Hari hari berjalan seperti biasa. Pak Zan berlaku seaan tidak pernah ada perasaan apapun diantara Ia dan Dziqa. Mereka berperilaku layaknya murid dan guru biasa. Mengobrol biasa tanpa ada rasa yang nampak. Walaupun, di hati masing masing kedua belah pihak masih menyimpan perasaan yang pernah terungkap itu.
Dziqa pulang sekolah membawa setumpuk buku karena disuruh Bu Sumi untuk membawanya ke perpustakaan. Bukunya bisa sebanyak jumlah murid di kelasnya. Ia tidak mengeluh langsung, karena tidak enak pada Bu Sumi yang selalu baik padanya. Ia hanya menggerutu, kenapa hanya ia yang diperintahkan.
Dalam perjalanan enuju perpustakaan, Dziqa hampir saja menabrak seseorang yang berjalan sambil menggunakan telepon genggamnya. Lelaki itu langsung melihat kearah Dziqa dan kemudian meminta maaf.
"Eh, maaf, maaf." Kata lelaki itu. Saat dilihat, ia adalah Pak Zan, lelaki yang pernah Dziqa sukai.
"Eh, iya gak apa apa, kok, Pak. Gak nabrak juga." Kata Dziqa sambil tersenyum.
"Mau Bapak bantu?" Tanya Pak Zan sambil menaruh telepon genggamnya ke dalam saku.
"Ah, gak usah, Pak. Segini doang saya bisa.." Kata Dziqa, walaupun ia berbohong. Ia sangat ingin seseorang membantunya saat ini. Tapi, tolong jangan Pak Zan. Ia tidak ingin 'baper' dan mengulang semuanya kembali.
"Gak apa apa, sini. Kelihatannya kamu kesulitan." Pak Zan memaksa dan mengambil sebagian dari tumpukan buku itu. "Mau dibawa kemana bukunya, Dziq?"
"Ke perpustakaan, Pak." Kata Dziqa sambil tertunduk malu.
"Okay, hayu." Ajak Pak Zan.
Mereka pun berjalan beriringan menuju perpustakaan untuk mengembalikan buku buku itu. Pada awalnya, mereka hening. Tapi kemudian, Pak Zan mencoba untuk memulai pembicaraan.
"Kamu pulang sama siapa?" Tanya Pak Zan.
"Aku kayaknya pulang naik ojek, Pak." Jawab Dziqa.
"Gak ada yang bisa jemput?" Tanya Pak Zan.
"Gak ada, Pak." Jawab Dziqa.
"Saya anter aja, ya? Mira dirawat di rumah sakit dekat rumah kamu." Ajak Pak Zan.
"Gak apa apa, Pak. Takut merepotkan." Jawab Dziqa. Ia mengira Pak Zan ingin mengantarkannya karena perhatian, ternyata lain.
"Gak apa apa. Bahaya, lho pulang sendiiri." Kata Pak Zan. "Pulang sama bapak aja. Aman, kok.. Tenang aja, hehe..."
"Makasih, Pak." Kata Dziqa.
"Ikut bapak aja, ya?" Tanya Pak Zan sekali lagi.
"Yaudah, deh, iya." Jawab Dziqa.Setelah beberapa lama mereka berjalan, mereka pun sampai di perpustakaan. Sesampainya mereka disana, mereka langsung membuka pintunya dan kemudian menaruhnya di meja yang berada di dekat pintu.
"Makasih banyak, ya, Pak, udah bantuin saya bawa buku ini." Kata Dziqa sambil menunduk malu.
"Iya, sama sama. Lagian, Bapak gak bisa ngebiarin orang yang butuh pertolongan begitu saja." Kata Pak Zan. "Kamu ambil tas dulu, tunggu di gerbang. Nanti, bapak klakson langsung naik, ya."
"Iya, Pak, makasih, ya."Dziqa dan Pak Zan langsung berpisah ketika mereka keluar dari perpustakaan. Pak Zan langsung kembali ke ruang guru. Sejujurnya, hari ini ia menikmati perjalanan menuju ke perpustakaan itu meski hanya sebentar. Ia menikmati waktu waktu sebelum ia harus menjadi milik Mira sepenuhnya. Ia senang bisa menikmati waktu berdua bersama orang yang sebenarnya dia cintai. Tanpa sadar, Pak Zan tesenyum.
Dziqa berjalan menuju kelas dengan hati yang masih berdebar debar. Ia sudah berencana untuk melupakan rasa cintanya itu. Tapi, berkat obrolan sedikit, rasanya ia sulit untuk melupakan perasaan itu. Bahkan, saat ini ia akan pulang bersama Pak Zan. Ia tidak tahu perasaan apa lagi yang akan muncul setelahnya.
Ia teringat kata kata Pak Zan tadi, bahwa Pak Zan tidak bisa membiarkan orang yang butuh pertolongan begitu saja. Ia langsung teringat Mira yang butuh pertolongan Pak Zan untuk menikahi Mira. Dziqa sekarang mulai mempunyai kepercayaan diri lagi. Dziqa berfikir, mungkin saja Pak Zan juga masih mencintainya, tapi ia harus menikah dengan Mira karena perasaan tak tega,
Dziqa masuk ke kelas dan kemudian membereskan tasnya. Setelah itu, ia pergi dan menutup pintu kelas. Ia pun berjalan menuju gerbang sekolah untuk menunggu Pak Zan yang akan mengantarkannya pulang. Ia menunggu sambil memainkan telepon genggamnya.
Beberapa menit kemudian, terdengar suara klakson motor. Dziqa pun melihat kearah sumber suara dan terlihat seorang lelaki dengan gagahnya naik motor Ninja dengan helm yang sudah di pakai. Dziqa pun mendekati motor itu dan kemudian naik.
"Ini helmnya." Kata Pak Zan.
Sesaat, Dziqa bingung. Untuk apa Pak Zan membawa dua helm padahal Mira sudah tidak mampu dibonceng lagi? Ia mulai geer. Tapi, ia menyimpan rasa geer nya dan kemudian memakai helm yang tadi diberikan oleh Pak Zan.
"Makasih, Pak." Kata Dziqa.
"Kamu udah makan?" Tanya Pak Zan.
"Belum, Pak. Nanti aja di rumah." Jawab Dziqa.
"Beli makan dulu aja, ya?" Ajak Pak Zan.
"Gak usah, Pak. Kayaknya, di rumah udah ada makanan." Jawab Dziqa. Ia tidak mau membuat perasaannya semakin menjadi jadi. Ia sudah tidak sanggup lagi. Semakin mencintai, ia akan merasa semakin sakit di hari pernikahan nanti.Di tengah perjalanan, tiba tiba saja sebuah motor melaju dengan kecepatan tinggi sehingga Pak Zan harus mengerem. Dengan gerak refleks, Dziqa secara tidak sengaja memeluk tubuh lelaki yang pernah ia cintai itu. Sesaat, ia diam menikmati semuanya yang berjalan begitu cepat dan natural. Tapi, ia kemudian ingat. Lelaki itu sebentar lagi akan menikahi seseorang yang bukan dirinya. Dziqa pun langsung melepaskan pelukannya.
"Eh, maaf, Pak gak sengaja." Kata Dziqa malu.
"Iya, gak apa apa, kok." Kata Pak Zan.Pak Zan merasakan pelukan yang sesaat itu dengan bahagia. Rasanya hangat, entah memang badan Dziqa hangat hari itu, atau perasaannya yang membuat rasa pelukan itu hangat. Sejujurnya, ia senang Dziqa memeluknya walaupun secara tidak sadar. Tapi, ia tidak bisa, karena sebentar lagi ia akan menikah.
Mereka pun akhirnya sampai di rumah Dziqa. Pak Zan pun memberhentikan motornya dan Dziqa langsung turun dari motor Pak Zan. Dziqa pun melepas helmnya dan kemudian memberikannya kepada Pak Zan.
"Makasih, ya, Pak, udah nganterin aku sampe rumah sama udah bantuin aku bawain buku." Kata Dziqa.
"Iya, gak apa apa, kok." Kata Pak Zan.
"Bapak mau masuk dulu?" Tanya Dziqa, berusaha menjadi tuan rumah yang ramah. Sebenarnya, ia tidak ingin mengajak Pak Zan untuk masuk ke rumahnya. Karena, ia tidak bisa menahan debaran jantungnya lebih lama lagi.
"Gak usah, gak apa apa. Lain kali aja, ya." Jawab Pak Zan. "Oiya, Bapak pergi dulu, ya."
"Hati hati di jalan, Pak." Kata Dziqa sambil melambaikan tangan kearah Pak Zan.
Pak Zan pun membalas lambaian tangan Dziqa. Senyuman keduanya langsung mengembang. Di dalam hati mereka masing masing, mereka bahagia bisa bersama walaupun sebentar.
