceng belakang. Mereka melewati jalan raya dan kemudian gang sempit di pinggir kota. Disana, terlihat seorang gadis yang seusia Dziqa sedang melakukan vandalisme.
"Elevate a little higher! Let's do the party in the sky and celebrate!" Gadis itu bernyanyi dengan suara indah. Ia tidak melakukan vandalisme. Tapi, ia sedang "melukis" sebuah tembok.
"Itu adalah waktu baginya untuk menggali bakatnya." Kata Pak Zan.
"Hah? Siapa dia? Bakat apa?" Tanya Dziqa.
"Sekolah kita memang sangat membutuhkan seniman. Dia adalah orangnya. Aina." Jawab Pak Zan.
"Jadi, sekolah sudah tahu latar belakang kehidupan dia?" Tanya Dziqa.
"Iya. Karna itu, sekolah memberikan skors bagi dia. Kepala sekolah tahu apa yang akan dia lakukan saat di skors. Ia akan melukis sebuah tembok. Ia akan melatih bakat lamanya itu. Yah, walaupun itu vandalisme, sekolah akan memperbaiki tembok itu dan akan memberitahunya agar melukis di kanvas. Itu akan jadi bakat dia." Jawab Pak Zan.
"Keren, yah. Dia punya bakat kayak gitu. Aku aja gatau mau jadi gimana. Bakat aja gatau apa." Kata Dziqa.
"Bapak bakal bantu kamu buat nyari bakat kamu." Kata Pak Zan.
"Bapak bisa emangnya?" Tanya Dziqa.
"Bisa."Pak Zan mengendarai motornya menuju suatu studio jahit. Dziqa bingung. Ngapain guru IPA datang ke studio jahit. Mau belajar jahit terus berhenti jadi guru?
"Kamu masuk, deh. Ayo saya temenin." Kata Pak Zan.
Dziqa pun masuk ke studio jahit itu. Disana, ia langsung disapa oleh seorang perempuan yang usianya kayaknya sama dengan Pak Zan.
"Zan! Ini anak yang kamu ceritain itu. Cantiknya! Pinter banget kamu cari cewek, ya!" Kata perempuan itu.
"Ini murid aku, Dew. Udah, ayo kita mulai." Kata Pak Zan sambil tersenyum.Tiba tiba aja, Dziqa disuruh duduk dan dihadapannya ada satu set alat jahit dan benang yang berwarna warni. Ada juga sebuah kain putih polos dihadapannya.
"Kamu suka warna, kan? Coba buat sebuah lukisan sederhana di kain putih itu pakai benang warna warni itu." Kata teman Pak Zan itu.
Dziqa bingung. Di rumah, ia jarang menjahit hanya denga tangan. Mamanya selalu mengajarkan Dziqa untuk menjahit dengan mesin jahit.
"Ayo, saya bantu." Kata Pak Zan.
Dziqa (dengan bantuan Pak Zan) mencoba menjahit di kain putih tersebut tanpa menggunakan mesin jahit. Ia terlihat kesulitan, apalagi saat memasukkan benang ke jarum. Pak Zan hanya tersenyum melihat Dziqa kebingungan.Setelah lama menjahit, akhirnya jadilah sebuah gambar di kain. Gambarnya terlihat acak acakan. Pak Zan tersenyum melihat Dziqa sedih.
"Gak apa apa. Ini baru awal. Ayo ikut saya lagi!" Kata Pak Zan.
"Mau kemana lagi emangnya, Pak?" Tanya Dziqa.
"Ikut aja."Dziqa dibawa ke gang yang kemarin ada Aina sedang 'melukis' di tembok yang ada di gang itu. Disana, ada Aina yang masih 'melukis' walaupun sudah berganti area.
"Aina?" Tanya Dziqa.
"DZIQA! OMAYGAD AKU KANGEN SAMA KAMU. TAPI AKU LEBIH SUKA DI SKORS!" Kata Aina sambil berteriak.
"Jangan ribut, neng!" Kata seorang nenek nenek.
"Maaf, Mak!" Kata Aina.
"Maafin aku, ya. Aku udah ngebuat kamu di skors." Kata Dziqa.
"Harusnya aku bilang makasih ke kamu. Gara gara di skors, aku jadi bisa melukis lagi di tembok. Bahkan, kemarin aku disewa sama seorang warga kaya di kampung ini buat ngehias kamarnya." Kata Aina."Emang, warga disini gaada yang protes kamu ngelukis di tembok mereka?" Tanya Dziqa.
"Enggak. Mereka malah merasa terbantu karena kampungnya jadi 'bagus' tanpa biaya." Jawab Aina.
"Hahaha, yaampun." Kata Dziqa.
"Oiya, Dziqa. Kamu pernah nyobain melukis?" Tanya Pak Zan.
"Jarang, sih." Jawab Dziqa.
"Okay, Aina.. Siap, mulai!"Aina segera memakaikan celemek ke Dziqa. Ia memberikan kuas yang ukurannya sedang. Tapi kalau untuk tembok, itu ukuran yang kecil.
"Kecil banget, Na." Kata Dziqa.
"Sebelum 'ahli' pakai yang besar, pakai yang kecil dulu. Harus hati hati." Kata Aina.
Aina pun mengajarkan Dziqa melukis di tembok.
"Haduh, mules, nih! Ke WC dulu, ya! Daah!" Tiba tiba aja Aina lari ke masjid.
"Jadi... Aku takut salah." Kata Dziqa.
"Ayo
