Dziqa melihat jam di meja tidurnya. Sekarang sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Ia merasa ia bangun telat. Ia langsung mempersiapkan diri untuk pergi ke sekolah. Dengan terburu buru, ia pergi ke kamar mandi. Setelah siap, ia turun ke ruang makan untuk menuju ruang makan.
Sesampainya dia di ruang makan, ia heran. Mengapa belum ada makanan jam segini? Ia melihat jam tangannya. Sekarang sudah jam tujuh lebih tiga puluh dan belum ada siapapun di meja makan. Ia langsung mendatangi kamar Mamanya untuk menanyakan hal yang janggal ini.
"Mah!" Panggil Dziqa sambil mengetuk pintu.
Mamanya pun keluar dan kaget melihat Dziqa yang sudah rapi dengan seragamnya. Mamanya pun mengucek matanya dan kemudian tertawa.
"Kamu ngapain siap siap?" Tanya Mamanya.
"Mama kok santai banget nanya gitu. Ya, kan mau sekolah. Kok, belum ada makan? Atau udah diberesin?" Tanya Dziqa balik dengan nada panik.
"Ampun, deh anak Mama ini. Hari ini hari apa?" Tanya Mamanya.
"Hari Jum'at, Ma." Jawab Dziqa.
"Haduh, sayangku. Ini hari Sabtu sayang." Kata Mamanya.
Dziqa langsung diam. Setengah hatinya kesal pada dirinya sendiri dan setengahnya lagi malu. "Hehe.."
"Yaudah, sekarang ngapain, kek. Ngerjain PR atau apa. Nanti siang kita jalan jalan." Kata Mamanya.
"Okey, siap, Ma." Kata DziqaDziqa langsung kembali ke kamarnya dan berganti baju. Setelah itu, ia langsung mengambil laptopnya dan memulai untuk menonton drama yang ia sukai. Belakangan ini, drama Korea sedang nge tren di sekolahnya. Tapi, Dziqa sudah mulai menyukai drama Korea itu jauh sebelum teman temannya menyukai drama.
Setelah lama menonton drama kesukaannya, seseorang mengetuk pintu kamarnya. Dziqa pun membukanya dan terlihat Mamanya sudah rapi memakai baju pergi.
"Eh, belum siap siap? Ayo berangkat." Ajak Mamanya.
"Eh, iya, Ma. Dziqa mau siap siap sekarang. Tadi keasyikan nonton, hehe.." Jawab Dziqa.
"Lah, daritadi nonton? Bukan ngerjain PR atau belajar?" Tanya Mamanya.
"Gak ada PR kok, Ma." Jawab Dziqa. "Dziqa siap siap dulu, ya."
Mamanya pun pergi dan kemudian pintu kamarnya di tutup. Ia langsung mengganti bajunya dengan kaos lengan pendek berwarna putih dan jaket denim crop. Ia juga mengganti celananya dengan jeans putih pensil.Dziqa pun keluar kamar sambil membawa sling bag dan kemudian turun ke lantai bawah. Di bawah sudah sepi, jadi Ia yang mengunci pintu rumah. Mamahnya sudah berada di luar sedang memanaskan mobil.
"Udah siap? Nanti tolong tutupin gerbang. Mama keluarin mobil dulu." Kata Mamanya.
Dziqa pun menggangguk. Mamanya kemudian masuk ke mobil dan mengeluarkan mobilnya. Setelah mobilnya keluar, Dziqa menutup gerbangnya dan menguncinya.Selama perjalanan, waktu mereka terisi dengan mendengarkan lagu di radio. Mamanya fokus melihat jalanan sambil menyetir. Dan Dziqa hanya melihat lihat pemandangan orang orang dan jalanan di luar. Karena merasa canggung,Mamanya pun mencoba untuk memulai percakapan dengan anak gadisnya itu.
"Mama lihat kamu udah baik baik aja, Dziq." Kata Mamanya.
"Emang Dziqa selalu baik baik aja, Ma. Kecuali abis kecelakaan. Itu sakit." Kata Dziqa.
"Kamu udah gaada hubungan lagi sama guru muda itu?" Tanya Mamanya.
Dziqa terdiam. Dari mana Mamanya tau dia ada hubungan 'spesial' dengan guru muda yang sekarang sudah ia mulai coba lupakan itu?
"Guru muda apaan, Ma?" Tanya Dziqa balik.
"Kamu jangan main rahasia rahasiaan sama Mama. Mama tau itu, kok. Kamu sebenarnya bisa cerita apapun ke Mama, Dziq." Jawab Mamanya.
"Yausudah. Dziqa udah gak suka lagi, kok." Kata Dziqa. "Lagian, itu cuman suka sukaan sesaat.
"Tapi Mama tau kamu pernah nangis karena dia. Itu bukan suka doang. Mama pernah ngalamin kayak kamu, Dziq." Kata Mamanya. "Apa susahnya,sih cerita sama Mama sendiri?"
"Enggak susah, sih. Ya.. Cuman Dziqa malu aja cerita ke Mama Dziqa pernah suka sama guru Dziqa sendiri. Mama tau dari mana, sih?" Tanya Dziqa.
"Mama tau dari Aina. Mama bingung banget waktu kamu gak mau sekolah, kamu nangis nangis, jadi mama cari alternatifnya. Tapi, kamu jangan langsung marah sama Aina. Mama,kok yang maksa maksa dia buat jawab." Jawab Mamanya. "Lain kali, kalau ada masalah, cerita sama Mama. Mama bakalan bantu semuaaa masalah kamu sebisa Mama."Mereka pun sampai di salah satu pusat pembelanjaan di kota itu. Mamanya memutuskan untuk parkir dekat lobby supaya lebih dekat dan mudah saat keluar nanti. Walaupun bakalan membuat mobil panas nantinya, Mamanya tidak peduli.
Dziqa dan Mamanya langsung menuju tempat sepatu. Rencananya, mereka hari ini akan membelikan sepatu olahraga untuk hadiah ulangtahun Papanya Dziqa.
"Kata kamu, mana yang bagus?" Tanya Mamanya sambil membawa dua macam sepatu. "Yang strip hitam atau yang strip biru?"
"Strip hitam, sih kalau kata aku." Jawab Dziqa. Ia ingat Pak Zan yang pernah memakai sepatu olahraga warna putih dengan strip biru. Dan hal itulah yang membuat Dziqa memilih strip hitam, supaya cepat lupa dengan Pak Zan.
"Okey, kita beli yang ini." Kata Mamanya. "Kamu mau beli sepatu juga? Kemarin Mama lihat sepatu kamu udah lumayan jelek."
"Bener, Ma?" Tanya Dziqa bahagia. Tumben, Mamanya ngajak ke Mall terus membelikan Ia sepatu baru.
"Bener. Mau, gak?" Tanya Mamahnya.
"Ya mau, lah!" Jawab Dziqa girang.
"Sok, pilih. Tapi jangan yang mahal mahal banget, ya." Kata Mamanya.
"Siap, Bos!"
Dziqa langsung memilih sepatu yang ia inginkan. Sepatu berwarna hitam –agar bisa dipakai ke sekolah—dan ringan.Setelah dari tempat sepatu, Mamanya meminta Dziqa untuk menunggu dulu karena Mamanya ingin buang air terlebih dahulu. Dziqa menunggu di luar, dekat toko jas jas. Di sana, ia melihat ada seorang lelaki yang sudah tidak asing lagi. Lelaki itu sepertinya sedang memilih jas untuk sebuah acara yang resmi. Setelah selesai membayar, lelaki itu keluar dan melihat Dziqa berdiri di dekat toko itu.
Lelaki itu segera mendatangi Dziqa sambil tersenyum membawa barang yang tadi sudah ia bayar di kasir. Tak lain, lelaki itu adalah Pak Zan. Entah mengapa, Tuhan selalu mempertemukan mereka dimana mana.
"Dziqa? Lagi apa disini? Wah, ketemu terus, ya kita!" Sapa Pak Zan.
"Aku lagi cari kado buat Papaku, Pak." Jawab Dziqa. "Bapak lagi apa di sini?"
"Bapak lagi cari jas buat pernikahan Bapak." Jawab Pak Zan tidak terlalu bersemangat. Dengan tangan gemetar, ia membuka tas selempangnya dan mengeluarkan sebuah surat. Ia pun memberikan surat itu kepada Dziqa. "Datang, ya."
Dziqa melihat surat yang diberikan oleh Pak Zan. Surat itu berisi undangan sebuah pernikahan. Di surat itu tertera nama Fauzan dan Amirah.
"Iya, kayaknya aku bakal dateng." Kata Dziqa.
"Makasih.. Oiya, Bapak pergi dulu, ya." Kata Pak Zan.
"Iya, Pak." Kata Dziqa.
Pak Zan pun pergi sambil melambaikan tangannya pada Dziqa. Saat itu, Dziqa melemas. Ia seperti kehilangan tenaga.***
Hari Senin, Dziqa mempersiapkan diri menuju ke sekolahnya dengan lemas. Ia sudah membaca undangan itu. Pernikahan Pak Zan akan dilaksanakan bulan depan. Mau tidak mau, ia harus menghadapi kenyataan bahwa Pak Zan akan menikah (lagi) dengan orang lain. Ia tidak bisa mencegah kebahagiaan sang mempelai wanita yang hidupnya sebentar lagi. Yang bisa Ia lakukan sekarang hanyalah mendoakan yang terbaik untuk pernikahan itu.
Dziqa berjalan dengan lesu hingga Ia melihat seseorangyang menunggunya di gerbang. Seseorang yang pernah Ia cintai jauh sebelum iamengenal Pak Zan. Hanif berdiri di sana sambil melambaikan tangan pada Dziqa. Lesunyaseketika hilang ketika ia melihat lelaki itu.
"Dziqa!"Panggil Hanif.
"Hanif?Kamu jadi pindah kesini lagi?" Tanya Dziqa.
"Iya."Jawab Hanif sambil mengangguk. Ia sudah berdiri tegap dengan seragam barunya.